Opo Tumon
Kemarin diskusi dengan Tiara, temen gue yang jadi STI oficer di Jakarta. Kita lagi ngomongin tentang mau dibawa kemana sih program IMS (Infeksi Menular Seksual) di Indonesia ini. Kok kayaknya pemerintah nggak serius ya menggarap program ini. Pemerintah ini maksudnya bukan Dinkes. Saya tahu ada beberapa Dinkes yang memang semangat mengerjakan program ini. Walaupun ada juga keluhan beberapa teman dari beberapa propinsi mengenai tidak seriusnya pemerintah daerah dalam menjalankan program. Seperti keluahan temen gue Maas dari Sumut.
Kita semua tahu bahwa siprofloksasin sudah tidak efektif lagi untuk mengobati Neisseria Gonorrheae. Sekitar tahun 2003-2004 Depkes dengan dibantu oleh Balitbangkes melakukan penelitian tentang resistensi obat-obatan IMS. Didapatkan hasil bahwa resistensi sipro terhadap N. gonorrheae di beberapa tempat menunjukkan resistensi yang sangat tinggi. Rata-rata diatas 50%. Padahal rekomendasi ilmiah mengatakan bahwa resistensi diatas 5 % sebuah obat tidak bisa digunakan sebagai moda terapi karena sudah tidak efektif lagi. Menindaklanjuti penelitian ini, pada tahun 2006 Depkes merevisi kebijakan pengobatan N. go dengan mengganti sipro 500 mg SD menjadi cefixime 400 mg SD. Artinya sipro seharusnya sudah tidak dipakai lagi untuk mengobati GO. Ini rekomendasi nasional yang dikeluarkan oleh Depkes loh,…
Pada awal tahun 2007, lab mikrobiologi FKUI mengadakan penelitian yang membandingkan tingkat efektifitas sipro dengan cefixime dalam mengeradikasi N. go. Didapatkan hasil bahwa sipro masih sangat efektif sedangkan cefixime sudah tidak efektif. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan petri dish, metode yang dipakai semenjak jaman saya masih kuliah dulu. Pada saat yang bersamaan, NAMRU juga melakukan penelitan yang sama. Hasilnya justru kebalikan dengan FKUI. Metode yang dipakai adalah elektoforesa. Sementara rekomendasi global sudah tidak menganjurkan pemakaian petri dish untuk test resistensi GO, karena ada intervensi oksidasi H2 yang akan mempengaruhi pembacaan intrepretasi hasil.
Nah berarti ada dua fakta yang menarik kan. Fakta pertama adalah bahwa secara nasional sipro sudah tidak bisa dipakai lagi. Fakta kedua bahwa ada dua lembaga penelitian yang mengeluarkan hasil penelitian yang saling bertentangan, fakta ini sangat jamak dan lumrah dalam setiap metodologi penelitian. Justru keilmuan akan berkembang dari perbedaan persepsi ini.
Namun yang sangat konyol adalah bahwa sejak 2006 Depkes masih terus membeli sipro yang notabene sudah tidak direkomendasikan lagi oleh Depkes. Artinya Depkes menelan ludah sendiri. Sipro numpuk di gudang depkes, tidak dimanfaatkan secara maksimal. Distribusi ke daerah juga dipertanyakan, karena banyak kota dan kabupaten yang sangat membutuhkan sipro namun tidak memilikinya. Bagaimana dengan pembelian cefixime yang notabene masuk sebagai obat yang direkomendasikan oleh Depkes. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda procurement nya tuh,…
Bagaimana posisi Depkes dalam menghadapi perbedaan hasil penelitan antara FKUI dengan NAMRU? Statemen dari Depkes mengatakan bahwa hasil penelitian NAMRU jangan dipublikasikan,… Ini sangat tidak menghargai metode-metode ilmiah,.. Seharusnya apapun hasil penelitannya biarkan masyarakat membaca keduanya. Jangan mempengaruhi opini publik dengan membatasi hasil penelitian yang mungkin tidak menguntungkan sebuah lembaga. Mirip-mirip dengan jaman ORBA yah,…
Membaca cerita di atas muncul beberapa pertanyaan :
- Mengapa Depkes terus membeli sipro sebagai obat program IMS yang notabene sudah tidak direkomendasikan oleh Depkes sendiri ?
- Apa gunanya membeli obat program secara nasional jika ternyata kebutuhan di daerah tidak terpenuhi ?
- Apa saja yang dikerjakan oleh orang-orang DEPKES sehingga distribusi obat menjadi tidak berjalan ?
- Dengan menumpuknya obat di gudang, apakah depkes berniat dan sengaja untuk membeli obat dan kemudian dibiarkan untuk expired ?
- Mengapa Depkes mati-matian membela hasil penelitian FKUI dan menafikan hasil penelitian NAMRU dengan mengesampingkan metode penelitian? Apakah ada faktor lain disini ?
- Wajarkah jika sebagian orang akan berpendapat bahwa ada SHU? (sisa hasil usaha à kongkalikong dengan pabrik obat gitu lohhh,…)
- Ataukah dirty strategy ini untuk “saving his ass” apabila ada orang BPKP yang menanyakan? Karena nantinya mungkin orang BPKP akan menanyakan buat apa beli obat kalau akhirnya nggak dipakai?
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid
thanks, for putting the whole things here…berani!!! seharian gue berpikir untuk menulis ini di blog gue juga (tapi tanpa menyebutkan instansi…hehehe)
Harus berani dong Ti, Justru peran kita sebagai pembaharu harus berani melawan ketidak adilan. Waktu workshop STI kemarin ngobrol juga dengan Bu Budi (Kasubdin P2P Jatim). Beliau sendiri juga punya statement “Ini namanya pembunuhan bangsa”.
Kebenaran yang disertai keberanian seperti ini akan membuka hati pembaca untuk berani mengungkapkan fakta-fakta yang benar seperti ini.
Bravo Zulu for Dr Bagus.
Kasihan banga Indonesia kalo dibohongi melulu sama pejabatnya.
Kasihan juga NAMRU ya… 😉