Puskesmas Ngapain Aja Sih?

Kalau saya sebut kata “Puskesmas” apa yang akan terlintas di benak Anda? Coba dalam waktu 30 detik sebutkan 10 kata kunci yang menggambarkan mengenai Puskesmas di pikiran Anda. Jawabannya mungkin beragam. Bergantung kepada pengalaman individual dalam merasakan layanan Puskesmas. Iseng-iseng saya mengadakan survei kecil-kecilan menanyakan kepada pasien dan teman-teman saya tentang pendapat mereka mengenai Puskesmas. Hampir 80% jawaban yang saya terima mengandung kata kunci yang negatif. Entah itu kotor, lamban, telat, nggak ada dokter dan sebagainya. Namun ada juga jawaban positif misalnya murah, bersahabat, dekat dan nyaman. Semuanya bergantung kepada pengalaman individual tersebut. Justru banyak sekali masyarakat yang terinspirasi oleh pelayanan Puskesmas. Saking terinpirasinya dengan Puskesmas, sebuah lokalisasi di Papua memasang plang cukup besar di pintu masuknya yang bertuliskan “Selamat Datang di Puskesmas (Pusat Kesenangan Mas-Mas)”

Tidak semua Puskesmas mempunyai pelayanan yang buruk. Banyak juga Puskesmas yang sudah mengedanpan layanan prima dan client oriented. Tapi tunggu dulu, apakah sudah sesuai dengan visi misi dan paradigma Puskesmas itu sendiri? Belum tentu Puskesmas yang ramah, nyaman dan bersahabat itu sudah sesuai dengan paradigma Puskesmas. Dalam beberapa kesempatan kunjungan supervisi ke daerah saya sering mendapatkan puskesmas dengan berbagai macam kriteria positif tersebut. Suasananya nyaman. Gedungnya sangat menyenangkan untuk disinggahi. Dokter-dokter dan tenaga kesehatannya ramah-ramah. Pelayanannya cepat  dan sangat user friendly. Namun kembali kepada pertanyaan awal, apakah sudah sesuai dengan prinsip dan visi-misi kesehatan masyarakat?

Okelah kalo begitu, sebelum kita bicara banyak dan mengupas lebih lanjut mengenai Puskesmas yang ada di sekitar kita, ada baiknya kita sedikit melongok teori-teori, definisi, tupoksi dan jargon-jargon lainnya yang mendasari pembentukan Puskesmas. Saya akan coba bercerita mulai dari sejarah sampai implementasi program Puskesmas di bawah ini.

Pusat Kesehatan Masyarakat, disingkat Puskesmas, adalah sebuah Organisasi fungsional. Fungsinya menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat (slogannya orde baru sekali ya disini, he he he,…) Tentu saja fungsi ini memerlukan keterlibatan dan peran serta aktif masyarakat. Namun jangan lupa juga dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang sangat aplikatif dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat, sehingga keberadaan Puskesmas dapat meningkatkan upaya kesehatan masyarakat setempat. Artinya dibutuhkan inovasi-inovasi baru disini. Upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tentu saja dengan tidak mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan.

Dalam pelaksanannya, Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis kesehatan di bawah supervisi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.Secara umum, mereka harus memberikan pelayanan preventif, promotif, kuratif sampai dengan rehabilitatif baik melalui upaya kesehatan perorangan (UKP) atau upaya kesehatan masyarakat (UKM). Nah lohhhhh, berarti upaya kesehatan dasar di sini tidak saja pada kuratif kan? Untuk upaya kesehatan yang bersifat perorangan Puskesmas dapat memberikan pelayanan rawat inap selain pelayanan rawat jalan. Hal ini disepakati oleh puskesmas dan dinas kesehatan yang bersangkutan. Sedangkan dalam upaya memberikan pelayanan di masyarakat, puskesmas biasanya memiliki subunit pelayanan seperti puskesmas pembantu, puskesmas keliling, posyandu, pos kesehatan desa maupun pos bersalin desa (polindes). Unit-unit ini sebenarnya bertujuan untuk membantu aspek promotif, preventif dan rehabilitatif. Karena tidak mungkin Puskesmas berdiri sendiri dan mampu melaksanakan seluruh fingsinya. Selain diiinisiasi oleh pemerintah, upaya ini juga harus melibatkan peran serta masyarakat setempat. Contohnya ya Posyandu tadi. Kebanyakan Posyandu dibina dan dimulai oleh ibu-ibu kader yang tidak digaji dan sifatnya volunteer. Kok mau ya? Ya itulah hebatnya Puskesmas. Kekuatan sebuah Puskesmas adalah pada kekuatan inisiatif masyarakat sekitar.

Baiklah sekarang kita bicara mengenai sejarah perkembangan Puskesmas. Kalau berbicara mengenai sejarah puskesmas tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah kesehatan masyarakat. Sejarah perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak pemerintahan Belanda pada abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia pada waktu itu dimulai dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera yang sangat ditakuti masyarakat pada waktu itu.

Kemudian Kolera masuk kembali di Indonesia pada tahun 1927 dan tahun 1937 sehingga terjadi wabah kolera eltor di Indonesia. Disusul kemudian pada tahun 1948 cacar masuk ke Indonesia melalui Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga berawal dari wabah kolera dan cacar tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat. Hal ini juga merupakan sebuah titik balik karena pada era yang sama di tingkat dunia perkembangan teknologi kesehatan berlangsung dengan sangat cepat, dengan misalnya ditemukan vaksin dan integrasi pencegahan di masyarakat.

Namun demikian di sisi lain pada tahun 1807, pada waktu itu pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, telah dilakukan pelatihan dukun bayi dalam praktek persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka penurunan angka kematian bayi yang tinggi pada waktu itu. Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama karena langkanya tenaga pelatih kebidanan. kemudian pada tahun 1930 dimulai lagi dengan didaftarnya para dukun bayi sebagai penolong dan perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada tahun 1952 pada zaman kemerdekaan pelatihan secara cermat dukun bayi tersebut dilaksanakan lagi.

Di sisi peningkatan sumber daya manusia nya, pada tahun 1851 sekolah dokter Jawa didirikan oleh dr. Bosch, kepala pelayanan kesehatan sipil dan militer dan dr. Bleeker di Indonesia. Kemudian sekolah ini terkenal dengan nama STOVIA (School Tot Oplelding Van Indiche Arsten) atau sekolah untuk pendidikan dokter pribumi, di Jakarta. Setelah itu pada tahun 1913 didirikan sekolah dokter yang kedua di Surabaya dengan nama NIAS (Nederland Indische Arsten School). Pada tahun 1927, STOVIA berubah menjadi sekolah kedokteran dan akhirnya sejak berdirinya Universitas Indonesia tahun 1947 berubah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dari sisi teknologi yang tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah berdirinya Pusat Laboratorium Kedokteran di Bandung pada tahun 1888. Kemudian pada tahun 1938, pusat laboratorium ini berubah menjadi Lembaga Eykman dan selanjutnya disusul didirikan laboratorium lain di Medan, Semarang, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta. Laboratorium-laboratorium ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka menunjang pemberantasan penyakit seperti malaria, lepra, cacar dan sebagainya bahkan untuk bidang kesehatan masyarakat yang lain seperti gizi dan sanitasi.

Pada tahun 1922 pes masuk Indonesia. Disusul kemudian pada tahun 1933, 1934 dan 1935 sehingga terjadi epidemi di beberapa tempat, terutama di pulau Jawa. Kemudian mulai tahun 1935 dilakukan program pemberantasan pes ini dengan melakukan penyemprotan DDT terhadap rumah-rumah penduduk dan juga vaksinasi massal. Tercatat pada tahun 1941, 15.000.000 orang telah memperoleh suntikan vaksinasi. Ini merupakan upaya preventif sebagai bagian dari upaya kesehatan masyarakat.

Pada tahun 1925, Hydrich, seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda, melakukan pengamatan terhadap masalah tingginya angka kematian dan kesakitan di Banyumas-Purwokerto pada waktu itu. Dari hasil pengamatan dan analisisnya tersebut ini menyimpulkan bahwa penyebab tingginya angka kematian dan kesakitan ini adalah karena jeleknya kondisi sanitasi lingkungan. Masyarakat pada waktu itu membuang kotorannya (tinja) di sembarang tempat, di kebun, selokan, kali bahkan di pinggir jalan padahal mereka mengambil air minum juga dari kali. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa kondisi sanitasi lingkungan ini disebabkan karena perilaku penduduk. Oleh sebab itu, untuk memulai upaya kesehatan masyarakat, Hydrich mengembangkan daerah percontohan dengan melakukan propaganda (pendidikan) penyuluhan kesehatan. Sampai sekarang usaha Hydrich ini dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di Indonesia.

Memasuki zaman kemerdekaan, salah satu tonggak penting perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah diperkenalkannya Konsep Bandung (Bandung Plan) pada tahun 1951 oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah, yang selanjutnya dikenal dengan Patah-Leimena. Dalam konsep ini mulai diperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan preventif tidak dapat dipisahkan. Hal ini berarti dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia kedua aspek ini tidak boleh dipisahkan, baik di rumah sakit maupun di layanan kesehatan dasar yang kemudian disebut dengan puskesmas.

Selanjutnya pada tahun 1956 dimulai kegiatan pengembangan kesehatan sebagai bagian dari upaya pengembangan kesehatan masyarakat. Pada tahun 1956 ini oleh dr. Y. Sulianti didirikan Proyek Bekasi (tepatnya Lemah Abang) sebagai proyek percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia dan sebagai pusat pelatihan tenaga kesehatan. Proyek ini disamping sebagai model atau konsep keterpaduan antara pelayanan kesehatan pedesaan dan pelayanan medis, juga menekankan pada pendekatan tim dalam pengelolaan program kesehatan. Untuk melancarkan penerapan konsep pelayanan terpadu ini terpilih 8 desa wilayah pengembangan masyarakat yaitu Inderapura (Sumatera Utara), Lampung, Bojong Loa (Jawa Barat), Sleman dan Godean (Yogyakarta), Mojosari (Jawa Timur), Kesiman (Bali) dan Barabai (Kalimantan Selatan). Kedelapan wilayah tersebut merupakan cikal bakal sistem puskesmas sekarang ini.

Pada bulan November 1967, dilakukan seminar yang membahas dan merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. Pada waktu itu dibahas konsep puskesmas yang dibawakan oleh dr. Achmad Dipodilogo yang mengacu kepada konsep Bandung dan Proyek Bekasi. Kesimpulan seminar ini adalah disepakatinya sistem puskesmas yang terdiri dari tipe A, B, dan C. Dengan menggunakan hasil-hasil seminar tersebut, Departemen Kesehatan menyiapkan rencana induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia. Akhirnya pada tahun 1968 dalam rapat kerja kesehatan nasional, dicetuskan bahwa puskesmas adalah merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah (Departemen Kesehatan) menjadi Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Pada tahun 1969, sistem puskesmas hanya disepakati 2 saja, yakni tipe A dan B dimana tipe A dikelola oleh dokter sedangkan tipe B hanya dikelola oleh paramedis. Dengan adanya perkembangan tenaga medis maka akhirnya pada tahun 1979 tidak diadakan perbedaan puskesmas tipe A atau tipe B, hanya ada satu tipe puskesmas yang dikepalai oleh seorang dokter. .Akhirnya pada tahun 1984 tanggung jawab puskesmas ditingkatkan lagi dengan berkembangnya program paket terpadu kesehatan dan keluarga berencana (Posyandu).

Nah, dengan menilik pada sejarah perkembangan Puskesmas dan upaya pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia, tentu saja kita dapat melihat sebuah benang merah (meminjam istilahnya opera van java,..) bahwa tugas puskesmas tidak saja menyembuhkan yang sakit namun juga mencegah agar yang sehat tidak menjadi sakit. Namun apa lacur, saat ini Puskesmas dikatakan baik oleh pemda apabila berhasil menyumbangkan pendapatan yang besar bagi pemda. Artinya semakin banyak orang yang sakit dan berobat ke puskesmas maka puskesmas tersebut dikatakan berhasil. Kok lucu ya? Ya itulah lucunya paradoks di negeri ini. Jadi secara tidak langsung pemda akan senang kalau rakyatnya semakin banyak yang sakit. The more the merrier.

Namun banyak juga pemda yang menggratiskan seluruh layanan kesehatan dasar sehingga masyarakat yang berobat ke puskesmas tidak akan dipungut biaya. Ini biasanya merupakan realisasi dari janji-janji kampanye yang dibawa oleh bupati/walikota. Namun pelaksanannya akan memberatkan pengelola puskesmas. Tujuannya baik. Agar semakin sedikit masyarakat yang sakit. Namun upaya ini salah kaprah karena hanya memposisikan puskesmas sebagai penjaga gawang kesehatan masyarakat saja. Dalam bermain bola, pertahanan terbaik adalah menyerang. Artinya puskesmas harus mampu turun langsung ke lapangan dan mampu mencegah masyarakat sekitar agar tidak menjadi sakit. Sesuai dengan prinsip yang di atas tadi, mencegah yang sehat agar tidak menjadi sakit. Artinya, dalam aspek manajerial, puskesmas harus mampu mendayagunakan seluruh kemampuan masyarakat dan mulai meninggalkan perannya sebagai penjaga gawang. Puskesmas harus mulai bermain sebagai pelatih, sebagai Alfred Riedl atau Wolfgang Pikal. Puskesmas harus cermat dan mampu melihat potensi apa saja yang dimiliki daerahnya dan mampu mendayagunakan potensi tersebut untuk akhirnya mampu mencetak gol ke gawang lawan, bukan malah sebaliknya kebobolan terus. Tanda-tanda kebobolan ini sebenarnya gampang sekali dilihat, ketika misalnya dalam suatu waktu ditemukan kasus-kasus luar biasa yang padahal bisa dicegah apabila sistem preventif dan promotif nya berjalan dengan baik.

Ayo dong mulai sekarang mulai bermain total footbal dalam mengelola Puskesmas.

Apakah Anda menyukai artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid

One thought on “Puskesmas Ngapain Aja Sih?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *