Terminologi penyakit kelamin sebenarnya sudah lama ditinggalkan. Saat ini dipakai terminologi infeksi menular seksual (IMS).
Masalahnya sebagian besar IMS tidak ada gejalanya…
Lho kok bisa,…?
Iya, IMS cenderung mempunyai masking symptom atau gejala sub klinis. Dengan kata lain under the radar.
Terutama pada perempuan. Mengapa?
Bayangkan seorang bayi (atau kadang lebih) bisa bertahan lebih dari sembilan bulan dalam rahim perempuan. Dimana rahim itu merupakan saluran reproduksi yang juga kepanjangan dari salah satu organ seksual. Kebayang kan betapa luas nya rahim tadi. Saking luasnya rahim ini, membuat infeksi bisa terjadi dimana saja dan membuat gejalanya sub klinis.
Paling-paling gejala yang sering timbul adalah keputihan. Keputihan adalah hal yang biasa buat perempuan bukan? Menjelang mens sering keputihan. Lagi stress juga keputihan. Dimarahin suami jadi keputihan. Nggak punya duit juga jadi keputihan,..(He he,..)
Akhirnya makin sub klinis lah gejala tersebut. Ditambah dengan penggunaan cairan-cairan antiseptik vagina yang katanya bisa menyehatkan vagina. Faktanya malah membuat IMS menjadi semakin sub klinis.

Sekarang dari sudut pandang pria. Jika seorang pria kena IMS, pria ini cenderung untuk mengobati sendiri. Biasanya dia akan bertanya kepada teman yang pernah terkena. Nama-nama obat antibiotik untuk IMS pun beken di kalangan pria-pria yang sering jajan. Resiko yang ditimbulkan adalah obat-obat ini menjadi resisten karena penggunaannya yang cenderung misuse dan abuse. Akibatnya gejala sub klinis pada pria juga akan semakin sering. Ditambah infeksi yang recurent (hilang timbul).

Fakta berikutnya berkaitan dengan pasangan seks. Jika salah satu terkena IMS dan pasangan seks nya tidak diobati maka akan menciptakan pingpong phenomenon. Infeksinya akan bolak-balik diantara pasangan tersebut. Sangat penting untuk juga mengobati pasangan seks ini,…

Masih yakin bilang gue nggak akan kena penyakit kelamin?.