Pencegahan HIV saat ini sudah lebih canggih. Tidak hanya mengandalkan kondom atau edukasi setengah hati di acara seminar, kini ada opsi lebih konkret dan inovatif: Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP). Bukan lagi sekadar pil harian yang harus diminum seperti suplemen vitamin, PrEP kini tersedia dalam berbagai bentuk—mulai dari oral PrEP, Dapivirine Vaginal Ring (DVR) yang efektif untuk wanita, hingga suntikan Cabotegravir Long Acting (CAB-LA) yang memberikan proteksi panjang tanpa harus diulang setiap hari. Inovasi ini seharusnya menjadi game-changer, memberi harapan untuk mencegah HIV lebih luas dan lebih mudah. Tapi, pertanyaannya: sudah seberapa siap Indonesia?
Di era digital ini, inovasi PrEP sudah selevel startup unicorn—terus berkembang, menghadirkan solusi yang lebih terukur. Bagi mereka yang tidak nyaman minum pil setiap hari, DVR dan CAB-LA adalah solusi ideal. DVR adalah cincin yang dimasukkan ke dalam vagina dan mampu memberikan perlindungan hingga sebulan, sementara suntikan CAB-LA bisa melindungi hingga dua bulan. Kedua metode ini sudah teruji secara ilmiah dan telah disetujui di beberapa negara sebagai metode pencegahan HIV yang sah dan aman.
Namun, dalam konteks Indonesia, kemajuan ini lebih terasa seperti kabar yang hanya lewat di udara. Meski potensinya besar untuk membantu kelompok berisiko tinggi, inovasi-inovasi ini seolah tertahan di pintu regulasi dan birokrasi yang lambat—sementara jumlah infeksi baru tetap mengkhawatirkan.
Bukan rahasia lagi, Indonesia adalah salah satu negara dengan kasus HIV yang terus meningkat, terutama di kalangan anak muda dan populasi berisiko tinggi. Seharusnya, dengan adanya PrEP dalam berbagai bentuk, kita bisa menekan angka infeksi baru. Namun sayangnya, implementasi PrEP di Indonesia masih berjalan seperti keong. Setiap detik yang berlalu tanpa PrEP yang luas adalah detik-detik di mana ada seseorang yang mungkin terinfeksi HIV. Bayangkan, sebuah alat yang efektif untuk pencegahan sudah di depan mata, namun terlambat diaplikasikan. Tragis? Sangat.
Banyak negara, termasuk negara tetangga Thailand, sudah mampu mengurangi kasus HIV mereka dengan menerapkan strategi pencegahan yang lebih progresif. Di Thailand, PrEP tersedia lebih luas dengan harga terjangkau dan akses mudah, serta diiringi kampanye edukasi besar-besaran yang menjangkau segala lapisan masyarakat. Hasilnya? Thailand telah berhasil menekan angka infeksi HIV baru secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu kendala terbesar yang menghantui pencegahan HIV di Indonesia adalah stigma. Banyak orang yang masih melihat HIV sebagai “penyakit moral,” dan stigma ini begitu lekat hingga mengganggu upaya pencegahan. Bahkan metode pencegahan seperti kondom atau PrEP pun tak lepas dari stigma ini. Kondom masih dianggap tabu, dan orang yang menggunakan PrEP malah kadang dianggap sebagai seseorang yang “cari-cari penyakit” atau malah “berlebihan.”
Padahal, PrEP adalah pilihan medis yang berbasis bukti. Di banyak negara, PrEP dianggap sebagai alat yang sangat efektif untuk melindungi mereka yang berisiko tinggi terhadap HIV. Ada penelitian dari CDC (Center for Disease Control and Prevention) yang menyatakan bahwa PrEP bisa mengurangi risiko infeksi HIV hingga 99% jika digunakan secara benar dan konsisten. Namun di Indonesia, kesadaran terhadap bukti ilmiah ini masih minim. Masyarakat perlu diedukasi bahwa PrEP bukan hanya untuk kelompok tertentu, tetapi untuk semua orang yang ingin melindungi diri mereka dari HIV. Menjaga diri sendiri dari infeksi adalah bentuk tanggung jawab, bukan sebuah alasan untuk dihakimi.
Thailand adalah contoh negara yang mampu menerapkan PrEP dengan baik dan efektif. Di Thailand, PrEP sudah menjadi bagian dari layanan kesehatan masyarakat yang bisa diakses dengan mudah, bahkan dengan biaya yang sangat terjangkau. Selain itu, mereka juga gencar melakukan kampanye publik untuk mengurangi stigma dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang HIV. Hasilnya, angka infeksi baru di Thailand terus menurun. Program ini tidak hanya berhasil melindungi mereka yang berisiko tinggi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan terbuka terhadap pencegahan HIV.
Di Indonesia, sudah saatnya kita memandang HIV dan pencegahannya secara ilmiah dan berbasis bukti, bukan sekadar berdasarkan norma-norma sosial atau pandangan moral. HIV bukan penyakit yang memilih siapa yang akan diinfeksi; ia menyerang siapa saja yang tidak terlindungi. Menggunakan PrEP, seperti halnya menggunakan masker untuk mencegah COVID-19, adalah tindakan preventif yang cerdas. Kita perlu menggencarkan edukasi kepada masyarakat bahwa PrEP, DVR, dan CAB-LA adalah pilihan yang valid dan aman untuk mencegah HIV, bukan indikasi bahwa seseorang “tidak bermoral.”
Berdasarkan data ilmiah, PrEP dapat menjadi solusi yang efektif untuk menekan angka infeksi HIV baru di Indonesia. Namun, hal ini hanya akan terjadi jika masyarakat, tenaga medis, dan pemerintah bersatu padu mengatasi stigma dan memberikan akses yang lebih luas. Mari kita dorong penggunaan PrEP di masyarakat, dorong edukasi yang lebih intensif, dan pastikan akses PrEP tersedia untuk semua.
Kita memiliki kesempatan besar untuk menurunkan angka HIV di Indonesia. PrEP, DVR, dan CAB-LA sudah tersedia dan terbukti efektif. Thailand sudah membuktikan bahwa implementasi PrEP yang masif dapat menekan angka infeksi baru. Apakah Indonesia akan terus menunda-nunda, ataukah kita akan mengambil langkah konkret untuk masa depan yang bebas HIV? Keputusan ada di tangan kita semua.
Jika masih ada yang menolak, mungkin sudah waktunya kita bertanya, “Mau nunggu apa lagi?”
Sayangnya masih ada nakes yang seharusnya lebih paham dengan pencegahan HIV tetapi malah menolak pemberian PrEP karena dianggap memfasilitasi “seks bebas” . Sedih memang, perjuangan mengurangi angka penularan HIV melalui pencegahan tetapi justru tidak mendapat dukungan maksimal.
Memang ironis dan menyedihkan melihat kenyataan seperti ini. PrEP sebenarnya adalah salah satu upaya preventif yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV, terutama bagi mereka yang berada dalam kelompok risiko tinggi. Sayangnya, masih banyak yang belum memahami bahwa tujuan utama PrEP bukan untuk “memfasilitasi” perilaku tertentu, tetapi untuk melindungi kesehatan publik dan individu dari risiko HIV.
Stigma dan stereotip sering kali menghalangi kita untuk melihat manfaat jangka panjang dari pencegahan seperti PrEP. Padahal, tugas tenaga kesehatan adalah memberikan layanan tanpa prasangka, mendukung upaya pencegahan yang berbasis bukti, dan memastikan setiap orang mendapatkan akses ke informasi dan alat pencegahan yang mereka butuhkan.
Ini adalah perjuangan bersama yang memerlukan edukasi berkelanjutan, baik bagi masyarakat umum maupun di kalangan tenaga kesehatan sendiri. Dengan pemahaman yang lebih baik, semoga ke depannya ada perubahan perspektif dan dukungan yang lebih besar terhadap PrEP sebagai bagian penting dari pencegahan HIV. Terima kasih sudah menyuarakan keprihatinan ini!