Tiga Tidak Tahu

Almarhum Ki Nartosabdho pernah memberikan pesan seperti ini: Menjadi orang kaya itu tidaklah mudah. Selalu kepikiran akan harta bendanya. Tidurpun menjadi susah. Bingung mau ditaruh dimana harta bendanya itu. Mau disimpan dimanapun khawatir ketahuan orang lain. Saking bingungnya, malah akhirnya duitnya dimasukkan ke dalam sumur.

Memang terlalu banyak harta itu hanya akan membuat kehidupan menjadi tidak tentram. Lho kok?? Beda halnya dengan orang yang tidak punya apa-apa. Meskipun pintu rumahnya dibuka lebar-lebar dan tidak pernah dikunci, tidak pernah akan khawatir kalau rumahnya akan dimasuki maling. Seandainya maling masuk ke rumahnya malah jadi bingung, lha wong tidak ada barang berharga yang bisa dicolong.

Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan seorang manusia itu tidak bergantung kepada banyak sedikitnya harta benda yang dimiliki. Sehingga ada pepatah jawa yang mengatakan bahwa ‘Manungsa iku kudu luwih saka bandhane.’ Kalo manusia sudah sangat disibukkan dengan hawa nafsu dan kemauan maka semua yang dikumpulkan menjadi tidak bermakna. Padahal rumahnya sudah besar dan real estate. Mobilnya sudah lima dan kinclong semua. Belum tentu semua itu bisa membawa keselamatan bagi si pemilik. Manusia seperti itu sudah kehilangan kemanusiaannya.

Manusia yang gila akan harta itu mempunyai gejala tidak pernah akan puas. Sama persis dengan orang yang rakus terhadap makanan. Walaupun segala jenis makanan sudah masuk ke dalam mulut, namun perut masih saja terasa lapar. Istilahnya keberatan harta. Hidup menjadi tidak simpel lagi. Semua serba sulit untuk dijalani.

Bagi manusia yang sudah terlanjur terperangkap dalam jeratan harta benda, para sesepuh jaman dulu selalu memberikan tiga ajaran sebagai berikut.

Yang pertama, manusia harus tahu apa tujuan hidupnya. Coba tanyakan kepada diri sendiri, apa sebenarnya tujuan hidup masing-masing. Semestinya jawabannya bukanlah untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, tapi untuk mencapai harkat kemanusiaan tertinggi dan untuk mencapai ketentraman hati. Dari masa ke masa saya semakin yakin bahwa pencapaian harkat tertinggi manusia itu hanya bisa dicapai jika kita mampu dengan ikhlas memberikan sebagian harta kita kepada orang lain yang membutuhkan. Dengan demikian pemahaman akan makna tujuan hidup bisa lebih mudah dimengerti.

Agar tidak terjerat oleh perangkap harta, maka para sesepuh jaman dulu kemudian memberikan resep keduanya, yaitu : manusia harus mampu melihat batas dari diri sendiri. Manusia itu bukanlah mahluk serba bisa atau mahluk serba memiliki. Kepandaian, kecerdasan dan kepemilikan itu ada batasnya. Dimanakah letak keterbatasan saya? Jika mampu menjawab pertanyaan ini, maka tujuan hidup tidak akan kesasar kesana kemari.
Secara gampangnya dijelaskan sebagai berikut, manusia itu lahir sudah dengan takaran masing-masing. Entah takarannya itu gelas, ember atau drum. Mau dipaksa diisi air sebanyak apapun kalau takaran dan batasan kita hanya gelas, maka air sisanya hanya akan terbuang berceceran tidak berguna. Sifat-sifat serakah memang sudah menjadi naluri dasar manusia. Memang masuknya rasa serakah itu sangat halus. Kita mungkin tidak pernah menyadarinya. Tahu-tahu lubuk hati kita sudah dipenuhi oleh beragam keinginan yang tidak berbatas. Maka sangat penting bagi manusia untuk menyadari kehalusan rasa serakah. Kapan rasa serakah itu mulai muncul harus segera dipukul mundur sebelum rasa itu menyelimuti segenap tujuan dan langkah hidup manusia.

Pesan para sesepuh yang ketiga adalah : Manusia harus sadar akan kebutuhannya. Manusia itu sering terjerat dalam urusan yang tidak perlu. Midnight sale yang marak akhir-akhir ini di Jakarta merupakan salah satu usaha untuk menjerat nafsu manusia dalam melupakan urusan-urusan yang perlu. Seandainya saya punya baju yang sangat berlebih , lalu apa gunanya baju tersebut kalau kemudian hanya tersimpan rapi di lemari dan tidak pernah dipakai. Beda dengan orang yang pas-pasan. Bajunya hanya itu-itu saja. Tentu saja orang yang pas-pasan akan lebih menghargai apa yang dimilikinya dibandingkan dengan orang yang punya koleksi baju yang hanya disimpan di lemari. Saking bingungnya karena banyaknya baju di lemari, akhirnya kembali hanya akan memakai baju yang itu-itu lagi. Baju lainnya tidak pernah terpakai. Lain halnya jika baju yang tidak terpakai tadi disumbangkan bagi orang yang pas-pasan. Tentu akan menjadi sangat berharga karena kemudian dipakai sehari-hari. Dengan kata lain: keperluan manusia itu sebenarnya tidaklah banyak, dengan demikian tidak perlu memiliki barang-barang yang tidak diperlukan.

Tidak tahu tujuan, tidak tahu batasan dan tidak tahu kebutuhannya adalah tiga hal yang akan membuat orang tersandung korupsi atau tindak pidana lainnya. Memang korupsi itu sebenarnya adalah sebuah kata lain dari ketidak tahuan terhadap tiga hal tadi. Kebalikannya, orang yang tahu akan tiga hal dasar, akan secara ototamis dituntun ke dalam kebahagiaan dan ketentraman hidup.

Apakah Anda menyukai artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid

2 thoughts on “Tiga Tidak Tahu

  1. ada yang belanja karena seneng aja, habis belanja, barang ditaruh di rumah tapi gak pernah dipake. bener2 sikap konsumerisme. cuman ya kayaknya orang kayak gitu emang suka menumpuk2 barang. kalau disuruh mbagiin ke orang lain yang membutuhkan belum tentu juga mau.

  2. Sayang yah, padahal udah mahal-mahal dibeli. Tulisan ini juga sekaligus menjadi reminder saya. Banyak baju di lemari yang menumpuk tidak terpakai. Tadi siang sudah saya distribusikan kepada yang lebih membutuhkannya, semoga,…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *