Resistensi Antimikroba dan Resistensi HIV
Resistensi antimikroba (kemudian disebut dengan Anti Microbial Resistence/AMR) adalah resistensi yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap obat-obat antimikroba untuk yang sebelumnya sensitif. Organisme yang resisten (termasuk diantaranya adalah bakteri, virus dan beberapa parasit) mampu melawan serangan obat-obatan antimikroba, seperti antibiotik, anti-virus, dan anti-malaria, sehingga pengobatan standar menjadi tidak efektif lagi. Sehingga infeksi yang muncul akan bertahan dan dapat menyebar kepada orang atau populasi lain. AMR merupakan konsekuensi logis dari penggunaan antimikroba. Termasuk didalamnya adalah penggunaan reguler maupun penyalahgunaan. Obat-obatan antimikroba akan menjadi resisten ketika mikroorganisme bermutasi atau mengakuisisi suatu gen.
Mengapa AMR menjadi isu yang penting ?
- Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang resisten sering kali tidak berhasil diobati menggunakan pengobatan standar antimikroba.
- Dengan demikian memperpanjang durasi dan angka kesakitan serta meningkatkan angka kematian.
- AMR akan menurunkan efektifitas pengobatan dan perbesar peluang terjadinya infeksi kepada orang lain.
- Beberapa infeksi menjadi tidak dapat dikendalikan.
- AMR akan meningkatkan biaya kesehatan.
- Dengan semakin mudahnya transportasi, maka AMR juga akan semakin mempercepat penyebaran infeksi ke hampir seluruh dunia
Setiap tahunnya terdapat sekitar 440.000 kasus baru multi drug resistant tuberculosis (MDR-TB). Tingginya kejadian MDR ini menyebabkan sekitar 150.000 kematian karena TB . Namun juga telah dilaporkan kasus extensively drug resistant tuberculosis (XDR-TB) di 64 negara.
Juga telah terjadi peningkatan resistensi terhadap obat antimalaria generasi awal seperti klorokuinine dan sulfadoxine-pyrimethamine. Peningkatan ini terjadi di negara-negara yang sebagian besar endemis terhadap malaria. Di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah terjadi peningkatan resistensi artemisin terhadap Malaria falciparum.
Beberapa infeksi nosokomial ternyata disebabkan oleh bakteri yang sudah sangat resisten, misalnya methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA) dan vancomycin-resistant enterococci.
Resistensi pada HIV
Resistensi juga menjadi masalah yang serius terhadap terapi ART untuk terapi HIV dan AIDS. Dengan semakin luasnya penggunaan ART dalam beberapa tahun belakangan ini, sangat diperlukan sebuah survei nasional untuk mendeteksi dan memonitor efek resistensi virus HIV terhadap pengobatan ART. Resistensi terhadap pengobatan HIV di Indonesia masih belum terlalu tinggi. Binomial sequential sampling technique yang dilakukan medio 2006-2008 memprediksi bahwa prevalensi resistensi di kalangan IDU pengguna ART di Jakarta masih di bawah 5%. Binomial sequential sampling technique yang dilakukan medio 2006-2008 memprediksi bahwa prevalensi resistensi di kalangan IDU pengguna ART di Jakarta masih di bawah 5%.
Sedangkan secara global, survei yang dilakukan pada 52 negara (tidak termasuk Indonesia), menunjukkan bahwa tingkat resistensi, lost of follow up dan gagal pengobatan menunjukkan tren peningkatan. Di Amerika dan Eropa angkanya berkisar antara 17%. Mungkin kita sedikit beruntung dikarenakan masuknya HIV ke Indonesia terlambat jika dibandingkan dengan Amerika. Namun sangat berpotensi untuk terjadinya resistensi mengingat sampai saat ini sebanyak 50% pengobatan HIV di Indonesia mengalami lost of follow up. Sementara saat ini HIV-Drug Resistence Monitoring survey sedang dilakukan sebagai uji coba di salah RS di Jakarta terhadap 110 sampel dari 165 orang yang eligible. Kemudian diikuti secara kohort sehingga hanya tinggal 76 sampel yang diteliti. Menunjukkan bahwa 1st regimen yang diberikan pengobatan masih memberikan respon (terjadi peningkatan CD4 dari rata-rata 70 menjadi 96).
Resistensi ART bisa acquired maupun transmitted. Jika seorang ODHA mengalami resistensi dikarenakan adherence pengobatan yang buruk maka disebut sebagai acquired resistensi. Sedangkan jika seseorang mengalami resisten karena virus yang didalam tubuhnya sudah resisten pada saat pertama kali terinfeksi, maka disebut sebagai transmitted resistensi.
Di Indonesia akan dikembangkan HIVDR Threshold Survey di tahun 2011 ini yang berfokus di Surabaya dan Bali dengan sasarannya pada transmisi seksual, baik pekerja seks, waria maupun perempuan berisiko lainnya. Pada tahun 2010 telah dilakukan HIVDR monitoring survey di 3 tempat. Setiap tahunnya direncakanan ada 3 tempat baru. Sehingga semakin lama semakin banyak RS yang melakukan HIV DR Monitoring survey. Lab Mikrobiologi UI saat ini sedang menunggu akreditasi WHO untuk dapat melaksanakan HIVDR genotyping. Diharapkan tahun 2012 Surabaya sudah dapat menjadi centre untuk wilayah timur.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid