Cerita Pagi

Posted by mobile phone:
Seorang ibu datang ke klinik bersama seorang pemuda yang berwajah tirus. Jaket tebalnya terlihat seperti membenamkan badannya yang kurus. Wajah si ibu tampak seperti orang yang kebingungan. Sedangkan pemuda yang selalu berada di sisi ibu tadi tampak memandang sekeliling dengan tatapan mata yang kosong. Mereka berdua terlihat kebingungan ketika memasuki klinik ini.
Melihat situasi yang sudah biasa terjadi ini, seorang perempuan muda berseragam perawat datang menyambut dengan ramah sembari menanyakan maksud kedatangan mereka berdua. Dengan sedikit ragu sang ibu menjelaskan tentang kondisi anaknya, si pemuda yang sedari tadi masih menatap nanar dinding dinding klinik yang penuh dengan berbagai macam poster.

Sekilas tersirat rona keraguan dari tatapan mata si ibu sambil memandang dengan tatapan penuh harap kepada perawat yang ramah tadi. Emosi tertahan yang sebenarnya bergejolak di dalam pikirannya mengenai solusi terbaik yang bisa diberikan kepada anaknya.
Si ibu mulai cair, ketika mengawali cerita tentang anaknya yang satu bulan yang lalu dirawat di rumah sakit. Perawat mendengarkan dengan seksama semua penuturan ibu sembari mempersilakan ibu untuk masuk dan duduk di ruangan konsultasi yang ukurannya tidak melebihi sebuah pos kamling. Walaupun kecil, ruangan ini cukup nyaman dengan sebuah sofa sudut dan satu unit AC setengah PK yang menyejukkan ruangan.
Memasuki ruangan yang nyaman tersebut, tanpa ragu si ibu segera merebahkan diri di sofa diikuti oleh anaknya yang tirus. Dengan perasaan lebih lega, si ibu mulai menceritakan bagaimana awal mula cerita tentang anaknya.
Ibu memulai cerita ketika anaknya yang merupakan anak kost di ibukota, mulai merasakan panas badan yang naik turun. Kejadian tersebut telah berlangsung selama satu minggu. Sang anak kemudian berinisiatif berobat ke dokter di rumah sakit. Petugas kesehatan di sana memutuskan untuk merawat pemuda ini. Setelah menjalani beberapa hari perawatan, kondisinya makin membaik. Namun dokter yang merawat menaruh kecurigaan setelah melihat banyak sekali tattoo yang ada di tubuh pemuda tirus tadi. Dugaan thypoid mulai mengarah kepada dugaan AIDS. Dengan kreatifitas yang tinggi, sang dokter memerintahkan perawat untuk mengambil sampel darah pemuda tirus tadi dan membawa ke laboratorium di RS tersebut untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV. Tidak berselang lama, hasilnya sudah keluar dan langsung diserahkan kepada dokter yang merawat.
Pada saat visite pagi berikutnya, sang dokter mengatakan kepada pemuda tirus yang masih dirawat di bangsal bahwa hasil tes antibodi HIV menunjukkan hasil yang reaktif, artinya si pemuda tirus tadi terbukti positif HIV.
Pada saat diberikan informasi tersebut, ada beberapa kerabat dan teman yang sedang datang berkunjung. Kontan mereka mengernyitkan dahi dan beberapa saling berbisik. Sementara si pemuda sedang mengupas apel dengan sebulah pisau dapur di tangan kanannya.

Bagaikan disambar geledek di siang bolong, wajah pemuda tirus ini langsung pucat pasi. Hampir saja jari tangannya teriris pisau dapur yang sedianya untuk mengupas apel. Wajahnya yang tirus menjadi bertambah pasi. Bingung, depresi, frustasi marah dan banyak perasaan tidak nyaman bercampur menjadi satu bergulat dalam benaknya.
Sang dokter segera bergegas meninggalkan bangsal, merasa tugasnya sebagai penyampai berita telah selesai.Namun masalah belum selesai. Yang terjadi sebenarnya adalah masalah baru saja dimulai.

Sang ibu segera membawa pemudanya pulang kembali ke kota kelahirannya di bandung. Perasaan bingung seorang ibu ketika menyaksikan bahwa anaknya yang amat dia sayangi tervonis HIV sungguh amat memilukan. Namun ibu sadar, bahwa penyesalan dan kesedihan yang berkepanjangan tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan tekad bulat, si ibu berusaha semaksimal mungkin mencari informasi tentang tempat layanan HIV, dan sampailah ibu dan pemuda tirus tadi ke klinik ini.

Perawat yang ramah tadi segera memanggil dokter agar dapat melakukan konsultasi lebih lanjut. Dokter segera datang menyambut keduanya dengan sapaan yang melegakan. Perasaan ibu dan pemuda menjadi semakin lega.

Setelah melakukan diskusi yang cukup lama, dokter memutuskan untuk melakukan test ulang. Tentu saja bukan sembarang test. Tes kali ini akan dilakukan dengan konseling terlebih dahulu. Karena pada saat diskusi di awal, terlihat bahwa kedua orang ini belum memahami tentang apa saja yang perlu diketahui tentang HIV. Dokter menjelaskan, bahwa konseling ini bertujuan untuk menyiapkan mental dan untuk merencanakan langkah selanjutnya atas hasil yang akan keluar nantinya. Seandainya hasilnya positif akan ada perencanaan yang tentunya telah dibicarakan di awal konseling. Namun seandainya hasilnya negatif juga akan ada perencanaan mengenai tata cara agar si pemuda tirus ini tetap negatif. Sampai disini hati si pemuda masih bimbang. Matanya masih nanar. Dalam hatinya masih berkecamuk pikiran, toh dirinya sudah positif. Namun yang menjadi fokus perhatian dokter bukanlah pada hasilnya. Namun lebih kepada kesiapan mental dan konselingnya. Akhirnya pemuda dan ibu setuju. Toh tidak ada ruginya untuk melakukan tes ulang. Namun kali ini test dengan metodologi yang lebih tepat.

Akhirnya dokter meminta si ibu untuk meninggalkan sang pemuda bersama dokter saja. Hal ini dilakukan agar si pemuda lebih nyaman dan terbuka dalam melakukan konseling. Dari hasil konseling didapatkan bahwa ternyata si pemuda tirus ini tidak mempunyai faktor resiko untuk terinfeksi HIV. Memang badannya banyak tattoo. Namun itu semata karena dia memang seniman tattoo dan sedang bersekolah di sekolah seni. Dia juga menuturkan mengenai penggunaan jarum yang baru dan steril setiap akan melakukan tattoo.

Akhirnya konseling telah selesai dilakukan. Cukup lama juga waktu yang diambil. Hampir satu jam telah berlalu. Banyak pertanyaan yang diajukan pemuda. Namun hikmahnya sekarang dia jadi mengerti tentang semua yang berhubungan dengan HIV. Darah kembali diambil. Pemeriksaan langsung dilakukann di klinik itu. Tidak berapa lama akhirnya keluar hasil yang menyatakan bahwa hasilnya,…. Negatif. Dokter menjadi bingung. Akhirnya memohon ijin untuk diambil darah sekali lagi, karena khawatir sampelnya tertukar. Pemeriksaan yang keduapun hasilnya negatif.

Sekarang gantian dokternya yang bingung, karena tidak menyangka akan memperoleh hasil yang negatif. Namun hasil apapun tetap harus disampaikan. Bukan main girangnya hati si ibu dan pemuda tadi. Namun dokter menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulangan dengan metode yang gold standard. Artinya metode ini menjadi acuan dalam menentukan nilai sensitifitas reagen pemeriksaan lainnya. Ibu dan pemuda tadi setuju. Namun harus mengeluarkan biaya sedikit lebih mahal dan waktu yang lebih lama, satu bulan.

Satu bulan berselang, keluarlah hasil tes tersebut. Ternyata dengan pemeriksaan yang gold standard, hasilnya juga negatif.

Apakah Anda menyukai artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *