Pengobatan Pasangan Seksual

Suatu ketika saya pernah kedatangan seorang bapak yang sudah cukup berumur. Sebut saja namanya Pak Budi. Dia datang ke tempat praktek saya dalam rangka mencari pengobatan atas keluhan yang ada di alat kelaminnya. Sudah sekitar dua tahun Pak Budi merasakan keluhan sakit pada saat kencing. Keluhan ini juga disertai dengan nanah berwarna kekuningan yang terkadang keluar menetes. Seringnya nanah tersebut membekas berupa bercak di celana dalamnya.

“Saya sudah berobat kemana-mana dok, tapi nggak pernah sembuh. Bahkan bulan lalu saya berobat ke Singapore tapi masih sakit nih kalau kencing,” begitu penjelasan Pak Budi. Kemudian saya menanyakan mengenai terapi apa saja yang pernah diterima. Kemudian dituturkan segala macam obat yang pernah dia makan ataupun pernah disuntikkan dokter. Seringnya kalau datang ke dokter pasti akan langsung disuntik. Tidak itu saja. Biasanya disertai dengan sedikit omelan dari si dokter ,”makanya pak,.. Jangan jajan lagi, gini nih akibatnya kalo bolak-balik jajan aja.” Begitulah kurang lebih “omelan” dokter-dokter yang pernah dia kunjungi.

“Saya tuh udah lama sekali nggak jajan dok. Saya pengen bener-bener sembuh. Tapi kok ini penyakit masih nempel aja ya,” katanya membela diri. Pak Budi juga bilang, biasanya jika dia bilang demikian maka dokter yang merawat akan kembali ngomel lebih keras, “mana saya tahu bapak jajan atau nggak. Saya kan nggak 24 jam mengawasi bapak.” Omelan para dokter tadi tentu saja disertai dengan bahasa tubuh dan mimik muka yang tidak menyenangkan. “Udah nih pak, saya kasih obat yang paling mahal. Sembuh nih abis ini. Tapi jangan jajan lagi deh. Kapok dong pak. Ingat umur.”

Menarik juga apa yang diceritakan Pak Budi. Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari cerita tadi.

Pertama, biasanya dokter akan memberikan obat yang paling mahal kepada pasien infeksi menular seksual (IMS) dengan alasan agar pasien kapok.
Kedua, dokter akan lebih senang memberikan obat secara intra muskular atau suntikan dengan berbagai macam alasan. Yang paling sering adalah alasan kepraktisan dan alasan yang sama dengan kesimpulan nomor satu di atas.
Ketiga, dokter tidak banyak memberikan nasehat berkaitan dengan perilaku seksual. Kebanyakan nasehat seksual hanya berkaitan dengan apa yang sudah dilakukan. Seringnya juga nasehat ini lebih berupa asumsi atau perkiraan dari dokter.
Keempat, dokter akan langsung menjatuhkan stigma, sehingga pasien juga akan semakin malas menceritakan kronologis penyakitnya. Takut distigma. Padahal senjata utama diagnosa IMS adalah anamnesa yang tajam.

Kepada Pak Budi kemudian saya jelaskan panjang lebar mengenai IMS. Banyak hal yang belum dia ketahui. Sehingga penjelasan saya berdasarkan pada hal-hal yang ingin dia ketahui. Dengan demikian saya mencoba membangun komunikasi dua arah. Manfaatnya adalah agar Pak Budi merasa dilibatkan dalam proses menggali faktor penyebab penyakitnya. Satu hal yang saya tekankan adalah mengenai pasangan seksual. Selain berhubungan seks dengan pekerja seks, tentunya Pak Budi juga berhubungan seks dengan istri nya. Saya menduga bahwa telah terjadi “Ping Pong Phenomenon” atau fenomena bola pingpong. Hal ini terjadi jika hanya salah satu saja dari pasangan seksual yang diobatin. Akibatnya pada pihak yang diobatin memang telah sembuh, namun akan kembali tertular dari pasangan seks yang masih terinfeksi IMS. Apalagi infeksi Neisseria ghonorheae (penyebab kencing nanah) kebanyakan tidak menimbulkan gejala pada perempuan. Anda bisa bayangkan bahwa Pak Budi pasti akan terkena IMS berulang kali karena penyebab infeksinya tidak ikut serta diobati. Kemudian saya sarankan bahwa sebaiknya istri juga ikut diobati. Akhirnya Pak Budi setuju walaupun dengan berat hati. Karena jika demikian berarti Pak Budi harus memberitahukan kepada Bu Budi bahwa selama ini dia sering berhubungan seks dengan pekerja seks.

Minggu depannya Pak Budi datang lagi. Kali ini bersama dengan istrinya. Seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik. Saya yakin dulu waktu mudanya pasti cantik sekali. Istrinya tampak gamang ketika saya ajak berbicara mengenai kemungkinan infeksi yang terjadi. Konseling kemudian berjalan lancar, karena ternyata Pak Budi sudah menceritakan panjang lebar kepada istrinya dan sudah terjadi komitmen diantara mereka. Saya yakin sebuah komitmen yang baik untuk kedepannya. Setelah selesai melalui konseling yang cukup baik, karena berjalan dua arah, akhirnya sampailah pada diagnosa dan pengobatan. Nasehat berkaitan dengan aktifitas seksual tetap diberikan. Termasuk wajib menggunakan kondom pada saat mereka berdua masih dalam fase pengobatan. Juga dijadwalkan rencana kunjungan pada minggu berikutnya sebagai sebuah rencana tindak lanjut. Akhirnya mereka berdua berhasil sembuh dari IMS dengan dibuktikan pemeriksaan yang negatif pada tujuh hari kemudian.

Anamnesa IMS yang lengkap merupakan sebuah keharusan. Jika tidak maka diagnosa dokter hanya akan berdasar pada asumsi semata. Asumsi tidak bisa dijadikan dasar pengobatan karena sifatnya yang subyektif. Demikian juga dengan pengobatan pasangan seksual yang harus tetap dilakukan walaupun sangat berat. Hampir 90 persen pengobatan IMS mengalami kegagalan karena tidak adanya pengobatan pasangan seksual. Maksud pasangan seksual ini bukan saja terbatas pada istri. Namun juga pacar atau selingkuhan jika ada. Untuk itulah fungsi anamnesa yang benar-benar tajam sangat dibutuhkan. Membina hubungan yang baik dengan pasien merupakan salah satu kunci utama. Daripada memberikan cap dan stigma kepada pasien, akan lebih baik jika dokter membina relasi yang baik melalui konseling-konseling yang paripurna.

Apakah Anda menyukai artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *