HIV dan Stigma: Ketika Informasi Absen, Stigma Mengambil Alih

HIV dan Stigma: Ketika Informasi Absen, Stigma Mengambil Alih

Coba bayangkan, di dunia yang sudah maju, ada internet, ada medsos, tapi masih banyak orang yang mendengar kata “HIV” langsung kaget dan menjauh. Seperti melihat kecoa terbang di malam hari, stigma terhadap HIV di Indonesia seringkali lebih menakutkan daripada virusnya sendiri. Ironis? Pastinya! Apalagi saat kita tahu bahwa, sebenarnya, banyak dari mereka yang takut ini justru kurang informasi tentang HIV.

Buat mereka yang kurang paham, HIV sering kali dibayangkan seperti sebuah kutukan. Persis seperti film horor yang penuh kutukan, dengan anggapan bahwa orang yang hidup dengan HIV adalah “pembawa nasib buruk” bagi masyarakat. Banyak yang mengira HIV bisa menular dengan cara bersalaman, duduk bersama, atau sekadar berbicara. Eh, benar ini tahun 2024, kan? Apa mungkin kalender kita salah dan sebenarnya kita masih di tahun 1980-an?

Coba kita telaah mitos-mitos yang tak masuk akal ini. Ada yang bilang, “Jangan duduk di sebelah ODHIV (Orang dengan HIV), nanti ketularan!” atau “Jangan makan di piring yang sama dengan ODHIV, nanti virusnya menempel!” Mitos-mitos ini mirip banget dengan ketakutan zaman dulu soal dukun santet, hanya saja versi modernnya. Padahal faktanya, HIV hanya bisa menular melalui beberapa cairan tubuh spesifik, bukan lewat piring, bukan lewat pelukan, dan apalagi lewat bisikan!

Media kita juga turut ambil peran dalam memperpanjang usia stigma ini. Kalau berita tentang HIV muncul, lebih sering berfokus pada sisi yang menakutkan atau sensasional. Headline seperti, “Kasus HIV Meledak di XYZ!” lebih menarik perhatian ketimbang, “Cara Mendukung ODHIV untuk Hidup Sehat.” Tidak heran banyak orang masih berprasangka, karena media yang lebih dulu membuat kita panik. Katanya berita positif itu membosankan, tapi mungkin sudah saatnya kita membuat “kebosanan” ini sebagai tren baru?

Di Indonesia, diskriminasi terhadap ODHIV tidak hanya terjadi di masyarakat umum, tetapi juga di lingkungan kerja dan pendidikan. Sudah terlalu banyak kasus karyawan yang kehilangan pekerjaannya hanya karena status HIV. Bahkan ada beberapa yang harus menjalani “persidangan” informal, di mana HRD dan atasan sibuk bergosip dan mendiskusikan “penyakitnya.” Padahal, mereka yang hidup dengan HIV sudah melalui banyak tantangan dalam hidup, harusnya mendapat dukungan bukan malah dihakimi.

Lebih ironis lagi, diskriminasi kadang muncul dari kalangan medis sendiri. Dalam skenario ideal, tenaga medis semestinya menjadi pelopor dalam menghapus stigma. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—ada ODHIV yang ditolak perawat atau dokter, ada yang dibiarkan menunggu lebih lama dari pasien lainnya. Bahkan ada yang diberikan perlakuan “khusus” seolah-olah mereka membawa penyakit menular mematikan yang baru. Kalau tenaga medis saja tidak bisa menerima ODHIV dengan terbuka, bagaimana kita bisa berharap dari masyarakat umum?

Pendidikan adalah salah satu faktor utama yang dapat mengubah persepsi. Sayangnya, kurikulum pendidikan kita jarang mengupas tentang HIV dengan benar. Biasanya hanya ada satu dua kalimat dalam pelajaran Biologi, itupun cenderung berfokus pada aspek menakutkan tanpa menjelaskan sisi pencegahan atau penanganan. Tidak heran banyak remaja yang tetap buta akan informasi dasar tentang HIV. Kalau mau seru, mungkin kita butuh kurikulum yang lebih realistis—satu yang mengajarkan empati dan juga fakta!

Indonesia sebagai negara dengan beragam kepercayaan, sering kali memadukan isu kesehatan dengan agama. HIV pun tidak lepas dari penghakiman moral. Ada yang beranggapan bahwa HIV adalah akibat dari dosa besar, seolah virus ini adalah “hukuman” dari Tuhan. Hal ini mengesampingkan fakta bahwa banyak ODHIV yang tertular bukan dari perilaku “berisiko,” melainkan dari pasangan yang mungkin sebelumnya tidak diketahui statusnya. Jadi, sampai kapan agama akan digunakan sebagai alasan untuk menghukum ODHIV?

Bayangkan jika kita bisa mengubah perspektif masyarakat. Bayangkan jika kita bisa mendukung ODHIV layaknya manusia biasa yang juga berhak atas kehidupan normal. Bagaimana caranya? Pertama, mari kita desak media untuk mengedepankan informasi yang edukatif, bukan hanya yang provokatif. Kedua, reformasi kurikulum adalah sebuah keharusan agar generasi berikutnya memahami HIV dengan tepat sejak dini. Ketiga, tenaga medis perlu diberikan pelatihan tentang pentingnya melayani semua pasien tanpa stigma.

Jadi, saat kita melihat seseorang yang hidup dengan HIV, apa yang terlintas dalam pikiran? Takut? Malu? Atau simpati dan keinginan untuk mendukung? Mari kita ubah pemikiran kita dari ketakutan ke pemahaman, dari stigma ke empati. HIV adalah tantangan kesehatan, tetapi stigma adalah penyakit sosial yang lebih sulit diobati. Jika kita terus membiarkan stigma merajalela, maka HIV bukanlah yang menjadi ancaman terbesar, melainkan kebodohan dan ketakutan kita sendiri.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *