Pandemi Sudah Usai, Tapi Lelah Kolektif Belum Sembuh

Pandemi Sudah Usai, Tapi Lelah Kolektif Belum Sembuh

Sekilas, hidup memang terlihat kembali normal. Masker sudah jarang dipakai, jalanan kembali padat, anak-anak berangkat sekolah tanpa pemeriksaan suhu, dan kafe-kafe yang dulu sepi kini kembali ramai. Namun jika diperhatikan lebih dalam, masih ada sesuatu yang tertinggal. Banyak orang merasa letih, walau tidak tahu pasti lelah karena apa. Tubuh bekerja, tersenyum, dan beraktivitas seperti biasa, tetapi hati terasa berat tanpa alasan jelas.

Pandemi COVID-19 mungkin telah berakhir secara resmi, tetapi efeknya terhadap manusia tidak menghilang begitu saja. Yang tersisa bukan sekadar bekas luka di paru-paru atau hasil tes positif yang pernah menghantui, melainkan luka yang menempel di pikiran dan perasaan. Inilah yang oleh banyak ahli disebut sebagai collective fatigue, atau kelelahan kolektif. Sebuah kondisi ketika masyarakat secara luas mengalami keletihan emosional, kehilangan semangat, dan kesulitan menemukan kembali ritme kehidupan seperti dulu.

Psikolog sosial Susan Clayton dari College of Wooster menyebut fenomena ini sebagai post-pandemic burnout. Dalam wawancaranya dengan TIME, ia menjelaskan bahwa stres panjang selama pandemi tidak hilang begitu saja saat keadaan membaik. Rasa takut, kehilangan, dan keterasingan yang dirasakan selama berbulan-bulan ternyata tetap hidup di dalam tubuh dan memori. Orang-orang merasa aneh karena dunia tampak normal, tetapi batin belum siap untuk benar-benar hidup normal lagi. Banyak yang mengalami kecemasan tanpa sebab, mudah tersinggung, atau kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu memberi kebahagiaan.

Di Indonesia, gejala ini terasa dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang mengeluh sulit tidur, cepat marah, atau merasa tidak bersemangat. Dalam survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada tahun 2023, lebih dari separuh responden melaporkan gejala stres dan kecemasan walau pandemi sudah lewat. Sementara laporan Gallup Global Workplace 2024 menunjukkan lebih dari 50 persen pekerja di Asia merasa tidak lagi terhubung secara emosional dengan pekerjaan mereka.

Fenomena ini terlihat di banyak tempat. Di kantor, orang bekerja sekadarnya, tanpa energi tambahan. Di rumah, banyak yang merasa hidupnya seperti diulang setiap hari tanpa makna baru. Di masyarakat, partisipasi sosial menurun. Kegiatan gotong royong, posyandu, arisan, hingga acara kampung tidak lagi seramai dulu. Ada jarak halus yang terbentuk di antara manusia, seolah pandemi menanamkan rasa ragu dalam cara kita berinteraksi.

Kelelahan kolektif ini membawa dampak sosial yang tidak selalu terlihat. Ada orang yang sulit bersosialisasi setelah dua tahun terbiasa hidup di balik layar. Ada pula yang kehilangan rasa percaya, bahkan terhadap teman sendiri. Penelitian yang diterbitkan oleh The Lancet Psychiatry tahun 2023 menunjukkan bahwa isolasi sosial selama pandemi memiliki efek jangka panjang terhadap kemampuan manusia membangun hubungan sosial. Kebiasaan menjaga jarak yang dulu menyelamatkan, kini menjadi tembok tak kasat mata yang membatasi kedekatan.

Di rumah sakit, luka yang ditinggalkan pandemi justru terasa paling dalam. Banyak tenaga kesehatan yang menyimpan ingatan berat tentang hari-hari di mana ruang isolasi penuh dan keputusan hidup-mati harus dibuat setiap jam. Beberapa dokter dan perawat mengaku masih terbangun tengah malam karena teringat suara ventilator pasien. WHO dalam laporannya pada 2023 menyebutkan satu dari tiga tenaga kesehatan mengalami kecemasan atau depresi pasca-pandemi. Di Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat peningkatan signifikan kasus burnout di kalangan perawat sejak pandemi berakhir. Bagi mereka, pandemi mungkin sudah selesai di berita, tetapi belum di hati.

Anak-anak dan remaja membawa luka yang berbeda. Dua tahun tumbuh tanpa interaksi langsung membuat mereka kehilangan pengalaman sosial penting. Dalam laporan UNICEF 2023, tujuh dari sepuluh remaja di Asia mengaku mengalami stres tinggi dan kesulitan bersosialisasi setelah pandemi. Banyak guru di kota besar bercerita tentang murid-murid yang lebih pendiam, sulit fokus, dan kurang empati terhadap teman. Mungkin mereka tidak sadar bahwa masa kecilnya sebagian hilang di layar laptop, digantikan oleh kelas daring yang sunyi dan wajah-wajah tanpa ekspresi di kotak kecil Zoom.

Kelelahan kolektif bukan hanya masalah psikologis, tapi juga sosial dan ekonomi. Pandemi memperlihatkan betapa rapuhnya sistem yang kita anggap kokoh. Banyak keluarga kehilangan mata pencaharian, sebagian jatuh miskin, sebagian lagi terjebak utang. Saat pandemi berakhir, tidak semua bisa bangkit dengan kecepatan yang sama. Luka ekonomi meninggalkan jejak panjang: rasa khawatir akan masa depan, takut kehilangan pekerjaan, dan menurunnya kepercayaan pada stabilitas hidup. Semua itu menyumbang pada rasa lelah yang seolah tidak pernah selesai.

Namun manusia memiliki daya lenting yang luar biasa. Di tengah kelelahan itu, muncul pula tanda-tanda pemulihan sosial. Di Yogyakarta, komunitas relawan yang dulu membagikan makanan gratis kini berubah menjadi koperasi warga. Di Jakarta, beberapa RW yang dulu mengelola posko COVID-19 kini menggunakan dana dan struktur yang sama untuk kegiatan olahraga, taman baca, dan kebersihan lingkungan. Gerakan-gerakan kecil seperti ini mungkin tidak masuk berita, tetapi merekalah penopang sebenarnya dari proses penyembuhan masyarakat.

Pemulihan sosial tidak terjadi di rumah sakit, melainkan di ruang-ruang interaksi kecil tempat manusia kembali merasa terhubung. WHO menegaskan bahwa kesehatan masyarakat tidak hanya tentang menurunkan angka penyakit, tetapi juga memulihkan kepercayaan sosial. Ketika seseorang kembali berani menyapa tetangga, tersenyum pada orang asing, atau ikut bergotong royong tanpa rasa takut, di situlah kesehatan masyarakat mulai tumbuh kembali.

Viktor Frankl, seorang psikiater yang selamat dari kamp konsentrasi, pernah menulis bahwa penderitaan dapat dilalui jika manusia menemukan makna di baliknya. Pandemi mengajarkan banyak hal tentang makna hidup. Ia menunjukkan siapa yang benar-benar penting, seberapa besar arti tubuh yang sehat, dan betapa rapuhnya rasa aman yang dulu dianggap biasa. Dari sana, manusia belajar bersyukur bukan karena semuanya sempurna, tetapi karena masih bisa melanjutkan hidup.

Kini mungkin saat yang tepat untuk berbicara lebih jujur tentang kelelahan itu. Tidak perlu berpura-pura kuat, tidak perlu menutupi perasaan dengan kata “sudah biasa”. Kelelahan kolektif hanya bisa sembuh jika diakui. Banyak orang membutuhkan ruang untuk berbagi, didengarkan tanpa dihakimi, dan merasa ditemani dalam prosesnya. Di banyak negara, komunitas pascapandemi mulai tumbuh sebagai ruang pemulihan. Di Indonesia, inisiatif seperti konseling komunitas, kegiatan mindfulness di ruang publik, dan kelompok berbagi pengalaman mulai bermunculan.

Namun proses ini tidak bisa diserahkan pada individu semata. Pemerintah, lembaga kesehatan, dan dunia kerja perlu lebih serius memperhatikan kesehatan mental sebagai bagian dari pemulihan nasional. Bukan hanya kampanye “sehat fisik”, tapi juga “sehat batin”. Masyarakat yang pulih bukan hanya masyarakat yang bebas dari virus, tetapi juga yang saling percaya dan saling peduli.

Kelelahan kolektif adalah tanda bahwa manusia masih punya hati. Ia menunjukkan bahwa semua yang dilalui selama pandemi bukan hal kecil. Dunia memang sudah pulih, tapi manusia di dalamnya masih belajar untuk hidup sepenuhnya. Pandemi telah mengubah cara kita memandang kesehatan: bukan hanya soal bebas dari penyakit, tapi juga kemampuan untuk tetap merasa hidup, merasa terhubung, dan merasa berarti.

Mungkin perjalanan menuju pemulihan belum selesai. Namun setiap kali seseorang mulai peduli lagi, setiap kali masyarakat berani saling mendekat tanpa rasa takut, dunia sedikit lebih sembuh dari letih yang ditinggalkan pandemi. Karena pada akhirnya, yang menyembuhkan manusia bukan waktu, melainkan manusia itu sendiri.


Discover more from drBagus.com

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply