Di era digital seperti sekarang, kursi telah menjadi sahabat setia banyak orang. Kita duduk saat bekerja di depan komputer, duduk saat makan, duduk saat di kendaraan, duduk saat menonton televisi, bahkan duduk juga saat bermain gawai. Tanpa disadari, duduk telah mengambil porsi besar dari hidup kita. Bagi sebagian orang, aktivitas duduk bisa memakan waktu delapan hingga sepuluh jam sehari. Ini belum termasuk waktu duduk saat perjalanan atau menunggu sesuatu. Bagi tubuh manusia yang pada dasarnya diciptakan untuk bergerak, ini adalah tantangan besar. Duduk terlalu lama bukan hanya membuat otot kaku atau punggung pegal, tetapi juga memicu rangkaian proses biologis yang perlahan menggerogoti kesehatan.
Banyak orang mengira bahwa masalah dari duduk lama hanya sebatas nyeri punggung atau leher kaku. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa duduk dalam waktu lama berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, obesitas, hingga beberapa jenis kanker. Fenomena ini bahkan sudah mendapat istilah khusus di dunia kesehatan, yaitu sedentary lifestyle atau gaya hidup sedentari. Bedanya dengan kurang olahraga, gaya hidup sedentari adalah kondisi di mana tubuh terlalu banyak diam dalam posisi duduk atau berbaring, meski seseorang rutin berolahraga. Artinya, Anda bisa saja rajin jogging setiap pagi, tetapi tetap berisiko tinggi jika di sisa hari Anda duduk terlalu lama tanpa jeda.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Annals of Internal Medicine pada tahun 2015 menemukan bahwa orang yang duduk lebih dari delapan jam sehari memiliki risiko kematian dini yang lebih tinggi, bahkan setelah memperhitungkan kebiasaan olahraga mereka. Ini menunjukkan bahwa duduk lama memiliki efek merugikan tersendiri yang tidak sepenuhnya bisa diimbangi oleh olahraga. Mekanismenya cukup kompleks. Saat duduk terlalu lama, otot-otot besar di kaki dan punggung menjadi tidak aktif. Aktivitas enzim yang berperan memecah lemak berkurang drastis, sehingga tubuh menjadi kurang efisien membakar kalori. Aliran darah menjadi lebih lambat, mempengaruhi distribusi oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh. Dalam jangka panjang, kondisi ini mengganggu metabolisme glukosa dan meningkatkan risiko resistensi insulin.
Dampaknya tidak hanya pada sistem metabolik. Jantung dan pembuluh darah juga ikut terdampak. Duduk lama mengurangi aktivitas otot betis yang membantu memompa darah kembali ke jantung. Akibatnya, terjadi penumpukan darah di kaki, yang dalam jangka panjang dapat memicu pembekuan darah atau deep vein thrombosis (DVT). Kondisi ini berbahaya karena gumpalan darah yang terbentuk bisa lepas dan menyumbat pembuluh darah di paru-paru, menyebabkan emboli paru yang berpotensi mematikan.
Pada tingkat muskuloskeletal, duduk lama membuat otot-otot inti atau core muscles menjadi lemah. Pinggul menjadi kaku karena otot fleksor pinggul memendek akibat posisi duduk yang terus-menerus. Punggung bawah menerima tekanan lebih besar, terutama jika posisi duduk tidak ergonomis. Hal ini menjelaskan mengapa nyeri punggung bawah menjadi salah satu keluhan paling umum di kalangan pekerja kantoran. Leher dan bahu juga tidak luput dari masalah. Menunduk menatap layar laptop atau ponsel dalam jangka panjang dapat memicu forward head posture, yaitu posisi kepala yang condong ke depan, yang berkontribusi pada nyeri leher kronis dan sakit kepala tegang.
Aspek mental juga terpengaruh. Gaya hidup sedentari sering dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi dan gangguan kecemasan. Mekanismenya melibatkan penurunan sirkulasi darah ke otak, berkurangnya pelepasan hormon endorfin, serta isolasi sosial karena berkurangnya aktivitas fisik di luar ruangan. Sebuah penelitian di Journal of Mental Health menemukan bahwa orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya duduk memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami gejala depresi, meskipun mereka tidak memiliki riwayat sebelumnya.
Bagi sebagian orang, dampak duduk lama baru terasa setelah bertahun-tahun. Misalnya, seorang pekerja kantoran yang setiap hari duduk di depan layar komputer selama delapan jam, kemudian pulang dengan perjalanan mobil atau kereta, lalu menghabiskan sisa malam menonton televisi. Selama bertahun-tahun, pola ini memicu peningkatan berat badan, nyeri punggung, kolesterol tinggi, hingga akhirnya penyakit jantung. Sering kali, gejala awal seperti mudah lelah atau nyeri punggung dianggap hal biasa, padahal itu sinyal tubuh yang tidak boleh diabaikan.
Lalu muncul pertanyaan, apakah olahraga bisa menetralkan efek duduk lama? Jawabannya, sebagian iya, tapi tidak sepenuhnya. Studi di The Lancet pada 2016 menunjukkan bahwa 60 hingga 75 menit aktivitas fisik sedang hingga berat setiap hari dapat mengurangi risiko kematian dini akibat duduk terlalu lama. Namun, kenyataannya, sebagian besar orang tidak mencapai angka ini. Bahkan mereka yang berolahraga secara teratur tetap perlu memecah waktu duduknya dengan aktivitas ringan seperti berdiri, berjalan sebentar, atau melakukan peregangan.
Kesadaran akan bahaya duduk lama ini mendorong lahirnya berbagai inovasi di tempat kerja. Beberapa perusahaan mulai menerapkan meja kerja berdiri (standing desk), mengadakan sesi peregangan bersama, atau mendorong karyawan berjalan saat rapat kecil. Meski terlihat sederhana, kebiasaan ini membantu mengaktifkan otot, memperbaiki postur, dan meningkatkan sirkulasi darah. Di rumah, langkah sederhana seperti berdiri setiap 30 menit, melakukan gerakan ringan saat menonton TV, atau berjalan-jalan singkat di sekitar rumah bisa memberi perbedaan besar.
Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya aktivitas fisik juga semakin didorong melalui program pemerintah. Misalnya, kampanye GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yang salah satunya menekankan pentingnya aktivitas fisik rutin. Memang program ini tidak secara khusus menargetkan duduk lama, tetapi pesan untuk lebih banyak bergerak sangat relevan. Banyak fasilitas umum seperti taman kota, jalur sepeda, dan area pejalan kaki yang mulai dibangun atau diperbaiki untuk mendorong masyarakat lebih aktif bergerak.
Yang sering luput dari perhatian adalah pengaruh duduk lama pada risiko kanker. Beberapa penelitian mengaitkan duduk terlalu lama dengan peningkatan risiko kanker usus besar, endometrium, dan bahkan paru-paru. Mekanisme pastinya masih diteliti, tetapi diduga terkait dengan peningkatan kadar insulin, peradangan kronis tingkat rendah, dan perubahan hormon yang terjadi akibat kurangnya aktivitas fisik.
Mungkin Anda berpikir, “Kalau begitu, saya akan lebih sering berdiri di kantor.” Sayangnya, berdiri terlalu lama juga tidak ideal. Kuncinya adalah variasi. Tubuh dirancang untuk bergerak, bukan hanya duduk atau berdiri diam. Kombinasi antara duduk, berdiri, dan berjalan dalam porsi seimbang adalah strategi terbaik. Misalnya, setiap 30 menit duduk, ambil waktu 5 menit untuk berdiri atau berjalan. Gunakan tangga alih-alih lift untuk lantai yang tidak terlalu tinggi, atau manfaatkan waktu istirahat makan siang untuk berjalan keluar ruangan.
Duduk terlalu lama memang tampak seperti masalah sepele, tetapi efeknya bersifat kumulatif. Sama seperti tetesan air yang perlahan mengikis batu, kebiasaan ini secara perlahan merusak kesehatan. Perubahan kecil dalam keseharian bisa membawa dampak besar dalam jangka panjang. Kesadaran adalah langkah pertama. Setelah itu, membentuk kebiasaan baru yang lebih aktif menjadi kunci. Tidak ada yang bisa mengubah fakta bahwa sebagian pekerjaan modern menuntut kita duduk dalam waktu lama, tetapi kita selalu bisa mencari cara untuk menyelipkan gerakan ke dalam rutinitas.
Dengan memahami bahaya tersembunyi di balik kursi, kita bisa mulai mengambil langkah sederhana yang melindungi kesehatan. Mulailah dengan hal kecil seperti bangkit dari kursi untuk mengambil minum, berjalan sambil menerima telepon, atau sekadar berdiri saat membaca dokumen. Perubahan sederhana ini, jika dilakukan konsisten, akan menjadi investasi kesehatan yang sangat berharga.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.