Bayangkan jika Anda harus mengenakan masker setiap kali keluar rumah, bukan karena pandemi, tetapi karena udara yang Anda hirup beracun. Polusi udara semakin menjadi perhatian di berbagai kota besar di dunia, termasuk di Asia Tenggara. Baru-baru ini, pemerintah Thailand mengeluarkan anjuran work from home (WFH) dan penggunaan masker N95 akibat tingginya kadar polutan PM2.5 di Bangkok. Pengalaman pribadi saya tinggal selama ini di Bangkok menunjukkan bahwa ketika tingkat PM2.5 meningkat signifikan, Bangkok Metropolitan Administration (BMA) secara proaktif mengeluarkan peringatan kepada warga. Mereka menganjurkan untuk tetap di rumah dan, jika harus keluar, menggunakan masker N95. Langkah-langkah ini mencerminkan keseriusan BMA dalam menangani polusi udara dan melindungi kesehatan masyarakat. Di sisi lain, Jakarta, yang juga mengalami masalah polusi yang sama, tampaknya masih enggan mengakui kondisi ini sebagai krisis kesehatan publik. Mengapa bisa demikian?
PM2.5: Musuh Tak Terlihat yang Berbahaya
PM2.5 adalah partikel halus dengan ukuran ≤2,5 mikrometer, sekitar 30 kali lebih kecil dari diameter sehelai rambut manusia. Karena ukurannya yang sangat kecil, partikel ini dapat masuk jauh ke dalam paru-paru dan bahkan menembus aliran darah. PM2.5 terutama berasal dari asap kendaraan bermotor, pembakaran bahan bakar fosil, industri, serta kebakaran hutan. Paparan jangka panjang terhadap PM2.5 dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius, termasuk penyakit pernapasan kronis, gangguan kardiovaskular, dan peningkatan risiko kanker paru-paru. Data dari IQAir sering menunjukkan bahwa Jakarta dan Bangkok memiliki tingkat PM2.5 yang sangat tinggi, yang seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat.
Perbedaan Respons Pemerintah: Bangkok vs. Jakarta
- Transparansi dan Pengakuan
- Di Bangkok, pemerintah secara terbuka mengakui bahwa polusi udara adalah masalah serius. Misalnya, ketika tingkat PM2.5 mencapai angka berbahaya, Bangkok Metropolitan Administration (BMA) segera mengeluarkan peringatan resmi. Mereka mengimbau warga untuk WFH, mengurangi aktivitas di luar ruangan, serta mewajibkan pemakaian masker N95 bagi yang harus keluar rumah.
- Di Jakarta, pejabat sering menghindari atau mengalihkan permasalahan ini. Misalnya, ketika kualitas udara memburuk, beberapa pejabat menyatakan bahwa polusi disebabkan oleh cuaca ekstrem atau siklus alami. Bahkan, ada yang menyebut bahwa asap rokok dari pejalan kaki turut berkontribusi terhadap tingkat polusi udara yang tinggi, meskipun data ilmiah menunjukkan bahwa faktor utama berasal dari kendaraan bermotor, industri, dan pembangkit listrik tenaga batu bara. Pernyataan kontroversial juga datang dari salah satu calon presiden yang merupakan mantan gubernur Jakarta, yang menyebut bahwa angin tidak memiliki KTP ketika ditanya soal polusi udara. Pernyataan ini hanyalah retorika basi tanpa transparansi atau solusi konkret dalam mengatasi permasalahan polusi yang semakin memburuk.
- Politisasi dan Kepentingan Ekonomi
- Di Thailand, kebijakan lingkungan lebih berbasis sains dan kesehatan masyarakat, meskipun ada tantangan dari sektor industri dan pertanian. Misalnya, ketika polusi udara di Bangkok melonjak tinggi, pemerintah langsung mengeluarkan larangan pembakaran terbuka di daerah pertanian dan memperketat aturan emisi kendaraan. Selain itu, stasiun pemantauan kualitas udara tersebar di berbagai titik kota, memberikan informasi real-time kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil langkah pencegahan.
- Di Indonesia, polusi udara menjadi isu politis yang menyentuh kepentingan sektor energi, industri, dan transportasi. Banyak aktor politik yang tidak ingin merugikan hubungan mereka dengan industri batu bara, otomotif, dan properti. Hal ini terjadi karena sektor-sektor tersebut memiliki pengaruh ekonomi yang besar dan keterkaitan dengan pemangku kebijakan. Selain itu, banyak proyek infrastruktur besar yang didanai oleh perusahaan dengan kepentingan dalam industri berpolusi tinggi, sehingga regulasi ketat terhadap polusi seringkali dihindari untuk menjaga stabilitas investasi dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, ada dugaan bahwa beberapa pejabat mendapat keuntungan langsung dari komersialisasi sektor-sektor ini, misalnya melalui konsesi tambang, pengadaan kendaraan berbasis fosil, atau investasi dalam proyek industri beremisi tinggi. Akibatnya, regulasi yang lebih ketat sering terhambat oleh kepentingan bisnis yang telah mengakar dalam sistem pemerintahan.
- Kesadaran Publik dan Tekanan Masyarakat
- Masyarakat Bangkok lebih aktif dalam menuntut kebijakan yang lebih baik terkait polusi udara, seperti dengan protes dan petisi. Hal ini terjadi karena kesadaran akan dampak kesehatan akibat polusi telah lama ditanamkan melalui edukasi publik. Selain itu, akses informasi yang transparan memungkinkan masyarakat untuk memahami tingkat polusi udara secara real-time, mendorong mereka untuk menuntut tindakan konkret dari pemerintah.
- Di Jakarta, kesadaran publik masih perlu ditingkatkan. Banyak warga yang belum memahami bahaya PM2.5, dan hanya sedikit tekanan terhadap pemerintah untuk mengambil tindakan nyata. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya edukasi publik mengenai dampak polusi udara, keterbatasan akses informasi real-time tentang kualitas udara, serta kebiasaan warga yang sudah terbiasa dengan kondisi udara buruk dan menganggapnya sebagai sesuatu yang normal. Selain itu, isu polusi udara sering kali dianggap sebagai masalah jangka panjang yang tidak memerlukan perhatian segera, sehingga kurang mendapat prioritas dalam tuntutan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
- Kebijakan Mitigasi yang Berbeda
- Bangkok: Memiliki kebijakan peringatan dini polusi, anjuran WFH, pembatasan kendaraan, dan peningkatan kualitas transportasi umum. Hal ini dilakukan karena pemerintah menyadari dampak buruk polusi terhadap kesehatan masyarakat serta ekonomi jangka panjang. Pemerintah memahami bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati, karena dampak kesehatan akibat polusi dapat meningkatkan biaya perawatan medis dan menurunkan produktivitas masyarakat. Dengan sistem pemantauan udara yang akurat, pemerintah dapat segera memberikan peringatan dini agar masyarakat dapat mengambil langkah pencegahan. Selain itu, transportasi umum yang lebih baik dan regulasi yang ketat terhadap industri dan kendaraan bermotor membantu mengurangi sumber utama pencemaran udara.
- Jakarta: Belum memiliki kebijakan emergency response yang jelas, transportasi publik masih belum menarik, dan regulasi terhadap emisi industri masih lemah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya menyadari pentingnya pencegahan dibandingkan pengobatan dalam menangani dampak polusi udara. Kurangnya investasi dalam sistem pemantauan udara dan langkah mitigasi yang lebih proaktif menjadi bukti bahwa masalah ini belum dianggap sebagai prioritas utama. Sebagai akibatnya, masyarakat terus terpapar polusi tanpa adanya perlindungan yang memadai.
Mengapa Jakarta Sulit Mengakui Polusi sebagai Krisis?
Alasan utama mengapa kepentingan ekonomi dan politik lebih diutamakan dibanding kesehatan masyarakat di Jakarta adalah karena banyak aktor yang memiliki kepentingan finansial dan politis dalam sektor-sektor penyumbang polusi.
- Dominasi Industri Berpolusi dalam Perekonomian
- Sektor batu bara, otomotif, dan properti adalah tiga industri besar yang sangat berkontribusi terhadap ekonomi nasional dan memiliki pengaruh kuat dalam kebijakan pemerintah. Ketergantungan pada industri ini sangat tinggi karena mereka menyediakan lapangan pekerjaan dalam jumlah besar serta menjadi sumber pendapatan negara melalui pajak dan investasi. Selain itu, hubungan erat antara para pemilik industri dengan elite politik memperkuat posisi mereka dalam menentukan regulasi yang lebih menguntungkan bisnis mereka, sering kali dengan mengorbankan kebijakan lingkungan yang lebih ketat. Hal ini membuat langkah-langkah mitigasi polusi udara sulit diterapkan secara efektif karena adanya konflik kepentingan yang mendalam.
- Hubungan Erat antara Pejabat dan Korporasi
- Banyak perusahaan besar yang beroperasi di sektor-sektor ini memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah, baik melalui lobi politik, kepemilikan saham, atau konsesi bisnis. Hubungan ini sering kali tidak hanya bersifat profesional, tetapi juga mencerminkan kepentingan ekonomi yang saling menguntungkan. Beberapa pejabat memiliki saham atau kepemilikan tidak langsung dalam perusahaan-perusahaan ini, sehingga ada insentif untuk mempertahankan kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka. Selain itu, pemberian konsesi bisnis dan proyek infrastruktur sering kali melibatkan perusahaan yang memiliki hubungan politik kuat, yang menyebabkan regulasi lingkungan menjadi lebih longgar atau tidak ditegakkan secara ketat.
- Politisasi Isu Lingkungan
- Alih-alih mengakui polusi sebagai krisis, beberapa pejabat justru menggunakan isu ini sebagai bahan kampanye atau mengalihkan perhatian publik dengan menyalahkan faktor lain. Strategi ini sering digunakan untuk mempertahankan citra politik dan menghindari tanggung jawab langsung. Dengan memainkan narasi tertentu, mereka dapat menggeser fokus masyarakat ke isu lain, seperti menyalahkan faktor alam, perilaku individu, atau bahkan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Hal ini menciptakan ilusi tindakan tanpa benar-benar memberikan solusi nyata terhadap masalah yang ada.
- Minimnya Regulasi dan Penegakan Hukum
- Regulasi yang ada sering kali tidak cukup ketat atau tidak ditegakkan dengan baik karena adanya kepentingan bisnis. Banyak kebijakan yang dibuat masih mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek daripada dampak lingkungan jangka panjang. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan besar memiliki hubungan dekat dengan pemangku kebijakan, baik melalui lobi politik maupun kepentingan finansial. Akibatnya, meskipun ada aturan mengenai emisi industri atau standar kualitas udara, implementasinya sering kali longgar atau penuh kompromi. Selain itu, tekanan dari sektor bisnis yang kuat membuat banyak regulasi mengalami penundaan atau bahkan dilonggarkan agar tidak menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Fokus utama pemerintah lebih banyak diarahkan pada pertumbuhan ekonomi dibanding kesehatan masyarakat, sehingga tindakan nyata untuk mengurangi polusi udara sering tertunda atau tidak menjadi prioritas utama. Transparansi dalam kebijakan lingkungan dan pemisahan kepentingan ekonomi dari regulasi lingkungan diperlukan agar solusi yang lebih berkelanjutan dapat diterapkan. 2. Minimnya tekanan dari masyarakat untuk mendorong perubahan kebijakan. 3. Kurangnya kebijakan responsif untuk menghadapi lonjakan polusi udara. 4. Isu lingkungan masih sering dipolitisasi, alih-alih ditangani dengan pendekatan berbasis bukti.
Apa yang Harus Dilakukan?
Tentu! Paragraf ini mengusulkan langkah-langkah konkret yang perlu diambil agar Jakarta bisa menangani polusi udara secara lebih serius. Mari kita bahas setiap poin secara lebih rinci:
- Transparansi data polusi oleh pemerintah
- Saat ini, Jakarta memiliki sistem pemantauan kualitas udara seperti yang disediakan oleh BMKG dan KLHK, tetapi data ini tidak selalu tersedia secara real-time dan sering kali tidak disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.
- Bangkok, misalnya, menggunakan stasiun pemantauan kualitas udara yang tersebar di berbagai titik kota, memberikan akses informasi yang mudah diakses melalui aplikasi atau situs web pemerintah.
- Transparansi ini penting agar masyarakat dapat mengambil tindakan pencegahan sendiri, seperti menghindari aktivitas luar ruangan atau menggunakan masker N95 ketika kualitas udara memburuk.
2. Peningkatan kesadaran publik tentang bahaya PM2.5
- PM2.5 adalah polutan udara berbahaya yang bisa masuk ke dalam paru-paru dan aliran darah, menyebabkan berbagai penyakit serius seperti asma, penyakit jantung, dan kanker paru-paru.
- Kesadaran publik masih rendah karena kurangnya edukasi di sekolah, kampanye media, serta minimnya keterlibatan komunitas lokal.
- Bangkok sering melakukan kampanye kesadaran publik yang melibatkan sekolah, media sosial, dan pusat kesehatan, yang mendorong warga untuk lebih proaktif dalam melindungi diri dari polusi udara.
3. Kebijakan konkret seperti pembatasan kendaraan dan regulasi emisi industri
- Jakarta saat ini memiliki ganjil-genap sebagai upaya membatasi kendaraan, tetapi efektivitasnya masih terbatas karena belum diterapkan secara menyeluruh dan tidak mencakup kendaraan roda dua.
- Bangkok telah mulai mempromosikan kendaraan listrik dan meningkatkan efisiensi transportasi umum sebagai solusi jangka panjang.
- Di sisi industri, regulasi emisi harus lebih ketat, dengan pengawasan lebih kuat terhadap pabrik dan PLTU berbasis batu bara yang menjadi penyumbang polusi udara terbesar di Jakarta.
4. Pengakuan resmi bahwa polusi udara adalah masalah kesehatan publik serius
- Di Bangkok, pemerintah tidak segan untuk mengakui polusi udara sebagai ancaman kesehatan, dengan mengeluarkan peringatan ketika kadar polusi tinggi dan menganjurkan WFH (work from home) bagi pekerja.
- Jakarta perlu melakukan hal yang sama, yaitu mengakui polusi udara sebagai krisis yang membutuhkan solusi segera daripada terus mengabaikan atau mengalihkan isu ini dengan alasan politis.
- Dengan pengakuan ini, kebijakan penanganan polusi udara dapat dimasukkan ke dalam rencana aksi kesehatan nasional, serta diintegrasikan dengan kebijakan transportasi dan energi.
Kesimpulannya, Jakarta harus lebih serius dalam menangani polusi udara dengan mengadopsi langkah-langkah yang telah terbukti berhasil di Bangkok dan kota-kota lain di dunia. Tanpa langkah konkret ini, warga Jakarta akan terus terpapar udara beracun yang mengancam kesehatan mereka dalam jangka panjang.
Tanpa langkah konkret, warga Jakarta akan terus terpapar udara beracun yang merugikan kesehatan mereka dalam jangka panjang. Saatnya pemerintah dan masyarakat bersatu untuk menuntut udara yang lebih bersih dan sehat!