Ada masa ketika saya bisa menuntaskan lari 5 kilometer dalam 26 menit. Napas masih terkontrol, langkah ringan, dan kepala terasa lapang seolah beban hidup berkurang setiap kali sepatu menyentuh aspal. Tapi itu tujuh tahun lalu, sebelum pandemi COVID-19 datang seperti badai, mengguncang ritme hidup, termasuk rutinitas lari saya.
Kini, di usia 49, saya butuh sekitar 32–35 menit untuk menyelesaikan jarak yang sama. Bukan hanya karena tubuh yang tak lagi sefleksibel dulu, tetapi karena saya juga membawa beban baru: stres pekerjaan, tanggung jawab keluarga, dan pemulihan fisik pasca infeksi yang nyaris tak terasa tapi jelas berbekas, yang sering disebut sebagai Long Covid.
Namun anehnya, meskipun lebih lambat, lari hari ini justru terasa lebih bermakna.
Awalnya saya memaksakan diri. Ingin kembali ke catatan waktu lama. Ingin membuktikan bahwa saya masih bisa. Tapi seiring waktu, saya menyadari satu hal penting: lari bukan lagi soal kecepatan, tapi soal keberlanjutan. Bahwa yang saya butuhkan bukan lomba, tapi ruang untuk berdamai. Ruang untuk menata ulang pikiran dan menyambung ulang koneksi antara tubuh dan jiwa.
Di setiap kilometer, saya belajar mendengarkan tubuh saya. Kadang ada suara batin yang mengeluh, kadang ada napas yang berat. Tapi ada juga momen-momen sunyi yang membebaskan. Saat detak jantung menyatu dengan ritme langkah, dan dunia luar perlahan menghilang dari kesadaran, tersisa hanya saya, jalan, dan udara pagi yang belum tercemar.
Bagi pria usia 40-an, lari bisa menjadi cermin. Kita mungkin tak lagi mengejar prestasi fisik, tapi kita bisa mengejar ketenangan batin. Lari memberi saya ruang untuk berpikir tanpa gangguan. Banyak keputusan penting dalam hidup saya justru lahir dari momen saat atau setelah berlari, ketika otak terasa lebih jernih dan emosi lebih stabil.
Hal ini diperkuat oleh sejumlah studi ilmiah. Penelitian yang diterbitkan di Frontiers in Psychology (2021) menunjukkan bahwa aktivitas aerobik seperti lari secara signifikan menurunkan gejala depresi dan kecemasan, bahkan pada orang tanpa riwayat gangguan mental (Schuch et al., 2021). Aktivitas fisik meningkatkan produksi endorfin dan neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin, yang berperan besar dalam regulasi suasana hati.
Selain itu, studi dari Harvard Medical School menyebutkan bahwa olahraga rutin, termasuk lari, dapat memperbaiki kualitas tidur, meningkatkan harga diri, dan menurunkan risiko demensia, terutama pada kelompok usia menengah ke atas (Harvard Health Publishing, 2020).
Dalam dunia kesehatan masyarakat, kita sering bicara soal self-care, tapi jarang menjadikannya nyata dalam kehidupan pribadi. Lari, bagi saya, adalah bentuk self-care yang paling jujur. Tidak butuh alat mahal. Tidak butuh keanggotaan gym. Hanya butuh kemauan untuk memulai, dan komitmen untuk terus bergerak meski pelan.
Pandemi mungkin mengurangi performa saya, tapi ia juga mengajarkan bahwa hidup bukan kompetisi. Lari pun tidak perlu selalu soal waktu terbaik. Cukup tahu bahwa saya sudah bergerak hari ini, cukup tahu bahwa saya menjaga diri, cukup tahu bahwa saya hadir sepenuhnya dalam setiap langkah.
Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.