Terapi TB-HIV

 

Obat-obatan lini pertama, rifampisin (R) – Isoniazid (H) – Etambutol (E) – dan pyrazinamid (Z), adalah obat-obat yang potensial untuk menangani kasus-kasus infeksi MTB. Obat-obatan lini kedua mungkin juga bisa dipikirkan untuk digunakan, seperti streptomisin – amikasin – capreomisin – prothionamid – moxifloxacin – lovofloxacin – sikloserin – dan linezolid. Streptomisin tidak tersedia dalam bentuk oral sehingga harus diberikan secara intra vena atau intra muskuler, dan harus digunakan apabila terdapat kegagalan terapi pada lini obat-obatan lini pertama, misalnya jika ada masalah resistensi, alergi atau toksisitas.

Pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi, TB paru baik pada HIV sero negatif atau sero positif, dapat diterapi dengan baik dengan menggunakan standard terapi selama 6 bulan. Untuk menghindari perkembangan resistensi obat, TB aktif harus selalu diobati dalam fase insial selama 2 bulan dengan kombinasi obat RHEZ. Diikuti dengan fase lanjutan 4 bulan dengan R dan H.

Rawat inap pasien di rumah sakit diindikasikan untuk menghindari penyebaran bakteri kepada orang lain sampai fase periode penularan berhasil diatasi (biasanya selama 2 minggu terapi – umbrella period). Selama masih ada BTA di dalam sputum, idealnya pasien harus tetap di rawat di rumah sakit (namun agak sulit diterapkan di negeri kita mengingat banyaknya infeksi yang terjadi pada populasi). Durasi fase periode penularan pada pasien dengan TB paru bergantung pada jumlah lesi dan kavitas pada paru. Sputum sebaiknya diperiksa secara berkala (seminggu sekali pada fase inisial) dan dievaluasi dengan tes kultur sampai akhir pengobatan.

Kegagalan pengobatan terjadi jika ada resistensi obat, kepatuhan yang rendah atau durasi pengobatan yang terlalu singkat. Jika sputum masih positif setelah fase inisial atau pada kasus-kasus pengobatan fase inisial menggunakan rejimen yang berbeda dari yang direkomendasikan, durasi pengobatan sebaiknya diperpanjang sampai 9 bulan atau lebih lama lagi. Pengobatan akan memerlukan waktu lebih lama (fase lanjutan mungkin 7 bulan). Meskipun fase inisial berhasil, namun angka kejadian rekuren TB paru pada pasien seropositif HIV lebih sering terjadi jika dibandingkan dengan pasien seronegatif.

 

 

Efek samping obat

Efek samping ayng sering timbul ada pada tabel di bawah ini :

Obat TB

Dosis harian

Efek samping

ket

Rifampin

10 mg/kgBB

hepatotoksik

monitor LFT

  

> 50 kg = 600 mg

alergi

SGOT/PT

  

< 50 kg = 450 mg

demam

  

  

  

gangguan GIT

  

  

  

anoreksi

  

  

  

vomitus

  

  

  

nausea

  

  

  

perubahan warna urin

  

  

  

trombositopenia

  

Isoniazod (INH)

5 mg/kgBB

hepatotoksik

hindari pada pasien dg gangguan hati

  

maksimal 300 mg

periperal neuropathy

hindari minum alkohol

  

tambahkan vit B6

psikosis

monitor LFT

  

  

kejang

SGOT/PT

Etambutol

40-55 kg = 800 mg/hari

neuritis optikus

periksa fungsi penglihatan

  

56-75 kg = 1200 mg/hari

hiperuricemia

periksa test buta warna

  

76-90 kg = 1600 mg/hari

  

hindari pada pasien dengan gangguan n. opticus

Pyrazinamid

30 mg/kgBB

athralgia

pikirkan pemberian allopurinol

  

maksimal 2 gram

hyperuricemia

monitor LFT

  

  

hepatotoksik

SGOT/PT

 

Jika terdapat toksisitas pada salah satu obat, harus dihentikan dan obat harus di restart lagi. Jika pada hari ketiga tidak terdapat gangguan efek samping lagi, maka obat bisa diteruskan dan dilanjutkan sebagai moda terapi.

Obat

Hari 1 (mg)

Hari 2 (mg)

Hari 3 (mg)

INH

50

300

5 mg/kgBB/hari, maks 300 mg

Rifampisin

75

300

10 mg/kgBB/hari, maks 600 mg

Pyrazinamid

250

1000

25 mg/kgBB/hari, maks 2 gr

Etambutol

100

500

25 mg/kgBB/hari, maks 2 gr

 

 

 

ART dan TERAPI TB

Ada beberapa isu yang harus dipikirkan dalam menangani dual infeksi HIV dan TB

  1. Reaksi paradoksikal

    Pasien yang sudah mendapat terapi obat ARV, biasanya akan mendapat reaksi paradoksikal atau yang lebih dikenal dengan nama IRIS. Pasien dengan ART akan lima kali lebih mudah mendapat IRIS dibandingkan dengan pasien tanpa ART. Hal ini kemungkinan disebabkan karena eksaserbasi akut antigen MTB terhadap respon imun TH1.

  2. Adherence

    Kepatuhan pengobatan merupakan hal yang sulit karena banyaknya obat ART dan obat DOTS yang harus dikonsumsi. Hal ini dipersulit juga dengan toksisitas yang overlapping antara obat DOTS dan ART.

  3. Interaksi obat

    Banyak interaksi farmakologis antara ART dan DOTS

  • Rifampisin dan PI masing-masing bekerja pada cytochrome P450 3A. Sehingga terapi antara DOTS dan PI harus dihindari.
  • Meskipun kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI merupakan kombinasi yang optimal, namun mungkin perlu dipikirkan kombinasi 3 NRTI (triple nukes) selama terapi TB-HIV. Hal ini untuk menghindari kemungkinan hepatotoksisitas.
  1. Prioritas

    Karena dual infeksi ini sama-sama mempunyai kriteria kronis yang penting perlu dipikirkan untuk memulai terapi pada kasus mana terlebih dahulu.

  • Pada kasus imunosupresi yang berat (CD4 < 100), mungkin perlu dipikirkan untuk memulai terapi TB terlebih dahulu kemudian kita bisa memulai terapi ART minimal 2 minggu setelah terapi DOTS. Pasien haris dimonitor secara ketat untuk mengantisipasi terjadinya IRIS.
  • Pada kasus CD4 antara 100-200, DOTS bisa dimulai terlebih dahulu dan ART bisa mengikuti setelah 2 bulan kemudian. Pada saat ini rejimen DOTS sudah menjadi lebih ringan dibandingkan fase inisial.
  • Pada kasus CD4 lebih dari 200, terapi ART bisa dimulai setelah DOTS selesai, setelah 6 atau 9 bulan kemudian.

 

Apakah Anda menyukai artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *