Di Indonesia, rokok bukan sekadar benda yang dibakar dan diisap. Ia adalah simbol ekonomi, budaya, sekaligus kontradiksi sosial. Setiap kali muncul wacana pelarangan iklan rokok atau kenaikan cukai, argumen lama kembali terdengar: bahwa industri ini menyerap jutaan tenaga kerja, memberi napas bagi petani tembakau, dan menopang pendapatan negara. Lalu muncul pula suara lain, yang dengan nada prihatin menegaskan bahwa tidak ada produk legal lain yang menyebabkan kematian sedemikian banyaknya. Di antara dua posisi itu, publik sering kali tersesat dalam kebisingan argumen, seolah harus memilih antara pekerjaan dan kesehatan, antara ekonomi dan moral.
Beberapa waktu lalu, seorang anggota DPR sempat viral karena menyampaikan pendapat yang menarik perhatian publik. Ia mengatakan bahwa “tidak ada orang yang meninggal karena rokok”. Menurutnya, hasil autopsi dokter selalu menyebut penyebab kematian seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit jantung, bukan rokok itu sendiri. Kalimat ini tampak sederhana, tetapi menyimpan kesalahpahaman mendasar tentang bagaimana sains dan kedokteran memahami sebab kematian. Dalam sertifikat kematian, dokter memang menuliskan penyakit yang menjadi penyebab langsung dan bukan faktor risiko yang mendahuluinya. Namun dalam epidemiologi, rokok jelas tercatat sebagai faktor penyebab utama dari berbagai penyakit fatal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, produk tembakau bertanggung jawab atas lebih dari tujuh juta kematian setiap tahun di seluruh dunia. Rokok menjadi penyebab sekitar 80 persen kasus kanker paru, delapan dari sepuluh kematian akibat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan merupakan faktor utama dalam penyakit jantung koroner serta stroke. Di Indonesia sendiri, beban ekonomi akibat konsumsi tembakau mencapai triliunan rupiah setiap tahun, baik dari biaya pengobatan maupun kehilangan produktivitas. Maka, meskipun nama “rokok” tidak tercantum di lembar kematian, jejaknya ada di setiap paru-paru yang menghitam, di setiap pembuluh darah yang tersumbat, dan di setiap keluarga yang kehilangan orang terkasih terlalu cepat.
Namun pertanyaan anggota DPR itu tetap penting, bukan karena kebenarannya, melainkan karena ia menyingkap kegelisahan yang lebih besar. Di negeri dengan lebih dari 34% usia dewasa adalah perokok aktif, rokok bukan hanya urusan kesehatan. Ia adalah urusan perut, harga diri, dan politik. Industri tembakau di Indonesia memang besar. Dari pabrik linting di Kudus, pabrik kretek di Kediri, hingga kebun tembakau di Temanggung dan Lombok Timur, jutaan orang menggantungkan hidupnya pada rantai produksi ini. Banyak dari mereka adalah perempuan, bekerja di sektor informal dengan upah harian yang sangat rendah, tanpa jaminan sosial. Bagi mereka, rokok bukan racun, tetapi rezeki yang bisa dibawa pulang setiap sore.
Di sinilah dilema dimulai. Bagaimana mungkin negara yang masih berjuang menurunkan angka kematian akibat penyakit tidak menular harus mengambil kebijakan yang berpotensi mengguncang lapangan kerja jutaan warga? Jawabannya tidak sesederhana “larang rokok” atau “biarkan saja”. Jalan tengah hanya mungkin jika negara berani memikirkan transisi yang adil, yaitu transisi yang melindungi petani dan pekerja, tanpa terus membiarkan generasi muda menjadi pasar baru bagi rokok.
Pengalaman dari negara lain bisa menjadi cermin. Thailand, misalnya, pernah menghadapi persoalan serupa. Di daerah utara, ribuan keluarga hidup dari menanam tembakau untuk industri rokok domestik. Namun ketika pemerintah mulai memperketat kebijakan tembakau, mereka tidak dibiarkan kehilangan sumber penghasilan begitu saja. Pemerintah, bekerja sama dengan organisasi pertanian dan lembaga internasional, mendorong crop diversification, yaitu pengalihan tanam ke komoditas lain seperti sayuran, bunga, dan tanaman herbal. Petani diberi insentif keuangan, pelatihan, dan jaminan pasar melalui koperasi. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, banyak yang akhirnya meninggalkan tembakau karena hasil panen hortikultura lebih stabil dan menguntungkan. Tentunya dengan upah dan pendapatan jauh di atas rata-rata, bahkan ketika dibandingkan saat sedang menjadi petani tembakau. Ini terjadi karena keterlibatan pemerintah yang sangat jelas melindungi warganya.
Hal serupa juga terjadi di Filipina. Setelah mengesahkan Sin Tax Law tahun 2012, negara itu menaikkan cukai rokok secara signifikan. Namun sebagian besar pendapatan cukai dialokasikan untuk memperluas jaminan kesehatan nasional. Kini lebih dari 80 persen dana dari cukai rokok digunakan untuk membiayai layanan kesehatan masyarakat, khususnya bagi kelompok miskin. Industri tembakau memang menyusut, tetapi dampak sosialnya diimbangi dengan peningkatan akses kesehatan dan dukungan terhadap petani yang ingin beralih usaha. Kebijakan fiskal seperti ini tidak hanya mengurangi konsumsi, tetapi juga menciptakan sirkulasi ekonomi baru yang lebih sehat.
Indonesia sebetulnya sudah memiliki instrumen yang mirip: Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Setiap tahun nilainya mencapai puluhan triliun rupiah. Sayangnya, penggunaannya masih belum optimal. Sebagian besar terserap untuk mendukung industri rokok legal, bukan untuk transisi pekerja atau petani. Padahal dana ini bisa diarahkan untuk pelatihan keterampilan baru, penguatan koperasi petani, atau subsidi bagi komoditas alternatif seperti kopi, porang, dan vanili. Pemerintah daerah penghasil tembakau juga dapat menggunakan DBHCHT untuk membangun fasilitas kesehatan, memperluas layanan berhenti merokok di puskesmas, atau memperkuat pendidikan kesehatan bagi remaja. Dengan pendekatan yang tepat, cukai rokok bukan hanya alat fiskal, tetapi juga instrumen perubahan sosial.
Tentu, transformasi ini tidak bisa dilakukan secara mendadak. Larangan total terhadap rokok mungkin terdengar ideal di atas kertas, tetapi akan sulit diterapkan di lapangan tanpa persiapan ekonomi dan sosial. Yang realistis adalah pendekatan bertahap dan berbasis bukti. Negara dapat memperkuat pengendalian konsumsi melalui pembatasan iklan, pelarangan sponsor kegiatan anak muda, serta penerapan kemasan polos tanpa logo mencolok. Kampanye kesehatan publik perlu disesuaikan dengan konteks sosial: bukan dengan nada menghakimi, tetapi dengan pendekatan empatik yang memahami bahwa banyak perokok adalah korban dari pemasaran agresif dan ketergantungan nikotin yang kompleks.
Selain itu, transformasi tenaga kerja di industri rokok harus direncanakan dengan cermat. Pekerja linting manual dapat dilatih ulang untuk masuk ke industri pengolahan pangan, manufaktur ringan, atau usaha mikro berbasis rumah tangga. Perempuan yang selama ini bekerja tanpa perlindungan sosial dapat diberi akses pada jaminan kesehatan dan pelatihan kewirausahaan. Pemerintah pusat dan daerah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi, BUMN, dan lembaga filantropi untuk menciptakan program padat karya transisi. Dengan cara ini, perlahan tapi pasti, masyarakat dapat keluar dari ketergantungan ekonomi terhadap rokok tanpa kehilangan mata pencaharian.
Masalahnya bukan pada keberadaan petani tembakau, melainkan pada struktur industri yang timpang. Sebagian besar keuntungan tetap dikuasai oleh perusahaan besar dan cukong-cukong pemodal industri rokok, sementara petani menerima harga jual yang rendah dan fluktuatif. Petani tembakau tidak memiliki posisi tawar karena bergantung pada tengkulak dan pabrikan. Bila pemerintah sungguh ingin melindungi mereka, solusi terbaik bukan mempertahankan permintaan rokok, tetapi memperkuat posisi ekonomi petani tembakau melalui diversifikasi, akses modal, dan perlindungan harga. Dengan cara ini, petani tembakau dapat tetap hidup sejahtera tanpa harus menanam bahan baku penyakit.
Argumen bahwa industri rokok adalah “penopang ekonomi nasional” juga perlu dilihat dengan jernih. Kontribusinya terhadap PDB nasional relatif kecil dibanding biaya kesehatan yang ditimbulkan. Menurut data Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, pembiayaan penyakit yang terkait dengan rokok seperti kanker, stroke, dan penyakit jantung mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Bila biaya ini dikurangi, dana yang sama bisa dialihkan untuk memperkuat pelayanan primer, pendidikan kesehatan, atau infrastruktur pedesaan. Dengan demikian, pengendalian tembakau bukan hanya urusan moral, tetapi juga efisiensi ekonomi jangka panjang.
Persoalan rokok juga berkaitan erat dengan generasi muda. Indonesia kini menghadapi lonjakan perokok anak. Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan peningkatan signifikan proporsi perokok di usia 10–18 tahun dalam satu dekade terakhir. Ini berarti strategi industri masih berhasil menembus celah regulasi, terutama melalui iklan digital melalui sosial media (misalnya Tiktok atau Instagram) dan promosi yang menyasar remaja. Bila negara ingin menyiapkan masa depan yang lebih sehat, kebijakan pengendalian rokok harus mulai dari perlindungan anak. Setiap batang rokok yang dijual hari ini bukan sekadar komoditas, tetapi janji tentang penyakit yang akan datang.
Dalam konteks sosiologis, mempertahankan industri yang menyebabkan jutaan kematian dini dengan alasan lapangan kerja bisa dipandang sebagai bentuk moral disengagement, istilah yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Ia menggambarkan bagaimana individu atau kelompok dapat memisahkan tindakan merugikan dari tanggung jawab moral mereka melalui rasionalisasi. Dalam hal ini, negara dan elite ekonomi (para pemodal besar dan cukong-cukong rokok) berpotensi menormalisasi penderitaan masyarakat miskin dengan alasan pragmatis: “kalau rokok dilarang, petani nanti makan apa?” Padahal penderitaan yang lebih besar justru dialami oleh mereka yang menjadi konsumen, yang sebagian besar berasal dari kelompok ekonomi bawah. Mereka menghabiskan uang untuk rokok lebih banyak daripada untuk protein anaknya, lalu menanggung risiko penyakit yang mahal untuk diobati.
Pierre Bourdieu menyebut kondisi ini sebagai kekerasan simbolik: ketika sistem sosial membuat sesuatu yang merugikan tampak wajar dan diterima. Di Indonesia, iklan rokok tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjual citra kejantanan, solidaritas, dan kebebasan. Pesan-pesan seperti “Pria Punya Selera” atau “Never Quit” membentuk imajinasi sosial bahwa merokok adalah bagian dari identitas laki-laki sejati. Sementara itu, realitas di balik slogan itu adalah rumah tangga yang semakin miskin dan sistem kesehatan yang semakin terbebani.
Pertanyaan pentingnya adalah, apakah ada jalan tengah yang manusiawi? Jawabannya ada, jika negara berani berpihak pada kepentingan jangka panjang, termasuk kepentingan kesejahteraan petani tembakau. Transisi ekonomi yang adil bukan berarti menutup pabrik rokok besok pagi. Ia berarti membangun mekanisme baru yang memberi ruang bagi pekerja untuk beralih profesi, bagi petani untuk menanam komoditas yang lebih sehat, dan bagi masyarakat untuk hidup lebih lama tanpa beban penyakit yang bisa dicegah. Proses ini mungkin membutuhkan waktu satu atau dua dekade, tetapi semakin cepat dimulai, semakin kecil penderitaan yang harus dibayar.
Di ujungnya, perdebatan tentang rokok bukan semata tentang asap, tetapi tentang nilai. Apakah kita memilih mempertahankan ekonomi yang tumbuh dari kebiasaan yang mematikan, atau berani membangun ekonomi baru yang menyehatkan manusia dan bumi sekaligus? Pilihan itu tidak mudah, tetapi sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang berani menata ulang sistemnya selalu bertahan lebih lama daripada yang menunda perubahan. Seperti kata pepatah, api kecil yang dibiarkan lama-lama akan membakar rumah besar.
Dan mungkin, di sinilah letak ujian moral bangsa ini. Mampukah kita berhenti menyalahkan petani tembakau, pekerja pabrik rokok, atau perokok itu sendiri, lalu mulai menuntut tanggung jawab lebih besar dari mereka yang di puncak rantai industri? Pemodal besar dan cukong-cukong rokok adalah kelompok puncak rantai industri yang tidak pernah tersentuh dalam pemenuhan tanggung jawab ekonomi dan moral. Mampukah kita melihat bahwa kesehatan publik adalah fondasi ekonomi yang paling kuat? Sebab tanpa tubuh yang sehat, tidak ada produktivitas, tidak ada kemakmuran yang dapat bertahan lama.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.

