Tulus Mengobati Pasien

Anda pasti pernah mengalami kejadian ketika sedang mengantri di tempat praktek dokter, ada serombongan orang yang juga ikut mengantri namun bukan untuk tujuan berobat. Mereka ini kemudian disebut sebagai detailer. Saya kurang mengerti darimana asal usul sebutan detailer ini muncul. Mungkin karena tugas mereka menjelaskan secara detail obat yang ditawarkan kepada dokter untuk diresepkan kepada pasien, entahlah. Saya juga tidak tahu darimana asal muasal profesi ini. Yang jelas profesi ini populasinya cukup banyak. Bayangkan jika di Indonesia ada lebih dari empat puluh ribu dokter, dan biasanya satu dokter bisa dikerubuti oleh dua sampai lima detailer untuk minta tanda tangan. Udah seperti artis aja. Eh tunggu, jadi tugasnya memberikan informasi secara detail kemudian minta tanda tangan? Nggak kebalik tuh? Entahlah,…

Saya bukan pesimis atau menghina terhadap profesi detailer. Sejujurnya saya malah kasihan kepada profesi ini. Mereka sering sekali “dikerjain” oleh kliennya. Selama saya berpraktek, saya tidak pernah berurusan dengan detailer. Saya juga belum pernah menjadi detailer. Jadi saya hanya menduga-duga saja dari cerita kawan-kawan yang berprofesi sebagai detailer, atau dari kawan-kawan lain yang berprofesi sebagai dokter. Penengah dong? Enggak lah,. saya juga tidak sedang berusaha membenturkan dua profesi ini kok. Saya hanya penasaran saja, bagaimana profesi ini bisa tumbuh subur di Indonesia. Ya, hanya di Indonesia. Saya belum pernah menemukan keberadaan detailer di negara-negara tempat saya pernah belajar. Jadi bagaimana profesi ini bisa muncul ?

Premis pertama, adalah karena simbiosis mutualisme. Jika saya mempunyai perusahaan atau pabrik obat, tentu saya tidak rela harus menyisihkan uang tambahan agar obat saya dibeli. Tapi dunia ini keras bro. Kompetisi dagang berjalan cepat. Produk generik amoxicillin saja diproduksi oleh ratusan pabrik dengan berbagai nama. Ini memaksa produsen obat untuk bergerilya mendatangi potential client-nya agar obatnya lebih banyak dibeli dibandingkan dengan pabrikan yang menjadi kompetitornya. Aksi-aksi gerilya inilah yang sebenarnya sedang dilakukan oleh kawan-kawan kita para detailer obat. Secara halus kemudian dibahasakan sebagai biaya marketing. Coba bayangkan seandainya anda sebagai seorang produsen obat yang hidup di jaman ketika kompetisi penjualan obat baru saja dimulai. War has just begun. Memaksa Anda harus putar otak untuk merayu agar para dokter lebih banyak meresepkan obat hasil karya pabrik Anda. “Ayo dong dok resepin obat saya dong,….” Lalu ada dokter yang menjawab dengan bijaksana “hmmmmmm, wani piro?” Nah, mungkin inilah awal munculnya simbiosis mutualisme yang melibatkan para detailer dan dokter sebagai pion-pion peperangan, dengan lakon peperangan ditentukan oleh produsen obat, dan masyarakat sebagai alas tempat terjadinya peperangan. Miris memang. Dengan kata lain bisa disimpulkan, bahwa profesi detailer ini muncul dari ketidaktulusan. Ya betul, ketidaktulusan dokter.  Coba bayangkan lagi, seandainya skenario awal tadi dirubah. Pengusaha pabrik obat mencoba merayu dokter “Ayo dong dok resepin obat saya,….” Lalu dokter menjawab dengan bijak “hmmmmm, ya lihat nanti ya. Kalau pasien benar membutuhkan nanti saya resepkan.” Ini sikap ketulusan. Tulus untuk menolong orang lain. Sehingga premis pertama saya adalah, adanya biaya marketing sehingga mengakibatkan biaya obat menjadi lebih mahal adalah disebabkan karena sikap ketidaktulusan dokter.

Premis kedua, adalah karena para produsen obat tidak yakin dengan kualitas obat yang diproduksinya. Saya berandai-andai lagi. Jika saya punya pabrik obat dengan kualitas yang sangat prima, saya memproduksi setiap obat dengan quality control yang mumpuni dan dosis takaran yang sesuai, saya akan yakin sekali bahwa obat produksi pabrik saya akan sangat harum namanya di kalangan para dokter. Sehingga saya yakin bisa mengalahkan kompetitor dengan strategi kualitas produksi yang prima dan mumpuni. Skenario lainnya, mungkin saja karena sudah ada biaya marketing tinggi, dan iklim kompetisi yang tidak sehat, sehingga produsen obat harus mengurangi kualitas obatnya. Produsen jadi tidak yakin, apakah obat yang diproduksi ini benar-benar prima atau tidak. Tapi ahh masa bodoh, yang penting penjualan tinggi. Ada strategi lain supaya obat dengan kualitas pas-pasan ini bisa harum namanya di kalangan dokter. Yaitu dengan strategi bribing. Hubungan antara biaya marketing tinggi dengan penurunan kualitas obat itu seperti lingkaran iblis. Bukan lingkaran setan. Karena iblis lebih jahat daripada setan, kata si tuyul. Jadi premis yang kedua saya adalah, adanya biaya marketing tinggi sehingga mengakibatkan biaya obat menjadi lebih mahal adalah disebabkan karena para produsen obat yang tidak yakin dengan kualitas obatnya.

Sehingga bagi Anda pasien yang sedang mengantri di tempat praktek dokter yang banyak sekali didatangi detailer, jangan bangga dulu. Bisa jadi anda menjadi korban biaya obat yang kemahalan, dengan kualitas obat yang seadanya dan sikap tulus menolong sesama yang mulai menipis.

Apakah Anda menyukai artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *