Malam hari bagi banyak orang adalah saat yang paling dinanti. Setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan, kemacetan jalan, atau urusan rumah tangga yang tiada habisnya, malam seharusnya menjadi ruang untuk beristirahat. Kita ingin tidur dengan tenang, melepas lelah, dan bangun segar keesokan paginya. Namun, ada orang-orang yang tidak pernah benar-benar bisa menikmati malamnya. Bukannya tidur nyenyak, mereka justru sering terbangun, entah karena haus, ingin buang air kecil, atau tubuh berkeringat tanpa sebab. Banyak yang tidak sadar, gejala-gejala sederhana itu bisa menjadi tanda awal diabetes.
Saya pernah mendengar cerita seorang bapak berusia 52 tahun, sebut saja namanya Pak Andi. Ia terbiasa bangun dua sampai tiga kali setiap malam untuk buang air kecil. Awalnya, ia mengira penyebabnya adalah kebiasaan minum teh manis hangat sebelum tidur. Namun, lama-kelamaan, ia mulai merasa tenggorokannya kering sekali di malam hari, sehingga harus minum air berulang kali. Tidurnya jadi terpotong-potong, dan pagi hari ia sering merasa letih. Saat akhirnya ia memeriksakan diri, hasil laboratorium menunjukkan kadar gula darahnya jauh di atas normal. “Seandainya saya tahu lebih awal, mungkin saya sudah mengubah gaya hidup saya sejak dulu,” begitu ucapnya. Kisah Pak Andi ini bukanlah kasus yang langka. Banyak sekali orang yang menganggap gejala malam sebagai hal sepele, padahal sebenarnya tubuh sedang mengirimkan alarm.
Salah satu gejala yang paling umum adalah sering buang air kecil di malam hari, yang dikenal dengan istilah nocturia. Ketika kadar gula dalam darah tinggi, ginjal berusaha keras membuang kelebihan gula itu lewat urin. Mekanismenya sederhana: glukosa yang berlebihan akan menarik lebih banyak cairan untuk ikut keluar. Akibatnya, orang jadi bolak-balik ke kamar mandi di tengah malam. Masalahnya, hal ini bukan sekadar gangguan tidur. Tubuh kehilangan cairan, tidur terganggu, dan kualitas istirahat menurun drastis. Bayangkan seseorang yang setiap malam harus bangun tiga kali, lalu keesokan paginya tetap harus berangkat kerja. Rasa lelah menumpuk, daya konsentrasi menurun, dan produktivitas pun terganggu.
Selain itu, mulut kering dan tenggorokan yang terasa haus di malam hari juga menjadi gejala klasik diabetes. Tubuh yang kehilangan banyak cairan karena sering buang air kecil akan menimbulkan rasa haus berulang. Tidak jarang penderita harus bangun hanya untuk minum segelas air, lalu satu jam kemudian kembali ke kamar mandi. Siklus yang berulang ini membuat tidur tidak pernah benar-benar nyenyak. Bagi orang yang taat beribadah, misalnya bangun shalat tahajud atau subuh, rasa haus yang berlebihan kadang terasa mengganggu. Alih-alih menikmati momen spiritual, mereka malah sibuk meneguk air karena tenggorokan seperti terbakar.
Gejala lain yang sering luput dari perhatian adalah keringat malam. Banyak yang berpikir penyebabnya hanya suhu ruangan atau selimut yang terlalu tebal. Padahal, fluktuasi gula darah juga bisa memicu keluarnya keringat berlebih. Jika kadar gula turun tiba-tiba di malam hari, tubuh merespons dengan keringat dingin. Sebaliknya, kadar gula yang terlalu tinggi juga bisa membuat metabolisme tidak stabil sehingga tubuh bereaksi dengan cara serupa. Saya pernah mendengar keluhan seorang ibu yang setiap pagi harus mengganti sarung bantal karena basah oleh keringat, padahal ia tidur di kamar ber-AC. Bagi sebagian orang, ini dianggap normal, tapi sebenarnya itu tanda tubuh sedang berjuang.
Gangguan penglihatan kabur di malam hari juga merupakan gejala yang sering tidak dikenali. Banyak pasien berpikir matanya lelah karena seharian menatap layar atau sekadar faktor usia. Padahal, kadar gula yang tinggi bisa merusak pembuluh darah kecil di retina. Efeknya, penglihatan menjadi buram, terutama saat malam. Kondisi ini berbahaya, apalagi ketika seseorang harus bangun untuk ke kamar mandi di tengah gelap. Risiko jatuh dan cedera menjadi lebih tinggi, terutama pada orang lanjut usia. Jika tidak segera diatasi, kerusakan mata akibat diabetes bisa menjadi permanen dan berujung pada kebutaan.
Ada pula rasa lapar yang muncul tidak lama setelah makan malam. Banyak orang yang mengira ini hanya kebiasaan ngemil, padahal ada penjelasan medis di baliknya. Pada orang dengan diabetes, tubuh mengalami resistensi insulin. Artinya, meskipun kadar gula dalam darah tinggi, sel-sel tubuh tidak mampu menyerap glukosa dengan baik. Sel tetap “merasa lapar”, sehingga otak memberi sinyal untuk makan lagi. Akibatnya, seseorang bisa terus merasa lapar meski baru saja menghabiskan sepiring nasi dengan lauk lengkap. Inilah yang sering membuat penderita diabetes susah mengendalikan berat badan, karena rasa lapar itu bukan berasal dari perut, melainkan dari sinyal metabolisme yang terganggu.
Tidak hanya itu, beberapa orang dengan diabetes juga mengalami gejala lain seperti gemetar, jantung berdebar, atau rasa mual di malam hari. Ini biasanya terjadi karena gula darah turun terlalu rendah (hipoglikemia) akibat obat atau insulin yang diminum. Kondisi ini bisa sangat mengganggu, bahkan berbahaya. Jika tidak segera ditangani, hipoglikemia bisa menyebabkan pingsan. Sayangnya, banyak penderita yang tidak menyadari penyebabnya. Mereka hanya berpikir sedang cemas, stres, atau salah makan.
Masalah besar yang sering terjadi adalah semua gejala ini dianggap hal yang biasa. Sering buang air kecil dianggap wajar karena faktor usia, rasa haus dikira akibat cuaca panas, keringat malam dianggap karena selimut, penglihatan kabur dianggap karena mata minus, dan rasa lapar malam diasumsikan sekadar kebiasaan ngemil. Padahal, jika semuanya terjadi berulang dan konsisten, itu bukan hal normal. Tubuh tidak pernah berbohong. Ia memberi tanda-tanda jelas, hanya saja sering kali kita memilih untuk tidak mendengarkannya.
Budaya kita juga ikut berperan dalam hal ini. Orang Indonesia cenderung suka makanan manis dan gorengan. Teh manis hangat, kopi dengan gula, camilan gorengan di malam hari, semuanya adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit orang yang menganggap minum es teh manis malam-malam sebagai kebiasaan relaksasi. Padahal, kebiasaan inilah yang pelan-pelan menambah beban metabolisme tubuh. Ketika kemudian tubuh memberi tanda di malam hari, kita sering menghubungkannya dengan faktor lain, bukan dengan gaya hidup kita sendiri.
Saat ini, pemeriksaan gula darah sebenarnya sangat mudah dilakukan. Alat cek gula darah tersedia luas, dan teknologi continuous glucose monitoring (CGM) bisa membantu melihat fluktuasi kadar gula darah sepanjang hari, termasuk saat tidur. Dengan pemantauan seperti ini, gejala yang muncul di malam hari bisa lebih mudah dipahami. Sayangnya, banyak orang baru memeriksakan diri setelah gejala sudah berlangsung lama atau setelah komplikasi muncul. Ada pasien yang baru datang ke rumah sakit ketika kakinya mengalami luka yang sulit sembuh, atau ketika penglihatannya sudah sangat menurun. Padahal, jika sejak awal ia memperhatikan gejala-gejala malam, diagnosis bisa ditegakkan lebih cepat dan pengobatan bisa segera dimulai.
Saya sering merenung bahwa diabetes bukan hanya masalah medis, tetapi juga masalah kesadaran. Malam yang seharusnya menjadi waktu paling damai justru sering berubah menjadi waktu tubuh “berbicara”. Sering buang air kecil, haus berlebihan, keringat malam, lapar yang tidak wajar, pandangan kabur, hingga jantung berdebar, semuanya adalah bahasa tubuh. Pertanyaannya, apakah kita mau mendengar atau justru mengabaikannya?
Hidup sehat bukan berarti kita harus benar-benar terbebas dari penyakit, karena setiap orang punya risiko. Namun, hidup sehat berarti kita mau memperhatikan detail kecil yang terjadi pada tubuh. Gejala yang muncul di malam hari mungkin tampak sederhana, tetapi bisa menyelamatkan kita dari masalah besar. Dengan mengenali tanda-tanda ini, kita bisa melakukan langkah pencegahan lebih dini, mulai dari mengatur pola makan, memperbanyak aktivitas fisik, hingga rutin melakukan pemeriksaan kesehatan.
Bagi yang sudah terdiagnosis diabetes, menjaga pola hidup sehat dan patuh pada pengobatan adalah kunci untuk mengurangi gejala ini. Tidur yang lebih nyenyak, malam yang lebih tenang, dan hari yang lebih produktif bisa kembali didapatkan jika kadar gula darah terkendali. Untuk yang belum terkena, kesadaran sejak dini bisa menjadi benteng pertahanan terbaik.
Malam memang waktu untuk istirahat, tetapi juga bisa menjadi cermin kesehatan kita. Jika malam kita tidak tenang karena gejala-gejala tadi, mungkin sudah saatnya mendengarkan apa yang tubuh coba katakan. Karena tubuh selalu jujur, dan tugas kita hanyalah mau mendengarkan.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.