Di Ufuk Timur
Anak itu tergolek lemas di tempat tidur kumal. Umurnya baru lima tahun. Tapi terlihat seperti baru berumur 2 tahun. Beratnya hanya delapan kilogram. Matanya cekung. Kulitnya kering. Sesekali terdengar suara batuk cukup intensif keluar dari ternggorokannya yang parau. Anak itu tergolek lemas di sebuah ruangan ukuran sepuluh kali duapuluh meter. Dia tidak sendirian. Ada sekitar duabelas anak lainnya. Sebagian besar menangis. Membuat suasana bangsal itu menjadi cukup riuh rendah oleh tangisan bayi dan anak kecil. Jangan bayangkan rengekan anak kecil yang meminta dibelikan mainan. Sekilas terdengar seperti tangisan anak yang kesakitan. Rintihan lebih tepatnya. Jika mata anda ditutup, mungkin anda sulit membedakan antara suara anak kecil yang nerintih pilu dengan suara anak kucing yang menggigil kedinginan.
Di ruangan itu terdapat beberapa orang tua, laki-laki dan perempuan, duduk dengan setia menunggu buah hatinya masing-masing. Buah hati disini bukan berarti anak kandung sendiri. Ada beberapa anak yang sudah tidak memiliki ayah bunda lagi. Terpaksa paman, bibi atau kakek dan nenek lah yang menunggunya. Para penunggu dengan setia duduk di atas tilam yang juga sudah kumal. Tidak kalah kumal dengan tempat tidur si anak kecil. Di samping kanan dan kiri ada beberapa termos dan beberapa gumpalan plastik hitam yang entah apa saja isinya. Tidak ada tangisan orang tua disini. Mungkin sudah habis airmata mereka.
Anak itu kembali terbatuk. Batuknya masih seperti tadi pagi. Setiap kali batuk masih disertai dengan wajah yang meringis menahan sakit. Sekali lagi tidak ada tangisan dari raut wajah anak ini. Sungguh anak yang tabah. Ataukah sudah tidak memiliki enerji lagi untuk sekedar menangis. Pandangannya kosong menatap langit-langit bangsal yang tingginya hampir enam meter. Sarang laba-laba di ujung itu menjadi saksi hidupnya selama dia dirawat di bangsal itu. Pertama kali dia mengamati sarang laba-laba itu, diameternya hanya sebesar tutup panci ibunya yang paling besar. Kurang lebih hanya dua puluh sentimeter. Entah sudah berapa lama dia disini dan sarang laba-laba itu sudah menjadi dua kali ukuran panci ibunya yang paling besar. Mengamati sarang laba-laba ini adalah salah satu hiburan yang paling menarik buatnya.
Di setiap bagian bangsal terdapat beberapa jendela dengan ukuran sangat besar. Sangat besar untuk anak sekecil dia. Butuh bantuan dua orang temannya saling panggul memanggul untuk dapat menggapai ujung atas jendela itu. Suara berat jendela digeser sungguh sangat menyayat telinga. Itulah mengapa orang sangat jarang untuk membuka dan menutup jendela itu. Walhasil jendela itu selalu terbuka. Paling tidak terbuka setengahnya, menghindari suara berat yang akan membuat telinga setiap orang tersayat.
Jauh di luar ruangan ini, terdapat sebuah meja dan sebuah bangku panjang. Konon katanya meja dan bangku ini dipergunakan oleh perawat jaga sebagai nurse station. Maksudnya adalah sebagai gardu utama perawat apabila terdapat keadaan gawat darurat yang memerlukan pertolongan segera. Konon katanya pula, dulu perawat sering duduk-duduk disitu. Tapi sekarang jarang ditemui perawat disitu. Tidak mengapa. Karena rasa sakit ini sudah tidak membutuhkan perawat untuk meredakan rasanya.
Sesekali dokter dan perawat akan datang untuk memberikan instruksi tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang jangan dilakukan. Instruksi yang standar. Tidak ada yang aneh dalam manajemen rumah sakit. Tidak boleh makan yang terlalu keras. Obatnya harus selalu diminum. Jangan beranjak dului dari tempat tidur. Dan segala macam instruksi standar lainnya. Tidak ada yang aneh. Dua kali sehari mereka mendatangi si sakit, jam sembilan pagi dan jam sembilan malam. Sisanya si sakit akan berinisiatif untuk meminum obat sendiri.
Kemarin anak yang tidur di ujung kanan baru saja dipulangkan. Dipulangkan ke rumahnya dengan dikawal oleh ayah bundanya. Dikawal dengan tangis sesenggukan dari bundanya dan wajah tirus memelas dari ayahnya. Anak di ujung kanan itu dipulangkan dengan tidak bernafas. Meninggal. Yang jelas dia sudah bahagia di alam sana. Bahagia karena terlepas dari derita sakit yang selama ini dia rasakan.
Anak itu kembali terbatuk. Kali ini beberapa titik bercak darah keluar bersama genangan air ludah yang membasahi sapu tangan putih kumalnya. Sapu tangan itu sudah cukup lama menemaninya di bangsal ini. Tidak pernah dicuci. Jika digambarkan mungkin sudah ada ribuan titik-titik perdarahan di sana. Tidak perlu melihat foto rongent untuk dapat melihat imej kerusakan paru anak itu. Cukup melihat jejak-jejakperdarahn di sapu tangan dan kita dapat memastikan bahwa sebagian besar paru-parunya sudah teraniayan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Sudah cukup lama anak itu keluar masuk rumah sakit seperti ini. Tidak terhitung sudah berapa kali dia dirawat di bangsal ini. Bangsal ini sudah menjadi kamar kedua baginya. Faktanya justru bangsal ini adalah kamar tidur yang cukup nyaman dibandingkan dengan kamar tidur di rumahnya. Kamar tidur ? Mungkin tidak bisa dibilang kamar tidur dari kacamata awam. Tapi baginya ruangan berukuran tiga kali empat meter di rumahnya adalah kamar tidur. Ruangan itu juga sesekali berfungsi sebagai ruang makan. Sesekali jika ada tamu yang datang bertandang ruang itu beralih fungsi menjadi ruang tamu. Di pagi hari tatkala ibunda sedang memasak ruangan itu bisa disulap menjadi dapur. Sebuah ruangan dua belas meter persegi yang luar biasa multifungsinya. Karane kamar itu adalah rumahnya. Ya benar. Rumahnay adalah sebuah ruangan berukuran tiga kali empat meter saja. Tidak hanya itu, anak itu harus berbagi ruangan ini dengan lima saudaranya yang lain.
Ayah dan bundanya bekerja serabutan. Bundanya terkadang menjadi buruh cucian bagi tetangga-tetangga di kompleks depan. Tempo-tempo menjual nasi bungkus jika ada kemeriahan tujuhbelasan di kampungnya. Sedangkan ayahnya tidak jelas kerjanya. Hanya yang pasti ayahnya selalu pergi dari rumah dengan membawa cangkul. Tapi tidak ada sawah di dekat situ. Mungkin ayahnya seorang buruh harian yang harus siap kapanpun mendapat order. Sesekali pulang malam tapi tidak membawa uang buat keluarganya.
Tepat satu tahun yang lalu anak itu sakit parah. Memang betul berat badannya tidak pernah naik semenjak dia berumur satu setengah tahun. Tapi sakit yang paling parah adalah tepat satu tahun kemarin. Darah keluar dengan deras diiringi batuk yang tidak kunjung henti. Ayah bunda panik. Saudara kebingungan tidak tahu harus berbuat apa. Atas inisiatif pak RT dibawalah anak itu ke Puskesmas. Puskesmas tidak sanggup untuk merawatnya. Akhirnya dibawalah ke rumah sakit tempat sekarang dia berada.
Dokter meminta untuk di tes HIV. Ayah bunda bingung tidak tahu apa itu HIV. Mendengarnya juga baru itu. Yang jelas mereka mendapat penjelasan tentang sebuah virus yang ternyata bisa menurunkan kekebalan pada manusia. Bukan kekebalan tahan dibacok. Bukan itu. Tetapi kekebalan untuk melawan infeksi lain. Dokter itu langsung melakukan tes terhadap sang anak. Dan hasilnya sesuai perkiraan dokter. Bahwa anak itu positif HIV. Tapi dapat virusnya dari mana ya? Tidak mungkin anak sekecil itu sudah melakukan hubungan seks ataupun bertukar jarum suntik. Si dokter kemudian meneruskan pertanyaan kepada kedua orang tuanya. Ditanyakan berbagai faktor resiko yang mungkin. Kemudian di tes, dan hasilnya ayah bundanya juga positif. Shock sudah pasti. Tapi apa daya itulah kenyataan hidup yang harus mereka jalani sebagai keluarga. Atas anjuran dokter anak-anak yang lain juga dianjurkan untuk dilakukan tes. Namun syukurlah hasilnya negatif.
Anak itu kembali terbatuk. Kali ini tanpa disertai tetesan darah. Ayah bundanya masih duduk di tilam di samping dipan bangsal kumuh itu. Pandangan ayah bunda masih kosong. Sekosong tatapan semenjak satu tahun yang lalu. Belum ada yang berubah dengan raut wajah maupun tatapan mata itu.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid
MIRIS!..memilukan bacanya, yg bikin penasaran, gimana ya orang tua si anak bisa terinfeksi HIV? padahal kalo gaya hidup mungkin harusnya jauh dari risiko terkena HIV???? Am i right or soemething??
gieeeeee….gue nangis ni…sedih banget sih…ide ttg laba2 keren banget, kepikiran ya…