Bagi banyak orang, pagi hari adalah momen emas. Udara masih segar, matahari baru menyinari, dan suasana terasa lebih tenang dibandingkan siang hari yang hiruk pikuk. Tidak sedikit yang memilih memanfaatkan waktu ini untuk berlari, berjalan cepat, atau sekadar melakukan olahraga ringan. Jogging pagi bahkan sering dianggap sebagai kebiasaan terbaik untuk menjaga kesehatan. Namun, sebagai seorang dokter yang banyak menyaksikan perjalanan kesehatan orang-orang di sekitar saya, saya justru melihat sisi lain yang jarang dibicarakan. Ada kisah nyata orang yang terlihat bugar, rajin jogging, tetapi justru roboh di tengah aktivitas yang seharusnya menyehatkan.
Pertanyaan pun muncul: mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah olahraga pagi identik dengan umur panjang dan jantung yang lebih kuat? Mengapa ada yang justru kehilangan nyawa ketika berusaha menjaga kesehatan? Jawabannya tidak sesederhana hitam dan putih. Yang sering luput kita pahami adalah bagaimana tubuh bekerja setelah bangun tidur, dan bagaimana kita memberi waktu pada diri sendiri untuk bertransisi.
Tubuh manusia punya ritme yang tidak bisa diabaikan. Selama tidur, detak jantung melambat, tekanan darah turun, dan metabolisme bergerak dalam pola istirahat. Saat bangun, tubuh membutuhkan waktu untuk kembali menyesuaikan diri. Jika transisi ini diabaikan, lalu kita langsung memaksa tubuh bekerja keras, risiko gangguan serius meningkat. Itulah mengapa saya selalu menekankan pentingnya langkah kecil sebelum benar-benar berlari keluar rumah.
Bangun pagi seharusnya tidak identik dengan terburu-buru. Ada jeda yang perlu kita isi dengan ketenangan. Banyak orang yang beragama memanfaatkan waktu setelah bangun tidur untuk beribadah. Seorang muslim akan mendirikan shalat Subuh atau tahajud, yang sebenarnya juga merupakan bentuk transisi yang baik. Gerakan dalam ibadah—dari berdiri, rukuk, hingga sujud—bisa menjadi peregangan lembut yang membantu tubuh beradaptasi dengan aktivitas. Demikian juga dengan agama lain, doa atau meditasi pagi memberi ruang bagi tubuh dan pikiran untuk menyatu. Aktivitas spiritual seperti ini bukan hanya menenangkan jiwa, tetapi juga memberi kesempatan bagi tubuh untuk bangkit dengan perlahan, bukan dengan kejut.
Setelah ibadah, peregangan ringan sangat bermanfaat. Tidak perlu lama, cukup lima menit dengan menarik napas dalam, menggerakkan leher, bahu, tangan, dan kaki. Peregangan ini memberi sinyal pada otot bahwa hari telah dimulai. Barulah setelah itu kita bisa menyiapkan tubuh dengan langkah sederhana lain: segelas air hangat. Saya selalu menekankan air hangat, bukan air dingin. Tubuh kita mengalami dehidrasi ringan setelah tidur panjang. Air hangat membantu melancarkan metabolisme, lebih ramah pada lambung, dan tidak menimbulkan kejutan pada jantung.
Di sinilah banyak orang salah langkah. Minum air es atau langsung mandi air dingin setelah bangun tidur memang terasa menyegarkan, tetapi pada sebagian orang justru bisa membahayakan. Jantung yang masih dalam kondisi tenang bisa mendapat “tamparan” mendadak. Tidak heran ada kasus di mana seseorang merasa pusing atau nyeri dada setelah mandi pagi dengan air dingin. Tubuh kita bukan mesin yang bisa langsung dipacu, ia butuh pemanasan.
Saya juga sering melihat kebiasaan yang berbahaya secara psikologis: membuka ponsel begitu bangun. Notifikasi pekerjaan, pesan yang belum dibalas, berita yang membuat cemas—semua itu bisa memicu stres sejak awal hari. Padahal, secara alami kadar hormon kortisol memang meningkat di pagi hari. Jika ditambah dengan tekanan psikologis mendadak, jantung bekerja lebih berat. Tidak jarang keluhan berdebar, sakit kepala, atau sesak napas muncul karena faktor ini.
Ketika akhirnya seseorang berlari tanpa persiapan yang cukup, risiko makin besar. Jantung yang belum siap menghadapi beban, ditambah faktor gaya hidup seperti tekanan darah tinggi atau kolesterol yang tidak disadari, bisa menciptakan kondisi berbahaya. Banyak orang merasa sehat hanya karena tidak ada gejala. Padahal, tekanan darah tinggi bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa tanda-tanda, kolesterol bisa diam-diam menumpuk, dan aritmia ringan bisa terabaikan.
Saya sering menyarankan medical check-up tahunan, terutama bagi mereka yang sudah memasuki usia 35 tahun ke atas. Sayangnya, banyak orang lebih rela membeli sepatu lari terbaru atau smartwatch tercanggih daripada memeriksakan diri ke dokter. Padahal, investasi terbesar untuk olahraga yang aman justru adalah mengetahui kondisi tubuh sendiri. Dengan data yang jelas, kita bisa menyesuaikan aktivitas agar bermanfaat, bukan berisiko.
Olahraga pagi bukanlah musuh. Ia tetap sahabat, asal dijalani dengan bijak. Mulailah dengan peregangan, lanjutkan dengan hidrasi yang benar, dan jangan lupakan sarapan ringan. Banyak orang sengaja berolahraga dengan perut kosong karena ingin membakar lemak lebih banyak. Memang ada teori yang mendukung hal itu, tetapi pada kenyataannya tidak semua tubuh mampu. Penurunan gula darah mendadak bisa membuat seseorang pingsan di tengah lari. Sarapan sederhana seperti roti gandum, oatmeal, atau buah segar sudah cukup memberi energi untuk olahraga tanpa membebani perut.
Ada satu hal penting yang sering saya tekankan: jangan pernah olahraga dengan terburu-buru. Hidup sehat bukan soal mengejar angka langkah atau jarak tempuh untuk dipamerkan di media sosial. Hidup sehat adalah soal konsistensi, keseimbangan, dan keberlanjutan. Tidak masalah jika hari itu hanya sempat jalan cepat sebentar, yang penting tubuh bergerak dengan aman. Lebih baik berolahraga ringan setiap hari daripada memaksakan diri sekali dalam seminggu dengan intensitas berlebihan.
Fenomena kematian mendadak saat jogging sebenarnya bukan hal yang aneh dalam literatur medis. Penelitian menunjukkan bahwa banyak kasus disebabkan oleh kelainan jantung yang tidak terdiagnosis, seperti aritmia atau penebalan otot jantung. Faktor gaya hidup, seperti merokok, stres kronis, atau pola makan tinggi lemak, juga memperbesar risiko. Inilah mengapa saya selalu menekankan, olahraga bukan sekadar disiplin, tetapi juga soal kesadaran.
Kisah orang yang meninggal saat jogging seharusnya tidak membuat kita takut bergerak, melainkan membuat kita lebih menghargai proses. Bangunlah pagi dengan tenang, beribadah sesuai keyakinan, peregangan sebentar, minum air hangat, lalu mulai bergerak perlahan. Dengarkan tubuh sendiri. Jika terasa lelah, jangan dipaksakan. Jika muncul nyeri dada, segera berhenti. Jangan menyepelekan tanda-tanda kecil karena tubuh selalu memberi sinyal, hanya saja kita sering terlalu sibuk untuk mendengarnya.
Pada akhirnya, tujuan utama olahraga adalah menjaga kualitas hidup. Jogging pagi bisa menjadi aktivitas yang menyenangkan, menenangkan, dan memperpanjang umur, asal dilakukan dengan cara yang benar. Sehat bukan hanya tentang berlari lebih cepat atau lebih jauh, melainkan tentang memahami kapan tubuh siap, kapan harus beristirahat, dan kapan harus mengurangi tempo.
Saya percaya bahwa kesehatan sejati bukanlah perlombaan. Ia adalah perjalanan panjang yang memerlukan keseimbangan antara fisik, pikiran, dan jiwa. Jogging pagi tetap bisa menjadi sahabat terbaik kita, selama ia ditempatkan pada posisi yang tepat: bukan sebagai beban, bukan sebagai pembuktian, melainkan sebagai cara sederhana untuk merawat hidup. Dan mungkin, justru dalam jeda kecil setelah bangun tidur—dalam doa, ibadah, peregangan, atau segelas air hangat—terletak kunci rahasia panjang umur yang sering kita abaikan.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.