Sering Masuk Angin: Sakit Beneran atau Cuma Sugesti?

Sering Masuk Angin: Sakit Beneran atau Cuma Sugesti?

Di Indonesia, “masuk angin” adalah istilah yang sangat akrab di telinga. Dari anak kecil hingga orang tua, hampir semua pernah merasa “masuk angin” dan tahu cara mengatasinya. Entah dengan kerokan, minum jamu, pakai minyak kayu putih, atau tidur sambil dibalur balsem dari kepala hingga kaki. Tapi jika kita berhenti sejenak dan bertanya, “Sebenarnya masuk angin itu apa?”, maka jawabannya menjadi lebih kabur. Jaman saya sekolah kedokteran dulu sering diplesetin sebagai enter the wind. Apakah ini penyakit yang nyata secara medis, atau sekadar istilah lokal untuk berbagai keluhan ringan?

Dalam budaya Indonesia, masuk angin dianggap sebagai kondisi saat tubuh terlalu banyak terpapar angin, cuaca dingin, atau kehujanan. Gejalanya bisa berupa perut kembung, mual, meriang, pegal-pegal, pusing, hingga lemas dan kurang nafsu makan. Banyak yang mengaitkannya dengan ‘angin’ yang masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan ketidakseimbangan. Tapi dalam terminologi medis modern, tidak ada penyakit yang benar-benar dinamakan “masuk angin.” Istilah ini tidak ditemukan dalam buku-buku teks kedokteran atau klasifikasi penyakit WHO.

Namun, bukan berarti keluhan yang dirasakan itu tidak nyata. Banyak dari gejala yang disebut sebagai masuk angin bisa dijelaskan secara ilmiah. Misalnya, perut kembung bisa jadi karena akumulasi gas dalam saluran cerna akibat makan tergesa-gesa atau konsumsi makanan tinggi fermentasi. Mual bisa berasal dari gangguan pencernaan ringan, sementara meriang bisa menjadi gejala awal infeksi virus ringan seperti flu. Rasa pegal dan lemas bisa disebabkan oleh kurang tidur, stres, atau kelelahan otot.

Ambil contoh Pak Ahmad, 45 tahun, seorang pekerja lapangan yang sering mengeluh masuk angin setelah pulang malam naik motor. Ia merasa tubuhnya dingin, perut kembung, dan sedikit menggigil. Setelah kerokan dan minum teh hangat, ia merasa jauh lebih baik. Secara ilmiah, kehangatan dari kerokan bisa meningkatkan sirkulasi darah di permukaan kulit, membantu relaksasi otot, dan menciptakan efek nyaman secara psikologis. Proses ini mirip dengan konsep akupresur atau terapi sentuhan yang dapat menurunkan persepsi nyeri melalui mekanisme neuromodulasi.

Kerokan sendiri, meskipun kontroversial dalam dunia medis, memiliki efek placebo yang cukup kuat. Dalam studi yang dilakukan di Surabaya oleh Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, kerokan dapat menstimulasi pelepasan endorfin dan serotonin, dua hormon yang berperan dalam meredakan nyeri dan memberikan rasa nyaman. Ini menjelaskan mengapa setelah dikerok, banyak orang merasa tubuhnya lebih ringan meskipun secara patofisiologi tidak ada “angin” yang benar-benar dikeluarkan dari tubuh.

Namun, ada sisi lain yang perlu diwaspadai. Penggunaan istilah “masuk angin” yang terlalu umum bisa menyebabkan keterlambatan diagnosis penyakit serius. Misalnya, seseorang yang mengalami demam, nyeri otot, dan lemas berat selama beberapa hari mungkin menunda periksa ke dokter karena mengira itu hanya masuk angin. Padahal bisa jadi itu adalah infeksi saluran pernapasan, demam berdarah, atau bahkan gejala awal serangan jantung ringan.

Dalam jurnal BMJ Case Reports (2020), dilaporkan kasus seorang pria Asia Tenggara yang datang ke unit gawat darurat dengan keluhan “masuk angin berat” selama tiga hari. Ternyata, setelah diperiksa, ia mengalami infark miokard alias serangan jantung. Gejala awal yang samar seperti rasa tidak nyaman di dada, lelah luar biasa, dan mual sering dianggap enteng karena mirip dengan keluhan masuk angin.

Perspektif budaya sangat berpengaruh dalam persepsi rasa sakit. Dalam antropologi medis, istilah seperti masuk angin disebut sebagai “illness narratives,” yaitu cara masyarakat menjelaskan dan memaknai pengalaman sakit berdasarkan nilai budaya lokal. Sering kali, istilah seperti ini justru memudahkan komunikasi antar individu, terutama dalam masyarakat yang tidak terbiasa dengan istilah medis. Namun tantangannya adalah ketika pemaknaan ini menjadi satu-satunya landasan untuk menentukan tindakan.

Kita bisa melihat perbandingan dengan budaya Tiongkok yang mengenal konsep “feng han” atau “angin dingin” sebagai penyebab ketidakseimbangan energi tubuh. Dalam pengobatan tradisional Tiongkok, angin dianggap sebagai salah satu elemen penyebab penyakit, dan pengobatan dilakukan dengan herbal, akupunktur, dan penghangatan tubuh. Konsep ini tidak jauh berbeda dari praktik kita yang menggunakan balsem, minyak angin, dan selimut tebal.

Masuk angin dalam konteks ini bisa dipahami sebagai cara tubuh mengekspresikan ketidakseimbangan—baik fisik maupun psikis. Saat seseorang kelelahan, kurang tidur, makan tidak teratur, atau stres berat, tubuh memberi sinyal dalam bentuk keluhan ringan. Ini adalah bagian dari sistem alarm alami tubuh yang memberi tahu bahwa kita perlu beristirahat dan memulihkan diri.

Sayangnya, gaya hidup modern yang padat dan minim jeda sering membuat orang menunda istirahat. Mereka terus memaksakan diri hingga gejala ringan berkembang menjadi kondisi yang lebih serius. Menyebutnya sebagai masuk angin kadang menjadi cara untuk merasionalisasi rasa tidak enak badan agar tetap bisa beraktivitas, padahal tubuh sudah meminta berhenti.

Solusinya bukan menolak istilah masuk angin, melainkan memahami makna dan batasannya. Kita bisa tetap menggunakan istilah tersebut dalam keseharian, tetapi juga belajar mengenali tanda-tanda bahaya. Jika masuk angin disertai demam tinggi, nyeri dada, sesak napas, atau berlangsung lebih dari tiga hari tanpa membaik, maka perlu segera mencari bantuan medis.

Perlu juga disadari bahwa tidak semua kondisi butuh obat. Banyak kasus yang bisa membaik dengan istirahat cukup, minum air hangat, dan makan makanan bergizi. Namun jika keluhan berulang, maka perlu ditelusuri lebih lanjut penyebabnya. Jangan sampai keluhan yang dianggap ringan menutupi kondisi serius yang seharusnya segera ditangani.

Nenek saya dulu punya kebiasaan sederhana setiap kali merasa masuk angin. Ia akan tidur lebih awal, minum air jahe hangat, lalu bangun pagi-pagi untuk berjemur di bawah sinar matahari. Kadang, kesembuhan memang datang bukan dari obat, melainkan dari mendengar tubuh dan memberi waktu untuk pulih. Tapi tentu, itu berlaku jika kita bisa membedakan mana masuk angin biasa, dan mana yang bukan.

Jadi, apakah masuk angin itu sakit beneran atau cuma sugesti? Jawabannya: bisa keduanya. Gejalanya nyata, tapi penamaannya bersifat budaya. Yang terpenting bukan istilahnya, melainkan bagaimana kita menyikapinya. Tubuh punya bahasa sendiri, dan sebagai pemilik tubuh, kita sebaiknya belajar memahami bahasanya dengan lebih cermat.


Discover more from drBagus.com

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply