Komersialisasi Kesehatan di Indonesia – Menjadi Sehat untuk Mereka yang Mampu Saja?

Komersialisasi Kesehatan di Indonesia – Menjadi Sehat untuk Mereka yang Mampu Saja?

Ah, kesehatan. Kata yang katanya milik semua orang, tapi kenyataannya di Indonesia sering terasa seperti barang mahal yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu. Di negara kita yang tercinta ini, kesehatan adalah hak, tapi untuk sebagian orang, lebih terlihat seperti “hak eksklusif.” Siapa yang punya duit, dia yang sehat; sementara yang lain, yah… selamat berjuang!

Kalau Mau Sehat, Harus Siap Investasi

Sadar nggak sih, kita sekarang hidup di dunia di mana “promo sehat” hampir setara dengan promo elektronik di e-commerce? Buka aplikasi kesehatan, semua menawarkan diskon untuk cek darah, paket vaksinasi, hingga layanan konsultasi dokter. Tapi tentu saja, promo hanya berlaku bagi yang mampu. Yang kurang mampu? Nggak ada diskon spesial buat mereka, hanya ada antrian panjang di fasilitas kesehatan umum atau puskesmas dengan fasilitas yang kadang masih serba terbatas.

Di kota besar, klinik-klinik pribadi tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Ada klinik kecantikan, klinik imunisasi, klinik kesehatan mental, dan segala macam jenis klinik lainnya. Tentu saja, semua berbayar dengan harga fantastis yang bisa membuat dompet menjerit. Kesehatan akhirnya menjadi komoditas, sesuatu yang dijual-belikan, dan bagi mereka yang tidak punya uang… maaf, kesehatan mungkin hanya sebuah mimpi.

Sakit Itu Mahal, Tapi Lebih Mahal Lagi Kalau Kamu Tidak Kaya

Ketika berbicara soal asuransi kesehatan, orang-orang berduit bisa pilih-pilih paket premi asuransi yang sesuai selera mereka. Ada yang paket premium, ada yang full coverage, bahkan ada asuransi khusus untuk rawat inap di rumah sakit luar negeri! Luar biasa bukan? Tapi bagi mereka yang hanya mampu BPJS, selamat datang di dunia antrian tanpa ujung, persyaratan administratif yang membingungkan, dan kadang harus bersabar karena ketersediaan fasilitas kesehatan yang terbatas.

BPJS memang menjadi harapan utama bagi mayoritas rakyat Indonesia. Tapi sayangnya, meski konsepnya luar biasa, realisasinya sering kali mengecewakan. Antrian panjang, minimnya ketersediaan obat, hingga pelayanan yang lambat sudah jadi keluhan umum. Intinya, kalau mau sehat tapi dana terbatas, sepertinya harus siap mengalokasikan waktu ekstra.

Kenapa Dokter Selalu Tampak Sibuk di Klinik Swasta?

Aneh tapi nyata, dokter-dokter yang bekerja di fasilitas kesehatan umum sering juga bisa ditemui di klinik-klinik swasta dengan harga konsultasi selangit. Kenapa bisa begitu? Yah, mungkin karena di klinik swasta mereka bisa mendapatkan pendapatan tambahan yang jauh lebih menarik ketimbang honor di fasilitas kesehatan umum. Alhasil, klinik swasta ramai, sementara puskesmas dan rumah sakit umum terkadang kurang tenaga.

Fakta ini membuat kita bertanya-tanya, “Kesehatan ini milik siapa sih sebenarnya?” Apakah hanya untuk mereka yang punya dana berlebih untuk membayar layanan kesehatan premium, ataukah benar-benar untuk semua warga negara?

Ketimpangan Kesehatan: Sebuah Misteri yang Tak Terjawab?

Mungkin bagi sebagian besar rakyat Indonesia, keadilan kesehatan hanya sebatas slogan di spanduk pemerintah. Realitasnya, mereka yang miskin masih harus bergelut dengan berbagai hambatan untuk mendapatkan pelayanan yang layak. Ironis, di negara dengan semboyan “Kesehatan untuk Semua,” kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa “Semua” itu sering kali hanya berlaku bagi yang mampu membayar.

Menunggu Perubahan atau Mencari Alternatif?

Apakah kita harus menunggu keajaiban agar sistem kesehatan ini berubah? Ataukah sudah saatnya kita menjadi kreatif dengan cara-cara lain untuk menjaga kesehatan? Mungkin, saat ini bagi sebagian masyarakat, sehat bukan lagi hak tapi sebuah keberuntungan. Toh, siapa yang bisa mengontrol takdir? Di negara ini, kesehatan masih saja terkesan hanya untuk mereka yang punya modal – sisanya? Harus pintar-pintar cari solusi sendiri.

Jadi, inilah realita komersialisasi kesehatan di Indonesia. Bagi mereka yang punya uang, akses kesehatan adalah paket lengkap. Bagi mereka yang tidak punya? Semoga sehat selalu. Kalau tidak, selamat bergelut dengan birokrasi panjang dan fasilitas yang seadanya.

Apakah mungkin ini hanya fase yang akan berlalu? Mungkin. Atau mungkin juga ini hanya sarkasme yang menyedihkan.


Discover more from drBagus.com

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply