Dunia Tanpa Amerika: Bagaimana Kebijakan “America First” Bisa Mengubah Tatanan Global?

Dunia Tanpa Amerika: Bagaimana Kebijakan “America First” Bisa Mengubah Tatanan Global?

Ketika Donald Trump kembali menegaskan kebijakan America First, dunia harus bersiap menghadapi perubahan besar. Kebijakan ini, yang berfokus pada proteksionisme ekonomi dan pengurangan keterlibatan dalam urusan global, bukanlah hal baru dalam sejarah. Namun, dampaknya bisa jauh lebih luas dibanding yang pernah terjadi sebelumnya.

Sejarah mencatat bahwa kebijakan serupa—isolasionisme dan proteksionisme—sering kali membawa keuntungan jangka pendek, tetapi juga menimbulkan kerugian besar dalam jangka panjang. Amerika Serikat pernah menerapkan kebijakan serupa melalui Doktrin Monroe yang diinisiasi oleh Presiden James Monroe pada tahun 1823. Doktrin ini menegaskan bahwa AS tidak akan ikut campur dalam urusan Eropa dan sebaliknya mengharapkan Eropa tidak ikut campur dalam urusan benua Amerika, dengan tujuan melindungi kepentingan regional AS dan mencegah kolonialisasi lebih lanjut dari kekuatan Eropa. Namun, seiring waktu, AS menyadari bahwa keterlibatan global adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, terlebih dalam konteks ekonomi, militer, dan diplomasi.

Selain AS, banyak negara dalam sejarah juga telah mencoba menerapkan pendekatan yang mirip dengan America First. Dinasti Ming di Tiongkok pada abad ke-15 di bawah Kaisar Hongwu dan penerusnya, Kaisar Yongle, memutuskan untuk menghentikan ekspedisi maritim yang sebelumnya dipimpin oleh Laksamana Zheng He, sebagai bagian dari kebijakan isolasionisme untuk fokus pada stabilitas internal. Jepang pada era Sakoku (1633–1853), di bawah Shogun Tokugawa Iemitsu, melarang perdagangan dan kontak dengan dunia luar, kecuali dengan Belanda dan Tiongkok di Nagasaki, dengan alasan menjaga kestabilan sosial dan politik domestik. Inggris pada abad ke-17 menerapkan Navigation Acts di bawah pemerintahan Oliver Cromwell dan Raja Charles II, yang melarang perdagangan koloni dengan negara lain kecuali melalui kapal Inggris, bertujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi Inggris tetapi juga menjadi salah satu pemicu Revolusi Amerika.

Pada abad ke-20, Uni Soviet di bawah Joseph Stalin menerapkan ekonomi tertutup yang dikenal sebagai Autarki, di mana negara sepenuhnya mengendalikan produksi dan distribusi tanpa keterlibatan pasar luar. Namun, model ini terbukti tidak berkelanjutan dan menjadi salah satu faktor yang mempercepat runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Korea Utara, sejak berdirinya pada 1948 di bawah Kim Il Sung, mengadopsi filosofi Juche atau kemandirian penuh, yang tetap bertahan hingga saat ini, tetapi dengan konsekuensi stagnasi ekonomi dan keterbelakangan dibandingkan negara-negara lain di kawasan.

Kebijakan America First yang diterapkan dalam empat tahun mendatang berpotensi membawa dampak besar bagi ekonomi dan sosial Amerika Serikat. Jika perang dagang dengan China dan negara-negara Eropa terus berlanjut, harga barang di AS akan meningkat karena tarif impor yang lebih tinggi. Kenaikan harga ini terjadi karena produk-produk yang sebelumnya dapat diimpor dengan harga lebih murah kini dikenakan pajak tinggi untuk melindungi industri dalam negeri. Namun, akibatnya, konsumen AS harus membayar lebih mahal untuk barang kebutuhan sehari-hari, yang pada akhirnya dapat meningkatkan tekanan inflasi.

Inflasi yang terus naik dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, yang akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Jika daya beli menurun, konsumsi domestik—yang merupakan salah satu pilar utama ekonomi AS—juga akan melemah. Ini dapat menghambat ekspansi bisnis dan mengurangi penciptaan lapangan kerja, memperburuk ketidakstabilan ekonomi yang sudah mulai terlihat sejak pandemi.

Selain itu, kebijakan pembatasan investasi asing dan pemutusan hubungan dagang akan berdampak signifikan pada industri dalam negeri. Banyak perusahaan AS yang bergantung pada investasi asing, terutama di sektor teknologi, manufaktur, dan energi. Dengan berkurangnya investasi, perusahaan-perusahaan ini akan kesulitan dalam melakukan ekspansi atau inovasi. Akibatnya, daya saing industri Amerika di panggung global bisa semakin menurun, sementara negara lain seperti China, Uni Eropa, dan India berpotensi mengambil alih dominasi dalam berbagai sektor strategis.

Dampak lainnya akan terasa pada sektor kesehatan dan inovasi. Dengan keluarnya AS dari WHO dan pemotongan anggaran riset ilmiah, inovasi medis dan farmasi di negara tersebut bisa melambat. Ini akan berdampak pada keterlambatan dalam pengembangan obat dan teknologi kesehatan, yang sebelumnya didominasi oleh perusahaan dan lembaga riset AS. Kebijakan pemotongan dana kesehatan dan pengurangan kerja sama internasional dapat menyebabkan harga obat-obatan meningkat karena berkurangnya persaingan di pasar global. Ini terutama berdampak pada kelompok rentan seperti lansia dan masyarakat berpenghasilan rendah yang mengandalkan program asuransi kesehatan yang disubsidi pemerintah. Selain itu, dengan berkurangnya investasi asing dan inovasi teknologi medis, industri kesehatan AS bisa kehilangan daya saingnya, yang pada akhirnya dapat mengurangi aksesibilitas dan kualitas perawatan kesehatan bagi warganya sendiri. Jika sistem kesehatan tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan biaya yang terjangkau, angka kesakitan dan kematian akibat penyakit kronis maupun infeksi baru bisa meningkat secara drastis.

Tidak hanya merugikan sektor kesehatan domestik, dampaknya terhadap kesehatan global bisa sangat signifikan. Dengan keluarnya AS dari WHO dan kebijakan proteksionisme dalam industri farmasi, program kesehatan global yang bergantung pada pendanaan AS dapat terganggu. Bantuan kesehatan yang sebelumnya diberikan kepada negara-negara berkembang dalam bentuk vaksin, penelitian penyakit menular, dan akses ke obat-obatan penting bisa terhenti atau berkurang drastis. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan dalam akses layanan kesehatan di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara dengan sistem kesehatan yang masih lemah. Selain itu, tanpa kontribusi ilmuwan dan lembaga riset Amerika dalam kerja sama kesehatan global, inovasi dalam penanganan penyakit menular seperti HIV/AIDS, malaria, dan tuberkulosis bisa melambat, meningkatkan risiko pandemi di masa depan.

Selain dampak dalam bidang ekonomi dan kesehatan, kebijakan ini juga dapat memperburuk polarisasi politik dalam negeri. Sementara sebagian masyarakat mungkin mendukung proteksionisme sebagai upaya untuk melindungi pekerja domestik, ada juga kelompok yang memahami bahwa keterlibatan global tetap penting bagi kemajuan ekonomi. Ketegangan antara kelompok pendukung proteksionisme dan mereka yang pro terhadap globalisasi dapat memperdalam perpecahan politik di dalam negeri, menciptakan ketidakstabilan sosial yang lebih besar.

Jika AS benar-benar menarik diri dari peran kepemimpinan global, beberapa negara akan mengambil keuntungan dari situasi ini. China kemungkinan besar menjadi pemenang utama, dengan semakin dominannya peran negara itu dalam perdagangan global dan organisasi internasional seperti WHO dan WTO. Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas Beijing akan semakin diperkuat tanpa adanya persaingan dari AS. Uni Eropa juga dapat mengambil alih peran dalam diplomasi global, terutama dalam kebijakan lingkungan dan inovasi teknologi. Mata uang euro dapat semakin kuat dibanding dolar AS, terutama jika ketidakstabilan ekonomi AS meningkat.

Di sisi lain, Rusia bisa memperkuat pengaruhnya dalam urusan geopolitik, terutama di Timur Tengah dan Afrika, dengan semakin menurunnya keterlibatan AS di wilayah-wilayah tersebut. India juga dapat menjadi pemain baru dalam ekonomi global, menarik investasi dari perusahaan-perusahaan yang ingin mencari alternatif dari China dan AS.

Sejarah membuktikan bahwa proteksionisme dan isolasionisme tidak pernah berhasil dalam jangka panjang. Meskipun tampaknya dapat memberikan kestabilan ekonomi dalam jangka pendek, kebijakan ini justru sering kali merugikan negara yang menerapkannya dalam jangka panjang. Kurangnya perdagangan dan inovasi menyebabkan negara menjadi tertinggal, sementara perang dagang yang berkepanjangan justru akan merugikan semua pihak yang terlibat.

Pada akhirnya, dunia akan terus bergerak maju, dengan atau tanpa Amerika Serikat sebagai pemimpin utama. Jika AS tidak segera menyesuaikan kebijakannya dan kembali berpartisipasi dalam tatanan global, negara-negara lain akan mengisi kekosongan tersebut dan mengambil peran yang sebelumnya dipegang oleh Amerika. China akan memperkuat posisinya sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, mengendalikan jalur perdagangan dan investasi global. Uni Eropa akan semakin solid dalam perannya sebagai pusat regulasi dan diplomasi internasional, sementara Rusia dan India akan memanfaatkan peluang untuk meningkatkan pengaruh geopolitik mereka. Sejarah telah menunjukkan bahwa negara yang terlalu lama menutup diri akhirnya akan dipaksa untuk membuka diri kembali oleh tekanan ekonomi dan perubahan global yang tak terelakkan. Amerika Serikat tidak terkecuali, dan jika mereka gagal beradaptasi, statusnya sebagai kekuatan dominan dunia bisa semakin terancam dan memudar dalam beberapa dekade ke depan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *