Bersikap Terhadap Prostitusi

Pelacuran atau prostitusi adalah segala macam aktifitas seks yang bertujuan untuk penjualan jasa seksual, termasuk diantaranya hubungan seks oral atau hubungan seks anal. Pekerja seks bisa seorang perempuan, laki-laki atau seorang transeksual/transgender. Pekerjaan menjual seks sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tesejarah seputar pekerja seks dari masa kemasa. Diyakini pekerja seks sebagai salah satu pekerjaan tertua selain berburu dan bercocok tanam. Saat ini prostitusi memiliki risiko yang cukup besar dikarenakan bahaya infeksi menular seksual atau HIV. Prostitusi memiliki beragam bentuk, mulai dari yang sederhana dalam bentuk lokalisasi, pekerja seks jalanan, pekerja seks tidak langsung (misalnya panti pijat atau karaoke plus-plus) sampai dengan bentuk yang cukup canggih dengan cara transaksi melalui media sosial, misalnya facebook, twitter atau BBM. Karena definisinya yang menukarkan jasa seksual dengan uang, maka kawin kontrak atau perempuan simpanan kemudian dikategorikan kedalam prostitusi meskipun terselubung.

Mengapa bisa sampai ada aktifitas prostitusi ini ?

Prinsip yang pertama adalah, tidak ada orang yang bercita-cita menjadi pekerja seks. Sekaya apapun pendapatannya, tidak pernah ada orang yang punya maksud secara harafiah untuk menjadi pekerja seks. Prinsip yang kedua adalah, adanya hukum supply and demand dimana tidak akan ada pekerja seks jika tidak ada pelanggannya. Artinya keberadaan pekerja seks tentunya didorong oleh tuntutan orang-orang yang membutuhkan jasa seks, sehingga kemudian muncul aktifitas jual-beli seks. Prinsip yang ketiga adalah, adanya dikotomi antara populasi berisiko (pekerja seks) dengan  masyarakat umum. Padahal pekerja seks yang berisiko ini adalah bagian dari masyarakat umum yang juga ada di sekitar kita dan melakukan aktifitas kemasyarakatan pada umumnya. Tidak disadarinya prinsip yang ketiga ini menyebabkan adanya alienasi pekerja seks. Seolah-olah pekerja seks berasal dari antah berantah dan bukan bagian dari komunitas masyarakat. Alienasi pekerja seks ini kemudian menimbulkan masalah, karena memunculkan kriminalisasi pekerja seks dan tidak terpenuhinya hak-hak sebagai anggota masyarakat, misalnya hak untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang setara.

 

Seperti apakah kriminalisasi pekerja seks tersebut ?

Kriminalisasi pekerja seks bisa terjadi secara langsung, misalnya dengan melarang dan mengkriminalkan aktifitas menjual seks. Namun lebih banyak kriminalisasi yang terjadi secara tidak langsung, misalnya dengan pemerasan yang tidak saja dilakukan oleh pimps, caretaker atau germo, namun juga oleh aparat pemerintahan. Kriminalisasi ini menimbulkan ketidakberdayaan pekerja seks, sehingga akan mengurangi kemampuan negosiasi pekerja seks (termasuk negosiasi penggunaan kondom), mengurangi kemampuan advokasi dan meniadakan hak-haknya sebagai warga negara. Tindakan kriminalisasi pekerja seks secara agresif dan nyata menunjukkan peningkatan terjadinya kekerasan dan peningkatan risiko kesehatan, terutama kesehatan seksual. Lebih jauh lagi akan meningkatkan kerentanan masyarakat sehingga mempengaruhi reproductive rate of infection (Ro) sebagaimana prinsip yang ketiga bahwa pekerja seks adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu perlu upaya-upaya dekriminalisasi pekerja seks.

 

Mengapa perlu dekriminalisasi pekerja seks ?

Dekriminalisasi adalah semua istilah yang ditujukan untuk menghilangkan semua hukuman kriminal dan hukuman administratif untuk pekerja seks. Aktifitas ini termasuk diantaranya untuk dekriminalisasi pelanggan dan germo. Ada beberapa alasan mengapa perlu dekriminalisasi pekerja seks, diantaranya :

  1. Dekriminilasisasi mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak martabat pribadi. Ada berbagai alasan seseorang terjun ke dunia prostitusi. Apapun alasannya, setiap pekerja seks harus tetap diakui hak-hak asasinya dan dihormati martabat pribadinya.
  2. Dekriminilasisasi akan mengurangi kekerasan yang terjadi terhadap pekerja seks. Kekerasan ini bisa dilakukan oleh germo, pelanggan atau bahkan aparat.
  3. Dekriminalisasi akan meningkatkan akses pekerja seks terhadap bantuan hukum. Angka kejadian perkosaan pada pekerja seks sangat tinggi. Di Kenya dilaporkan bahwa 58% pekerja seks secara rutin menerima kekerasan dan perkosaan selama menjalankan aktifitasnya. Begitu juga dengan India dan Indonesia. Sementara ini pelaku-pelaku kekerasan tersebut umumnya tidak menerima perlakuan yang layak secara hukum dikarenakan sangat minimalnya akses bantuan hukum bagi pekerja seks.
  4. Dekriminalisasi akan mempromosikan kondisi yang aman bagi pekerja seks. Dekriminalisasi akan memungkinkan bagi pekerja seks untuk mengorganisir dirinya, sehingga hak-haknya sebagai warga negara dapat diperjuangkan.
  5. Dekriminalisasi akan meningkatkan akses kepada layanan kesehatan.
  6. Dekriminalisasi akan mengurangi risiko pekerja seks terinfeksi HIV dan IMS dengan cara meningkatkan posisi tawar, sehingga pekerja seks dapat melindungi dirinya sendiri dari ancaman infeksi HIV dan IMS.
  7. Dekriminalisasi tidak meningkatkan jumlah pekerja seks. Sebuah study di New Zealand yang membandingkan antara jumlah pekerja seks sebelum dan sesudah dekriminalisasi pekerja seks pada tahun 2003 tidak menunjukkan peningkatan angka.

 

Mengapa seseorang memilih menjadi pekerja seks ?

Ada beberapa alasan yang diungkapkan ketika seseorang memilih untuk menjadi pekerja seks. Alasan pertama dan klasik adalah alasan ekonomi. Namun saya pribadikurang sependapat dengan alasan ini. Jika memang alasan ekonomi, maka seharusnya provinsi NTT yang dikenal sebagai provinsi termiskin di Indonesia memiliki banyak pekerja seks, namun kenyataannya tidaklah demikian. Banyak yang telah memiliki kestabilan ekonomi namun tetap memilih menjadi pekerja seks. Alasan yang kedua adalah berhubungan dengan pendidikan dan pola pikir. Pendidikan akan sangat mempengaruhi pola pikir seseorang. Ada faktor budaya juga yang terlibat disini. Saya lebih setuju dengan faktor ini. Alasan yang ketiga adalah adanya penjerumusan, yang kemudian kita kenal sebagai traficking. Ini juga alasan yang paling banyak disebabkan karena faktor pendidikan yang rendah. Korban-korban traficking umumnya adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah. Alasan keempat karena adanya perbudakan. Prostitusi adalah perbudakan di era moderen. Ada lagi alasan menjadi pekerja seks karena survival sex, misalnya pada pennyalahguna napza yang karena kecanduannya kemudian rela menjual seks demi ditukar untuk menutupi adiksinya. Survival sex juga dulu dikenal ketika era peperangan, misalnya perang dunia kedua dimana banyak perempuan di Eropa yang diiming-imingi tidak diperbudak dan akan dibebaskan jika bersedia melayani seks pada tentara Jerman. Atau Jugun Ianfu yang dipaksa untuk melayani tentara Jepang demi keselamatan pribadi.

 

Apa yang terjadi dengan situasi prostitusi saat ini ?

Belanda adalah satu-satunya negara yang melegalisasi aktifitas prostitusi. Umumnya aktifitas prostitusidi banyak negara adalah ilegal. Namun ada yang ilegal dengan hukuman yang sangat berat dan ada juga yang ilegal dengan pembiaran. Umumnya banyak negara yang tidak melegalkan prostitusi namun melakukan pembiaran. Beberapa negara tidak melegalkan namun melakukan pengaturan atau regulasi, misalnya New Zealand, Australia, Singapore, Malaysia, Thailand dan Philipina.

Sedangkan di Indonesia tidak ada prostitusi yang legal. Termasuk beberapa spot yang cukup terkenal misalnya Sunan Kuning di Semarang atau Dolly di Surabaya. Yang ada di Indonesia adalah lokasi atau resosialisasi. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka kriminalisasi yang cukup tinggi. Di hampir semua kota dan kabupaten di Indonesia aktifitas prostitusi tidak dilegalkan, dilakukan pembiaran dan terjadilah kriminalisasi.

 

Bagaimana prostitusi secara hukum di Indonesia ?

Di Indonesia, prostitusi diatur seperti dalam pasal 296 KUHP yang berbunyi “Barang siapa yang pencahariannya dan kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000,-.” dan Pasal 506 KUHP.“Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan.” Artinya sebenarnya pekerja secara hukum pekerja seks di Indonesia dilindungi oleh KUHP, namun dalam prakteknya justru banyak yang dikriminalkan.

 

Jadi bagaimana sebaiknya ?
Bagaimana seharusnya menyikapi prostitusi ?

Menjadi sebuah dilema, ketika akan memutuskan apakah prostitusi dilarang, dilegalkan atau diatur. Jika dilegalkan tentunya akan mencederai norma bermasyarakat Indonesa. Jika dilarang tentunya aktifitas transaksi seks masih akan tetap ada, ini sesuai dan kita kembalikan lagi dengan hukum supply and demand. Jika dilarang, penyebaran HIV dan infeksi menular seksual menjadi lebih sulit dikendalikan. Jadi cara yang lebih baik dari berbagai pilihan yang ada adalah mungkin dengan sebaiknya mengatur prostitusi. Pemerintah tidak bisa begitu saja melakukan pembiaran kepada warganya. Jika regulasi atau pengaturan prostitusi, dampak kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari aktifitasprostitusi akan minimal. Namun regulasi transaksi seks ini bukan hanya di lokalisasi, namun juga di berbagai tempat hiburan plus-plus yang secara terselubung menyediakan jasa seks. Saran yang kedua adalah dengan melakukan edukasi kepada pelanggan, ini sesuai dengan prinsip hukum supply and demand. Saran yang ketiga mungkin diperlukan sebuah pendidikan entrepeneurship bagi pekerja seks atau bahkan memberikan skema kredit lunak kepada pekerja seks agar memiliki berbagai pilihan diluar prostitusi.

Apakah Anda menyukai artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *