Di suatu sore yang sibuk di tengah kota, Anda mungkin sedang duduk di depan layar laptop. Layar menyala, jari masih menekan keyboard, tetapi pikiran Anda terasa kosong. Kopi yang tadi Anda pesan sudah dingin, pesan masuk terus berdatangan, dan notifikasi rapat berikutnya baru muncul di pojok layar. Tubuh Anda tampak sehat, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Rasanya seperti kelelahan yang tidak bisa diatasi dengan tidur, bukan karena kurang istirahat, tetapi karena otak sudah jenuh. Lelah, tapi bukan lelah yang bisa diukur dengan jam istirahat atau jumlah kalori yang terbakar. Lelah yang membuat Anda hidup tanpa benar-benar hadir.
Kelelahan seperti ini sering muncul di kalangan orang yang justru terlihat paling bugar. Mereka masih bisa berolahraga, masih bisa tertawa di depan rekan kerja, dan masih bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Namun di dalam diri mereka ada sesuatu yang kehilangan tenaga. Itulah yang disebut para ahli sebagai mental fatigue atau kelelahan mental. Kondisi ini semakin sering muncul di era digital, ketika pikiran kita bekerja lebih keras daripada tubuh. Banyak orang merasa sehat karena tidak batuk, tidak demam, dan tidak pingsan, padahal sebenarnya mereka sedang kelelahan secara kognitif.
Kehidupan modern mengubah cara kita lelah. Jika dulu orang kelelahan karena bekerja di ladang atau pabrik, sekarang otaklah yang menjadi mesin utama. Setiap hari, Anda menerima ratusan pesan, menanggapi puluhan percakapan, dan memproses informasi dalam jumlah yang jauh melebihi kapasitas alami manusia. Otak yang seharusnya punya waktu untuk tenang, kini terus menyalakan alarm kewaspadaan. Notifikasi kecil di ponsel bisa memicu lonjakan adrenalin yang sama dengan rasa terkejut. Lama-kelamaan, sistem ini bekerja tanpa henti. Akibatnya, Anda hidup dalam keadaan siaga, seolah ada bahaya yang tidak pernah selesai.
Penelitian dari University of Oxford pada tahun 2021 menemukan bahwa aktivitas mental yang terus-menerus menyebabkan penumpukan glutamat di bagian otak yang mengatur pengambilan keputusan. Ketika kadar zat ini meningkat, otak kesulitan berpikir jernih dan memproses informasi. Itulah sebabnya Anda bisa duduk seharian di depan komputer tanpa benar-benar menyelesaikan apa pun. Otak sedang memberi sinyal untuk berhenti, tetapi Anda memilih menambahkan kopi dan membuka file baru. Tubuh Anda mungkin masih kuat, tetapi pikiran Anda sedang menolak untuk bekerja.
Fenomena ini banyak terjadi pada pekerja kantoran. Mereka duduk delapan jam sehari di depan layar, berpindah dari satu rapat ke rapat lain tanpa jeda yang cukup. Di lingkungan kerja modern, diam dianggap malas dan istirahat sering dianggap pemborosan waktu. Banyak orang merasa bersalah jika tidak membalas pesan kerja di malam hari atau tidak memeriksa email saat akhir pekan. Batas antara jam kerja dan waktu pribadi semakin kabur, hingga tubuh dan pikiran kehilangan kesempatan untuk memulihkan diri. Dalam budaya seperti ini, produktivitas sering dipuja tanpa disadari telah menjadi sumber kelelahan kolektif.
Sebuah riset menunjukkan bahwa orang yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu memiliki risiko penyakit jantung 17 persen lebih tinggi dan risiko stroke 35 persen lebih tinggi dibanding mereka yang bekerja normal. Yang menarik, penyebabnya bukan hanya duduk terlalu lama atau kurang tidur, tetapi juga stres mental yang tidak berakhir. Ketika pikiran terus tertekan, hormon stres seperti kortisol dan adrenalin dilepaskan berulang-ulang, membuat tekanan darah meningkat dan pembuluh darah menjadi lebih sensitif. Lama-lama, kondisi ini merusak sistem kardiovaskular tanpa gejala yang jelas. Itulah mengapa banyak orang tampak sehat tapi tiba-tiba mengalami serangan jantung di usia muda.
Masalahnya, tubuh sering tertipu oleh pikiran yang aktif. Banyak orang merasa baik-baik saja karena masih bisa bekerja. Namun secara biologis, sistem saraf mereka sudah bekerja terlalu keras. Denyut jantung mungkin tetap tinggi bahkan setelah jam kerja selesai, otot menegang tanpa disadari, dan tidur tidak benar-benar nyenyak. Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antara siaga dan istirahat. Kondisi ini disebut beban alostatik atau allostatic load, yaitu beban fisiologis yang dihasilkan oleh stres kronis. Beban ini bukan hanya membuat Anda mudah lelah, tetapi juga mempercepat penuaan dan menurunkan daya tahan tubuh. Tubuh menjadi seperti mesin yang tetap hidup walau tidak ada bahan bakar.
Yang membuat situasi ini semakin kompleks adalah kehadiran dunia digital. Di masa lalu, lelah berarti selesai bekerja dan bisa beristirahat. Sekarang, notifikasi tidak mengenal waktu. Saat Anda menutup laptop, ponsel tetap aktif. Saat Anda mencoba tidur, layar ponsel menyala, mengingatkan bahwa ada hal lain yang harus dibaca. Otak tidak lagi mengenal batas antara siang dan malam. Anda mungkin berhenti bekerja, tetapi tidak pernah benar-benar berhenti berpikir. Fenomena ini disebut digital fatigue atau kelelahan digital. Ia terjadi ketika otak terus terpapar informasi tanpa waktu untuk memproses atau beristirahat.
Menurut data dari Statista, rata-rata orang dewasa kini menatap layar selama tujuh jam setiap hari. Jumlah ini setara dengan sepertiga waktu hidup Anda. Setiap kali layar menyala, otak melepaskan dopamin, hormon kecil yang memberi rasa senang. Tapi semakin sering dopamin dilepaskan, semakin cepat pula otak kehilangan kemampuan untuk merasa puas. Akibatnya, Anda terus mencari stimulasi baru. Bahkan di waktu luang, Anda tetap membuka media sosial, membaca berita, atau menonton video pendek yang tidak memberi ketenangan. Pikiran menjadi hiperaktif, tapi juga hampa.
Tanpa disadari, kelelahan digital ini berhubungan langsung dengan kesehatan jantung. Otak dan jantung terhubung melalui sistem saraf otonom. Ketika pikiran Anda tegang, saraf simpatik akan membuat jantung berdetak cepat dan tekanan darah meningkat. Dalam kondisi normal, sistem parasimpatik akan menenangkan kembali tubuh. Namun jika stres terjadi terus-menerus, keseimbangan ini rusak. Tubuh seperti mobil yang terus melaju tanpa rem. Jantung tidak pernah benar-benar beristirahat. Sebuah studi dari Harvard Medical School menemukan bahwa orang dengan stres mental tinggi memiliki variabilitas detak jantung yang rendah, artinya tubuh mereka sulit beradaptasi terhadap perubahan dan lebih rentan terhadap penyakit jantung.
Kelelahan mental bukan sesuatu yang bisa disembuhkan dengan liburan singkat. Banyak orang pergi berlibur tetapi tetap membawa laptop, tetap membuka pesan kerja, dan tetap merasa bersalah jika tidak produktif. Saat pulang, mereka tidak benar-benar pulih, hanya berpindah lokasi lelahnya. Untuk memulihkan kelelahan seperti ini, Anda perlu melakukan sesuatu yang lebih mendasar: memberi ruang untuk diam. Otak manusia membutuhkan waktu hening untuk memproses informasi dan menata ulang sinyal saraf. Tanpa waktu diam, pikiran tidak pernah selesai memproses hal-hal kecil yang menumpuk setiap hari.
Cara memulainya bisa sederhana. Anda bisa berjalan kaki tanpa ponsel, menatap langit sore tanpa memikirkan apa pun, atau sekadar duduk tenang sambil merasakan napas. Kegiatan sederhana seperti ini memberi kesempatan bagi otak untuk menenangkan diri. Anda juga bisa mulai menetapkan waktu tanpa layar, misalnya satu jam sebelum tidur. Waktu itu bisa digunakan untuk membaca buku fisik atau berbincang ringan dengan keluarga. Aktivitas yang tampak sepele ini memberi pesan pada tubuh bahwa hari sudah selesai, dan kini saatnya beristirahat.
Namun sebelum semua itu, langkah terpenting adalah mengakui bahwa Anda memang lelah. Banyak orang menolak perasaan ini karena takut dianggap tidak kuat. Padahal, mengakui kelelahan adalah bentuk keberanian. Mengakui bahwa Anda manusia, bukan mesin. Bahwa Anda juga butuh berhenti, bahkan ketika dunia terus berjalan cepat. Tanpa kesadaran ini, Anda akan terus terjebak dalam lingkaran produktivitas semu yang tidak pernah benar-benar membuat hidup terasa utuh.
Menjadi sehat di zaman ini berarti lebih dari sekadar tidak sakit. Kesehatan bukan hanya urusan fisik, tetapi juga keseimbangan antara tubuh dan pikiran. Anda bisa saja punya tubuh yang bugar, tapi jika pikiran terus terbakar, kesehatan itu rapuh. Tubuh adalah mesin, dan pikiran adalah pengemudinya. Mesin sehebat apa pun akan rusak jika pengemudinya kelelahan. Menjaga pikiran agar tetap tenang adalah bentuk perawatan diri yang paling dasar dan paling manusiawi.
Mungkin sudah saatnya Anda menata ulang makna produktivitas. Produktif bukan berarti bekerja tanpa henti, tetapi mampu bekerja dengan sadar dan berhenti dengan tenang. Dunia tidak akan runtuh hanya karena Anda berhenti sejenak. Justru dalam keheningan itulah otak Anda memulihkan diri. Dan dari situ, energi baru lahir.
Pada akhirnya, kehidupan yang sehat bukan tentang siapa yang paling cepat atau paling kuat. Tetapi tentang siapa yang mampu menjaga dirinya agar tetap waras di tengah dunia yang terus bergerak. Mungkin, kebahagiaan modern justru lahir dari kemampuan untuk memperlambat langkah, menolak distraksi, dan memberi ruang bagi keheningan. Dalam kesunyian yang sederhana, Anda akan menemukan kembali diri Anda yang sesungguhnya. Tubuh yang tenang, pikiran yang ringan, dan hati yang kembali merasa cukup.
Dan ketika Anda mulai bisa tenang di tengah kesibukan, mungkin Anda akan sadar bahwa sehat bukan hanya tentang jantung yang berdetak atau paru-paru yang bekerja. Sehat juga tentang kemampuan untuk berkata, “Cukup untuk hari ini.” Karena di dunia yang terus berlari, keberanian terbesar bukanlah mengejar, tetapi berhenti sejenak untuk bernapas.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.


Materinya bagus Dok, saya mengalami hal demikian persis dengan materi dokter saya merasa lelah berkepanjangan yang tidak hilang meskipun saya istirahat (ambil cuti 1 hari), psikologis saya merasa tertekan, penuh dengan beban yang kasat mata. ini bukan kelelahan Fisik tapi metal saya.saya sempat berasumsi apakah saya orang yang lemah cuma begini saja saya tidak bisa melewatinya seperti orang-orang lainnya. tapi tidak bis dipungkiri kelelahan yang sulit saya deskripsikan ini semakin terasa, saya sempat berpikir akan berkonsultasi ke dokter kejiwaan tapi saya masih ragu untuk mengambil keputusan tersebut, sarannya dokter untuk kasus seperti ini langkah apa yang baik dilakukan (untuk tindakan pertama).Terimakasih Dokter Salam Sehat
Terima kasih Pak Tony sudah berbagi pengalaman. Apa yang Bapak rasakan sangat valid dan tidak menandakan kelemahan. Kelelahan mental bisa dialami siapa saja, terutama di tengah tekanan pekerjaan dan tanggung jawab yang terus berjalan. Langkah pertama yang baik adalah memberi ruang bagi diri sendiri untuk beristirahat secara menyeluruh, bukan hanya secara fisik tetapi juga mental.
Cobalah mulai dengan hal sederhana seperti mengatur waktu tanpa layar, berjalan santai, atau menulis apa yang Bapak rasakan setiap hari. Jika rasa lelah itu terus berlanjut dan mulai mengganggu keseharian, saya sangat menyarankan untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan jiwa, seperti psikolog atau psikiater. Konsultasi bukan tanda kelemahan, melainkan langkah sadar untuk memahami dan menolong diri sendiri lebih baik.
Semoga Bapak segera menemukan keseimbangan dan ketenangan. Salam sehat selalu,