Dalam keseharian generasi saat ini, perangkat digital seolah menjadi perpanjangan dari diri mereka sendiri. Tidak jarang, seseorang memulai hari dengan membuka ponsel sebelum melakukan aktivitas lain. Notifikasi dari media sosial, aplikasi pesan instan, hingga berbagai pemberitahuan dari platform digital lain, seakan tidak pernah berhenti memenuhi ruang perhatian. Meskipun teknologi mempermudah banyak aspek kehidupan, paparan yang berlebihan justru dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental.
Hal tersebut dialami oleh Radit, seorang mahasiswa semester akhir di sebuah universitas di ibukota. Radit dikenal sebagai pribadi yang aktif dan berprestasi. Di balik kesibukannya mengerjakan skripsi dan menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan, ia tetap menyempatkan diri untuk aktif di media sosial. Instagram, TikTok, hingga Twitter menjadi tempat Radit berbagi aktivitas sehari-hari, sekaligus memantau kabar teman-temannya. Namun, tanpa disadari, kebiasaannya menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar mulai menimbulkan berbagai masalah.
Radit mengeluhkan sulit tidur di malam hari, bahkan ketika tubuhnya terasa lelah. Ia juga mulai merasa cemas tanpa sebab yang jelas, sering membandingkan dirinya dengan orang lain yang tampak lebih sukses di media sosial. Prestasi yang selama ini ia capai seolah tidak berarti ketika melihat pencapaian orang lain yang terlihat lebih sempurna. Perasaan itu membuat Radit kehilangan motivasi, sulit berkonsentrasi, dan mudah marah terhadap hal-hal kecil.
Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi pada Radit. Banyak anak muda yang mengalami hal serupa, akibat penggunaan gawai yang tidak terkontrol. Paparan informasi yang terus-menerus, baik dari media sosial maupun platform digital lainnya, membuat otak manusia sulit beristirahat. Pikiran seolah dipaksa aktif tanpa henti, sehingga kelelahan mental pun tak terelakkan.
Menyadari hal itu, Radit memutuskan untuk melakukan detoks digital. Ia mengikuti saran dari dosen pembimbingnya untuk mengurangi intensitas penggunaan ponsel, terutama di luar kebutuhan akademik. Langkah pertama yang ia lakukan cukup sederhana: mematikan notifikasi media sosial di malam hari dan meletakkan ponsel jauh dari tempat tidurnya. Ia juga membatasi waktu bermain media sosial hanya satu jam per hari, yang dijadwalkan setelah jam istirahat siang.
Perubahan kecil ini ternyata memberikan dampak signifikan. Dalam waktu satu minggu, Radit mulai merasakan perbedaan. Ia dapat tidur lebih nyenyak, bangun pagi dalam kondisi segar, dan lebih fokus mengerjakan tugas kuliah. Tanpa gangguan notifikasi yang sebelumnya membuatnya terus-menerus ingin memeriksa ponsel, ia juga merasa lebih tenang secara emosional.
Selain itu, Radit mulai mengisi waktu luangnya dengan aktivitas yang sebelumnya ia abaikan. Ia kembali membaca buku-buku yang selama ini hanya tersimpan di rak. Ia juga rutin berjalan kaki di lingkungan sekitar tempat tinggalnya tanpa membawa ponsel, sekadar untuk menikmati suasana dan memberikan waktu bagi pikirannya untuk beristirahat.
Tidak hanya Radit, sahabatnya, Anya, juga menjalani pengalaman serupa. Sebelumnya, Anya adalah sosok yang sangat aktif di media sosial, terutama dalam membagikan berbagai kegiatan sehari-hari. Namun, ia merasa hubungannya dengan orang-orang di dunia nyata menjadi renggang. Oleh karena itu, Anya memutuskan untuk mengurangi aktivitas media sosialnya dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bertemu langsung dengan teman-temannya. Hasilnya, ia merasa lebih terhubung secara emosional dengan orang-orang di sekitarnya dan tidak lagi merasa tertekan oleh standar-standar yang sering kali muncul di dunia maya.
Detoks digital tidak berarti meninggalkan teknologi sepenuhnya. Langkah ini lebih bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara kehidupan digital dan kehidupan nyata. Mengatur waktu penggunaan gawai, menciptakan zona bebas gadget di rumah, serta meluangkan waktu untuk aktivitas tanpa layar adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan. Melalui cara ini, seseorang dapat menjaga kesehatan mental, meningkatkan kualitas tidur, dan memperkuat hubungan sosial secara langsung.
Di era informasi seperti sekarang, di mana segala sesuatu serba cepat dan terkoneksi, penting bagi setiap individu untuk menyadari batasannya. Penggunaan teknologi secara bijak bukan hanya soal manajemen waktu, tetapi juga bagian dari upaya menjaga kesehatan mental dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Bagi mahasiswa seperti Radit dan Anya, detoks digital telah menjadi solusi sederhana namun efektif untuk menghadapi tekanan mental yang ditimbulkan oleh paparan layar yang berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa sesekali beristirahat dari dunia digital bukanlah suatu kelemahan, melainkan langkah cerdas untuk menjaga kewarasan di tengah hiruk-pikuk dunia maya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama menyoroti dampak penggunaan perangkat digital yang tidak terkontrol terhadap kesehatan mental, khususnya pada kelompok usia remaja dan dewasa muda. Dalam berbagai kajian dan panduan yang dikeluarkan, WHO menekankan bahwa paparan layar yang berlebihan, khususnya untuk aktivitas non-pendidikan, berpotensi meningkatkan risiko gangguan kecemasan, depresi, gangguan tidur, hingga penurunan kemampuan kognitif. Oleh karena itu, WHO merekomendasikan pembatasan waktu penggunaan layar untuk keperluan hiburan atau aktivitas non-produktif, tidak lebih dari dua jam per hari. Batasan ini bertujuan untuk memberikan waktu istirahat yang cukup bagi otak dari aktivitas yang bersifat merangsang secara berlebihan, sekaligus mendorong individu untuk lebih aktif secara fisik maupun sosial di dunia nyata.
Rekomendasi ini juga berkaitan erat dengan pentingnya menjaga kualitas tidur. WHO menegaskan bahwa penggunaan perangkat digital, khususnya menjelang waktu tidur, berdampak negatif terhadap ritme sirkadian tubuh. Paparan cahaya biru dari layar ponsel, tablet, maupun komputer diketahui dapat menghambat produksi hormon melatonin, hormon yang berperan penting dalam mengatur siklus tidur alami manusia. Karena itu, WHO menyarankan agar setiap individu menghentikan penggunaan perangkat digital setidaknya satu jam sebelum waktu tidur. Kebiasaan ini tidak hanya membantu meningkatkan kualitas tidur, tetapi juga berdampak positif terhadap kestabilan emosi dan kemampuan konsentrasi keesokan harinya.
Selain pengaturan waktu penggunaan perangkat digital, WHO juga menekankan perlunya menciptakan ruang-ruang bebas teknologi di lingkungan rumah, seperti ruang makan dan kamar tidur. Praktik ini bertujuan untuk mengembalikan esensi interaksi sosial yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengurangi ketergantungan terhadap perangkat digital di ruang-ruang pribadi dan keluarga, setiap individu diharapkan dapat lebih hadir secara emosional, membangun komunikasi yang lebih terbuka, serta memperkuat hubungan interpersonal yang selama ini kerap terganggu oleh kehadiran teknologi. WHO melihat langkah ini sebagai bagian integral dari upaya menciptakan keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.
Tidak kalah penting, WHO mendorong setiap individu untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan fisik dan menghabiskan waktu di luar ruangan tanpa ketergantungan pada perangkat elektronik. Aktivitas fisik yang teratur terbukti tidak hanya menjaga kesehatan fisik, tetapi juga memberikan efek terapeutik bagi kesehatan mental. Berjalan kaki di taman, berolahraga, atau sekadar menikmati udara segar tanpa interupsi dari notifikasi digital dapat membantu meredakan stres, meningkatkan suasana hati, dan memperkuat fokus terhadap pengalaman hidup yang nyata. WHO menegaskan bahwa integrasi aktivitas fisik dan waktu tanpa layar dalam rutinitas harian merupakan strategi penting dalam membangun gaya hidup sehat di era digital.
Dengan mengikuti panduan yang disampaikan WHO ini, masyarakat diharapkan mampu memperoleh manfaat optimal dari kemajuan teknologi informasi, tanpa mengorbankan kesehatan mental. Detoks digital bukan sekadar tren, tetapi sebuah kebutuhan yang harus menjadi bagian dari gaya hidup modern, terutama bagi generasi muda yang sangat rentan terhadap dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan. Mengelola waktu layar secara bijak adalah langkah awal yang esensial untuk menciptakan kehidupan yang lebih seimbang, sehat, dan bermakna di tengah tantangan dunia digital yang terus berkembang.
Namun pada akhirnya, mungkin pertanyaannya bukan lagi tentang seberapa lama seseorang bisa menahan diri untuk tidak membuka ponsel, tetapi seberapa banyak momen penting dalam hidup yang selama ini telah terlewat hanya karena terlalu sibuk menatap layar. Dalam upaya untuk selalu terhubung dengan dunia luar, ada risiko besar kehilangan koneksi yang paling nyata—hubungan dengan diri sendiri dan orang-orang terdekat. Barangkali, yang perlu dilakukan bukan hanya memutus jaringan internet untuk sementara waktu, melainkan membuka ruang bagi keheningan, percakapan yang tulus, dan kehadiran yang sepenuhnya utuh dalam kehidupan nyata. Karena jika suatu saat menoleh ke belakang, mungkin bukan notifikasi atau unggahan media sosial yang paling akan diingat, melainkan waktu-waktu sederhana yang benar-benar dijalani dengan sepenuh hati, tanpa gangguan layar.
Tanya ke chatbot drBagus.com dengan klik link ini
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.