Benarkah BPJS Kesehatan Hanya untuk Orang Miskin?

Benarkah BPJS Kesehatan Hanya untuk Orang Miskin?

Percakapan publik tentang Jaminan Kesehatan Nasional selalu menarik perhatian, sebab menyangkut isu yang sangat dekat dengan kehidupan Anda dan jutaan warga lain yang setiap hari berhadapan dengan sistem kesehatan. Ketika muncul pernyataan bahwa BPJS Kesehatan hanya fokus pada orang miskin, wajar bila banyak orang langsung bertanya-tanya apa sebenarnya maksudnya. Sebagian khawatir bahwa layanan untuk peserta non PBI mungkin akan berubah. Sebagian lagi menilai bahwa pemerintah memang perlu memperkuat perlindungan sosial bagi kelompok miskin dan rentan. Situasi ini menciptakan ruang diskusi yang luas, bahkan kadang menimbulkan kebingungan, terutama karena JKN tidak hanya soal iuran atau fasilitas kesehatan, tetapi juga filosofi kebijakan yang menyetir sistem jaminan sosial kita.

Di tengah keramaian opini tersebut, penting sekali menempatkan perkara ini dalam konteks yang benar. JKN sejak awal dibangun di atas kerangka universal health coverage. Artinya seluruh penduduk wajib terdaftar, tanpa melihat status sosial ekonomi, agama, suku, ataupun pekerjaan. Sistem jaminan kesehatan yang baik tidak membedakan warga. Yang berbeda hanyalah mekanisme pembiayaannya. Orang mampu membayar iuran sendiri. Pemerintah membayar iuran masyarakat miskin melalui skema PBI. Prinsip seperti ini tercantum jelas dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang BPJS. Dengan kata lain, JKN bukan program bantuan sosial, melainkan platform jaminan kesehatan universal yang melibatkan semua orang.

Tetapi mengapa pernyataan seperti itu bisa muncul. Biasanya, ketika pejabat publik menyinggung soal fokus pada kelompok miskin, maksudnya adalah memperkuat perlindungan finansial bagi yang paling rentan. Kelompok inilah yang paling berisiko jatuh pada beban biaya kesehatan yang menghancurkan, atau yang dikenal sebagai catastrophic health expenditure. Organisasi seperti WHO dan Bank Dunia sejak lama menyarankan bahwa negara harus menata sistem jaminan kesehatan dengan prinsip progressive universalism. Prinsip ini tidak bertujuan menjadikan sistem hanya untuk orang miskin, tetapi menegaskan bahwa dalam proses memperluas jangkauan layanan, negara harus lebih dulu melindungi warga yang paling rentan.

Dalam konteks Indonesia, perlindungan bagi masyarakat miskin dilakukan melalui skema PBI yang dibiayai APBN. Negara maju pun melakukan hal yang sama, hanya caranya berbeda. Yang perlu dipahami adalah bahwa perlindungan lebih untuk kelompok miskin tidak berarti layanan publik menjadi eksklusif bagi kelompok tersebut. Justru tujuan utamanya adalah memastikan mereka tidak tertinggal, sementara seluruh warga tetap dapat mengakses layanan yang sama. Jika dibandingkan dengan negara yang sistem jaminan sosialnya sudah matang, seperti Belgia dan Belanda, Anda bisa melihat pola kebijakan yang serupa tetapi dengan narasi publik yang jauh lebih berhati-hati. Itulah mengapa wajar bila pernyataan yang kurang presisi dapat menimbulkan persepsi seolah-olah sistem jaminan kesehatan akan berubah menjadi program kemiskinan, padahal tidak.

Belgia memiliki sistem kesehatan berbasis mutualité yang sangat maju. Semua warga, tanpa kecuali, wajib terdaftar dalam dana kesehatan. Negara tidak pernah memakai narasi bahwa layanan kesehatan difokuskan pada warga miskin. Belgia justru menonjolkan pandangan bahwa semua orang berhak mendapatkan akses yang sama. Kelompok miskin memang mendapatkan proteksi tambahan melalui tarif preferensial dan batas maksimum biaya kesehatan tahunan, tetapi tidak ada fasilitas khusus yang memisahkan mereka dari warga lain. Layanan kesehatannya tetap sama. Yang berbeda hanyalah beban finansial yang harus ditanggung. Pendekatan seperti ini membuat sistem tetap universal tetapi tetap berpihak pada warga yang paling membutuhkan. Inilah contoh bagaimana perlindungan sosial bisa diperkuat tanpa meruntuhkan rasa kesetaraan bagi seluruh penduduk.

Belanda mengadopsi sistem yang berbeda, namun prinsipnya tidak jauh dari itu. Semua orang di Belanda wajib memiliki asuransi kesehatan. Perusahaan asuransi tidak boleh menolak siapa pun, dan paket layanan standar ditentukan pemerintah agar setara bagi semua. Warga berpenghasilan rendah mendapatkan zorgtoeslag, yaitu subsidi khusus untuk membantu membayar premi. Sekilas tampak seperti bantuan kepada orang miskin, tetapi sebenarnya tidak demikian. Subsidi ini hanya alat untuk menjaga agar semua warga tetap bisa mengikuti asuransi wajib, bukan untuk menciptakan kelas sosial yang berbeda dalam layanan kesehatan. Belanda juga memiliki mekanisme risk equalization yang mencegah perusahaan asuransi menghindari peserta berisiko tinggi. Intinya tetap sama, yaitu menjaga keadilan agar layanan kesehatan tidak dinikmati hanya oleh orang dengan kondisi tertentu.

Dari dua contoh negara itu, Anda bisa melihat bahwa sistem yang mapan tidak hanya mengandalkan regulasi. Mereka mengandalkan narasi yang tepat, komunikasi publik yang berhati-hati, dan pemahaman yang mendalam bahwa jaminan kesehatan adalah alat untuk memperkuat rasa kebersamaan, bukan memisahkan kelompok. Inilah yang sering luput dalam diskusi publik di Indonesia. Ketika ada frasa mengenai fokus pada orang miskin, publik bisa langsung menafsirkan bahwa layanan untuk kelompok lain mungkin dikurangi atau diprioritaskan ulang. Padahal yang ingin dibicarakan kemungkinan adalah penguatan PBI, penyempurnaan data kemiskinan, atau penataan ulang mekanisme pembayaran agar lebih efisien dan adil. Kurangnya klarifikasi bisa memunculkan kebingungan yang sebenarnya tidak perlu.

Anda mungkin bertanya, mengapa negara lain tidak menyampaikan narasi yang sama. Jawabannya sederhana. Di Belgia dan Belanda, narasi universal sudah tertanam kuat dan tidak pernah digoyahkan oleh pernyataan publik yang ambigu. Pemerintah mereka sangat hati-hati dalam komunikasi yang menyangkut jaminan sosial, karena topik ini sangat sensitif dan dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat. Studi mengenai persepsi publik terhadap jaminan kesehatan di Eropa menunjukkan bahwa narasi pemerintah berpengaruh besar terhadap kepercayaan warga terhadap sistem. Ketika negara menegaskan bahwa jaminan kesehatan adalah hak semua orang, masyarakat cenderung menerima kebijakan pembiayaan yang progresif sebagai sesuatu yang adil. Referensi seperti laporan WHO berjudul Tracking Universal Health Coverage menunjukkan bahwa narasi publik memiliki peran strategis dalam menjaga legitimasi sistem jaminan kesehatan.

Lalu apa yang bisa dipelajari Indonesia dari pengalaman negara-negara tersebut. Pelajaran utamanya adalah bahwa penguatan skema PBI perlu disertai komunikasi publik yang tepat. Fokus pada kelompok miskin selalu harus ditempatkan sebagai bagian dari tanggung jawab negara dalam melindungi warga yang paling rentan, bukan sebagai pengurangan hak bagi kelompok lain. Jaminan kesehatan yang baik tidak boleh menciptakan kesan bahwa sebagian kelompok warga lebih berhak atas layanan tertentu dibandingkan yang lain. Semua tetap mendapat layanan yang sama, hanya saja beban finansialnya berbeda sesuai kemampuan. Dengan cara ini, sistem jaminan kesehatan tetap bersifat universal tetapi tetap sensitif terhadap kebutuhan kelompok rentan.

Selain itu, upaya meningkatkan mutu layanan seharusnya tidak dilakukan dengan membedakan kelompok peserta. Yang jauh lebih penting adalah memperkuat mekanisme kontrol mutu di fasilitas kesehatan, meningkatkan kapabilitas tenaga kesehatan, memperluas akses layanan primer, dan memastikan pembiayaan yang berkelanjutan. Negara lain menggunakan pembayaran berbasis hasil, peningkatan peran dokter keluarga, dan penggunaan data kesehatan yang lebih terintegrasi untuk menjaga kualitas layanan. Indonesia pun sedang bergerak ke arah ini, tetapi transisinya memerlukan waktu, komitmen politik, dan kemampuan teknis yang cukup besar. Bila fokus terhadap kelompok miskin ditempatkan dalam kerangka peningkatan ekuitas, maka kebijakan ini dapat berjalan dengan baik. Namun bila narasinya tidak jelas, risiko salah tafsir akan selalu ada.

Perlu juga diingat bahwa jaminan kesehatan adalah isu yang sangat politis. Cara pemerintah menyampaikan pesan akan memengaruhi cara masyarakat menafsirkannya. Anda tentu pernah melihat situasi di mana satu kalimat dapat menimbulkan reaksi luas, meskipun maksudnya sebenarnya berbeda. Inilah pentingnya kehati-hatian. Pengalaman negara-negara Eropa mengajarkan bahwa narasi kebijakan harus diarahkan pada pesan bahwa layanan kesehatan adalah hak semua warga dan bahwa negara hadir untuk memastikan kelompok rentan tidak tertinggal. Dengan cara ini jaminan kesehatan bisa menjadi perekat sosial, bukan sumber perpecahan.

Ketika Anda melihat perdebatan tentang BPJS Kesehatan, ada baiknya menempatkan isu ini dalam kerangka yang lebih luas. JKN tetap universal. Semua orang tetap terdaftar. Tidak ada layanan khusus yang hanya diberikan kepada kelompok tertentu. Yang mungkin menjadi fokus pemerintah adalah memperbaiki akurasi data PBI, meningkatkan kualitas layanan FKTP, memperkuat sistem pembiayaan, dan memastikan kelompok rentan tidak terbebani biaya kesehatan. Jika semua ini ditempatkan dalam narasi yang tepat, masyarakat tidak perlu khawatir. Sistem jaminan kesehatan tidak sedang berubah menjadi program bantuan sosial. Yang sedang dilakukan adalah memperbaiki fungsi redistribusi agar kelompok rentan mendapatkan perlindungan lebih baik, sementara semua warga tetap mendapat layanan yang sama.

Tujuan jaminan kesehatan bukan semata-mata membayar biaya layanan. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang lebih sehat, lebih produktif, dan lebih setara. Negara-negara seperti Belgia dan Belanda membuktikan bahwa perlindungan bagi kelompok miskin dapat diperkuat tanpa mengorbankan prinsip universalitas. Indonesia bisa mengambil banyak pelajaran dari sana, terutama mengenai pentingnya komunikasi publik yang tepat dan kebijakan yang konsisten. Ketika jaminan kesehatan ditempatkan sebagai hak semua orang, kepercayaan publik akan lebih mudah dibangun. Dengan kepercayaan yang kuat, pemerintah dapat menjalankan reformasi yang diperlukan tanpa menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu.

Jika Anda menempatkan isu ini dalam kerangka yang lebih tenang, Anda akan melihat bahwa inti persoalan bukan pada apakah BPJS hanya untuk orang miskin atau tidak. Intinya adalah bagaimana negara memastikan bahwa tidak ada warga yang jatuh miskin karena biaya kesehatan, sambil tetap menjaga bahwa layanan tersebut dapat diakses oleh semua orang secara adil. Dengan prinsip seperti ini, Anda dapat menempatkan diskusi publik dalam perspektif yang lebih utuh. Sistem jaminan kesehatan adalah upaya bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Selama prinsip ini dijaga, maka arah kebijakan akan tetap berada di jalur yang tepat.


Discover more from drBagus.com

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply