Pekerja Seks dan Upaya Penanggulangan HIV yang Bersifat Lokal

Minggu lalu seorang teman saya baru datang dari India. Dia seorang perempuan muda yang bekerja pada SUPPORT, sebuah organisasi internasional yang berfokus pada pemberdayaan perempuan. Kebetulan Hirshini, nama teman saya, berfokus pada upaya pencegahan HIV. Khususnya upaya promosi kondom perempuan, yang mana merupakan sebuah strategi baru dalam pencegahan HIV. Kawan saya ini belum pernah melihat situasi lokalisasi yang ada di Indonesia. Kemudian dia meminta saya untuk dapat mengajaknya ke sebuah lokalisasi. Akhirnya pada suatu malam Jumat kami pergi ke sebuah lokalisasi yang terletak di Jakarta Timur.

Lokalisasi ini terletak berdekatan dengan sebuah kompleks militer. Bukan berarti sebagian besar pelanggannya adalah militer. Namun kami bisa melihat secara nyata bahwa banyak perempuan pekerja seks yang tengah malam berdiri-berdiri di depan gerbang komples militer tersebut. Mobil patroli polisi pun lalu lalang di sekitarnya. Sudah pasti para polisi ini dapat melihat pekerja seks maupun komples pelacuran itu.

Kami berjanji untuk bertemu dengan dua orang petugas lapangan yang biasa melakukan penjangkauan pekerja seks di sana. Para petugas lapangan ini berasal dari sebuah LSM yang sudah cukup lama bergerak dalam upaya penanggulangan HIV di Indonesia.

Kemudian kami pun berkeliling lokasi. Para pekerja lapangan ini mengarahkan kami kepada seorang mami untuk dapat melakukan dialog, atau lebih tepatnya wawancara. Informasi yang kami dapatkan dari mami ini kalau saya nilai too good to be true. Karena mami itu bercerita bahwa semua anak buahnya selalu menggunakan kondom kalau melayani tamunya. Jika ada tamu yang menolak menggunakan kondom maka anak buahnya juga akan menolak untuk melayani tamu itu. Sebuah fenomena yang sangat baik jika memang dilaksanakan.

Untuk membuktikan kebenaran ucapannya kami pun mencoba berkeliling ke kamar-kamar yang digunakan untuk transaksi seks. Kamarnya sangat tidak higienis. Tidak ada fasilitas air bersih yang memadai. Hanya ditunjang oleh sebuah ember yang disediakan oleh penjaga kamar. Tidak ada dipan. Hanya ada sebuah kasur yang tergeletak di lantai. Penerangan kamar yang remang-remang dengan sebuah lampu 5 watt cukup membuat kamar menjadi lembab. Ditambah dengan ventilasi yang amat sangat tidak memadai. Ketika saya tanyakan kepada penjaga kamar tentang ketersediaan kondom, kebanyakan menjawab dengan acuh tak acuh. Artinya tidak menyediakan.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke beberapa kamar. Kebetulan kami menjumpai sebuah wisma yang bagian depannya juga memiliki warung. Bapak pemilik wisma cukup kooperatif. Namun ternyata juga tidak menyediakan kondom. Bapak ini malah menunjukkan kepada saya beberapa paket pembalut wanita herbal yang diyakini dapat meningkatkan kesehatan organ reproduksi perempuan. Di kalangan pekerja seks ucapan tersebut diyakini sebagai “dapat mencegah HIV dan IMS”. Sebuah fenomena yang kontradiktif dengan ucapan Mami yang kami temui di awal kami masuk lokalisasi.

Akhirnya kami mengarah untuk pulang karena malam sudah mulai larut. Saat sedang menuju keluar jalan, pundak saya ditepuk oleh seorang pekerja seks yang menanyakan apakah saya membawa kondom. Sayang sekali saya tidak siap membawa kondom pada saat itu. Begitu juga dengan Hirshini. Pekerja seks ini bukan siapa-siapa. Dia hanyalah seorang perempuan biasa yang memang mencari nafkah disitu.

Si mbak ini kemudian berkeluh kesah tentang tidak adanya layanan kesehatan yang sebenarnya sangat dia butuhkan. Mendengar keluh kesah ini, petugas lapangan yang dari tadi mendampingi kami kemudian memarahinya. Dia mengatakan bahwa dari LSM tempat dia bekerja selalu rutin tiap minggu mengadakan pemeriksaan kesehatan namun mbak yang sedang bicara dengan saya ini tidak pernah ada.

Agak kaget juga saya mendengar pernyataan petugas lapangan ini. Bukankah seharusnya pelayanan kesehatan dan informasi apapun harus berorientasi kepada klien ?

Kesimpulan saya dan Hirshini selama mengelilingi lokasi itu adalah tidak konsistennya informasi yang yang kami terima. Hal ini mungkin dikarenakan tidak seriusnya upaya penanggulangan HIV di sana. Sementara sebagian besar orang menuntut adanya peraturan yang jelas dari pusat, namun ternyata upaya pengendalian di tingkat akar rumput juga tidak pernah dikerjakan dengam serius. Padahal pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa lebih penting upaya advokasi yang bersifat lokal dibandingkan dengan upaya-upaya nasional atau regional yang pasti akan selalu terbentur oleh situasi politis.

Last week a friend of mine arrived from India. She was a young woman who worked at SUPPORT, an international organization that focuses on empowerment of women. Hirshini, my friend’s name, focuses on HIV prevention efforts. Especially female condom promotion efforts, which is a new strategy in HIV prevention. My friend has never seen the situation in Indonesia sexual transaction complex (called localization). Then she asked me to be able to take her to a brothel complex. Finally, one Thursday night we went to a brothel complex, located in East Jakarta.

The localization is adjacent to a military complex. Not that most of the customers are military. However, we can see clearly that many of sex workers are standing in front of the military gate complex. Police patrol car was passing around them. Certainly the police are able to view sex workers as well as prostitution complex.

We had an appointment to meet with two field officers who used to do outreach sex workers there. The officers of this field comes from an NGO that has long been active in efforts to combat HIV in Indonesia.

Then we went around the location. The field workers directed us to a ‘Mami” to be able to engage in dialogue, or rather the interview. The information we get from this Mami, by my perpsective, is too good to be true. Because mom was told that all “her girls” always use condoms when serving guests. If there are guests who refuse to use condoms then her girlss also will refuse to serve the guest. A phenomenon that is very good if it is implemented.

To prove the truth of her words we were trying to get around to the rooms used for the sex trade. The room was not hygienic. There are no adequate clean water facilities. Only supported by a bucket which is provided by the room keepers. There are no cot. There was only a mattress lying on the floor. Lighting a dimly lit room with a 5 watt lamp (enough to make room becomes damp). Coupled with extremely inadequate  ventilation. When I asked the room keeper on the availability of condoms, most responded with indifference. Which is no condoms provided.

We then walked up into several rooms. We find a guesthouse whose front also has a stall. The guesthouse owners were quite cooperative. But it also does not provide condoms. The man even showed me a few packets of herbal sanitary napkin that is believed to improve the health of female reproductive organs. Among sex workers those believed to be “to prevent HIV and STIs.”

When we were heading out of the way, my shoulder tapped by a sex worker who asked me if I bring a condom. Unfortunately I was not prepared to carry a condom at the time. Likewise with Hirshini. The sex workers who tapped me are a nobody. She is just an ordinary woman who was making a living there.

The sex Workers then complain about the lack of health services that she actually needs. Hearing these complaints, field officers who had been accompanying us then scolded. He said that the NGO where she worked always held a weekly routine medical examination, but the sex workers was never there.

I am also somewhat surprised to hear a statement from this field officers. Should the health service and any information oriented to the client?

My conclusion during the visit is inconsistent information that we received. This is probably due to a not serious HIV prevention efforts there. While most people insist on clear rules of the sexual trade in the national level, but it turns that efforts at the grassroots level has also never done in a serious manners. Yet the experience from various countries shows that it is more important to do advocacy efforts locally compared with the efforts on national or regional that will always hit by the political situation.

Apakah Anda menyukai artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *