“Ini maunya Dewi”
Di depanku duduk seorang perempuan muda, umurnya kira-kira baru 18 tahun. Rambutnya dicat warna keemasan. Tergerai sepanjang bahunya yang jenjang. Kulitnya kuning langsat, bersih pertanda sering dirawat. Perempuan ini hanya memakai celana pendek jeans yang sangat ketat dan kaos you can see warna merah menyala. Duduk bersilang kaki sambil memegang sepuntung rokok dengan asap yang membumbung tinggi.
“mau main sekarang oom ?”
Aku tersentak mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba. Pikiranku sedang asyik memandangi sosok perempuan ini. Sangat cantik dengan ukuran-ukuran vital yang pasti membuat setiap laki-laki akan menahan nafas.
Kembali dimainkan rokok di ujung jarinya yang lentik. Tangan satunya lagi memegang sebuah telepon genggam 3G dengan kamera 3 megapiksel. Jari-jarinya menari memainkan sebatang rokok tadi dengan lincah. Seolah-olah pikirannya sedang menari-nari mengajak pria yang duduk termangu di depannya untuk juga ikut berdansa bersamanya.
“Ntar dulu deh neng, saya mau rebahan dulu,” jawabku singkat
“oke,..” jawabnya sambil mengisap dalam-dalam rokok yang menari-nari tadi
“Boleh kita ngobrol-ngobrol dulu neng?” tanyaku
“Boleh aja kok oom, tapi waktunya jalan terus loh,..” jawabnya sambil memainkan sudut bola matanya seakan memainkan perasaanku untuk segera menjajal romantisme kamar lokasi pelacuran ini.
Kamar ini ukurannya hanya 3×3 meter saja. Tidak banyak perabotan di dalamnya. Hanya ada satu buah kasur springbed ukuran 160 cm dan sebuah meja kecil disampingnya. Di sudut ruangan terdapat sebuah bilik kecil ukuran setengah meter dengan shower di atasnya. Ada sebuah water heater gas yang terpasang dengan rapi di sebelah bilik shower ini. Sebuah kipas angin dengan ukuran sedang terpasang di atas langit-langit yang sudah rada kekuningan warnanya.
“Namanya siapa neng?” tanyaku
“Dewi,” jawabnya singkat
Teringat aku akan cerita-cerita rakyat jaman dahulu. Banyak legenda yang menggunakan nama dewi sebagai tokohnya. Misalnya legenda dewi Sri yang memberikan penghidupan dan sumber tenaga bagi rakyat dengan memastikan ketersediaan padi di lumbung.
“Asalnya dari mana Wi ?”
“Indramayu,” kembali dia menjawab singkat dengan menghirup dalam-dalam sebatang rokok yang sudah tinggal setengah.
Indramayu seringkali dipersonifikasikan sebagai daerah asal bagi para pekerja seks perempuan. Kasihan juga sih sebenrnya daerah ini. Kata orang, kalau seorang penjaja seks mengaku-ngaku dari Indramayu maka harganya bisa sedikit naik. Mungkin orang ini berasal dari daerah lain di Jawa Barat. Subang, karawang, Cirebon atau Bekasi. Semuanya dearah pantai utara di Jawa Barat. Semuanya terkadang mempunyai lafal pengucapan bahasa yang mirip-mirip. Agak susah menentukan apakah Dewi ini benar-benar dari Indramayu atau bukan.
“Sudah berapa lama kerja di sini Wi?”
“Baru dua bulan nih oom,” jawabnya sambil mematikan rokok. “Kok nanya-nanya terus sih ? Jadi main nggak nih ? Waktunya habis loh ntar,..” katanya merajuk manja.
Alamak, senyumnya itu loh, nggak kuat deh aku. Tapi aku kuatkan kembali mentalku bahwa aku harus mendapatkan lebih dari sekedar seks ketika datang ke tempat ini.
“He he he, kalem dong neng. Kalo waktunya habis kan bisa nambah lagi,” jawabku mencoba menggodanya.
Perempuan muda ini kembali mengeluarkan satu batang rokok putih dari kotak rokok yang dari tadi tergeletak di meja kecil di sisi tempat tidur. Memasukkan ujung filternya ke bibir merahnya yang merekah bak mangga gedong gincu khas Indramayu. Disulut dengan sebuah lighter yang juga terletak di meja kecil itu.
“Kok kamu bisa ada disini gimana ceritanya tuh Wi?” tanyaku menyelidik.
“Panjang ceritanya oom.”
Akhirnya dia mulai menceritakan tentang kampung tempat dia dilahirkan. Sebuah desa kecil dengan sumber daya terbatas di pelosok Indramayu. Di desa ini sangat sulit untuk mendapatkan air dalam jumlah yang cukup untuk mengairi sawah disana. Kebanyakan penduduk bekerja menggarap sawah milik orang lain. Sudah tidak ada lagi penduduk yang mempunyai sawah sendiri di sana. Di desa ini sudah tidak didapatkan lagi perempuan muda disana. Hampir semuanya pergi ke kota untuk bekerja. Kebanyakan bekerja seperti dia.
Awalnya dia dinikahkan oleh seorang pemuda di kampungnya pada saat dia berumur 15 tahun. Pesta pernikahan berjalan meriah setelah musim panen padi disana. Kemeriahan yang menurutnya selalu terjadi setelah musim panen padi selesai. Namun satu bulan kemudian dia diceraikan oleh pemuda ini tanpa alasan yang jelas. Tidak ada dendam pada dirinya dan keluarganya. Semuanya terjadi begitu saja di kampung itu. Seperti hal-hal umum yang terjadi ketika akan kembali memulai musim tanam padi. Menurut Dewi, sebagian besar remaja putri di kampungnya akan mengalami hal seperti itu. Sudah jamak baginya.
Cukup lama dia tidak mempunyai aktifitas apapun di kampung halamannya. Hanya membantu ibunya memasak di dapur untuk dihantarkan kepada ayahnya yang bekerja menggarap sawah orang lain. Sampai suatu ketika datanglah seorang perempuan paruh baya dengan dandanan perlente ke rumahnya. Perempuan ini ditemani oleh seorang lelaki yang dandanannya juga perlente. Mereka naik sebuah mobil panther hitam yang tampaknya ber plat nomor B. perempuan ini kemudian akrab dipanggil Tante oleh beberapa tokoh masyarakat dan tokoh pemuda di kampung itu. Si tante menawarkan beberapa pekerjaan kepada remaja-remaja putri di sana. Tawaran disampaikan kepada seorang tokoh masyarakat. Untuk akhirnya akan disebarkan informasi kepada sleuruh kampung tentang siapa-siapa saja yang berminat untuk bekerja di kota. Si tante ini tampaknya sudah sangat sering mengunjungi kampungnya. Terlihat dengan betapa akrabnya dia dengan beberapa tokoh kunci di sana. Akhirnya terkumpulah beberapa orang remaja putri untuk di hadapkan kepada Tante.
Tante akan memilih siapa saja yang bisa berangkat untuk bekerja. Tidak semuanya bisa bekerja. Dan Dewi merasa beuntung karena terpilih diantara orang-orang yang bisa bekerja di kota. Berita ini disampaikan secara sukacita kepada kedua orangtuanya. Begitu juga dengan kedua orangtuanya yang menyambut dengan penuh syukur.
Tante kemudian mendatangi rumah Dewi untuk memberikan uang panjar sejumlah 30 juta kepada kedua orang tuanya. Tante ini mengatakan bahwa inilah uang yang akan diterima Dewi untuk kontrak selama 6 bulan bersamanya. Nantinya Dewi tidak akan mendapatkan gaji bulanan dari Tante karena sudah dirapel dimuka dan diberikan kepada kedua orangtuanya. Dewi hanya akan mendapatkan uang makan harian dan mungkin beberapa tips dari kerjaanya.
Keluarga Dewi cukup senang, karena seumur-umur baru kali ini melihat uang rupiah lembaran dalam jumlah yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Mereka menganggap ini seperti rejeki yang turun dari langit. Sudah terbayang rencana untuk merenovasi rumah yang reyot ini. Sudah terbanyang untuk membelikan sebuah sepeda motor buat adik laki-laki Dewi. Sudah terbayang menggunakan uang ini untuk tabungan naik haji tahun depan. Sudah banyak rencana-rencana yang akan mereka siapkan.
Singkat kata sampailah Dewi di kota bersama dengan 4 orang remaja putri seusianya. Mereka berlima diinapkan di sebuah rumah yang kata Tante itu akan menjadi semacam training centre sebelum mereka bekerja. Tante menjelaskan bahwa mereka berlima nanti harus melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Ikuti apa semua kemauan tamu. Jangan pernah membantah sedikitpun.
Sampai akhirnya disinilah Dewi berada, dan sekarang baru dua bulan kontrak berjalan dari enam bulan yang direncanakan. Setiap tamu yang mendapatkan servis dari Dewi diharuskan membayar 200 ribu. Tapi tidak semuanya masuk ke kantong Dewi. Sebanyak 80ribu akan masuk ke Dewi, tapi bukan dikantongin benar. Karena ingat nggak dulu Tante pernah memberikan 30 juta kepada Dewi. Jadi 80 ribu tetap masuk ke Tante. Sisanya yang 80 ribu lagi akan benar-benar masuk ke kantong Tante sebagai uang germo. Sedangkan yang 40 ribu lagi akan masuk ke calo yang menawarkan Dewi kepada calon tamu, termasuk kepada saya.
Aku tercengang mendengar penuturan Dewi ini. Itulah kenapa pekerja seks perempuan tidak pernah mampu menyimpan uang hasil kerjanya. Uang 30 juta yang terlihat besar sekali tadi akan segera habis dalam dua sampai tiga bulan pertama setelah diberikan kepasa keluarganya.
“Dewi, kamu jangan mau dong digituin. Ini namanya perbudakan moderen,” kataku dengan penuh harap.
“habis gimana oom, ini mau nya Dewi sendiri sih,”
Apa yang bisa aku lakukan lagi kalau kata-kata itu sudah keluar.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid
Huahaha… Tepatnya maunya Om dan Dewi mau duit Om kan? Ah, Om ini aya-aya wae….
gus…pas di awal2 cerita, kayak lagi baca cerita di situs cerita jorok…hehehe