Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan seperti “awas darah tinggi nanti kalau marah-marah terus!” atau “jangan bikin dia emosi, bisa-bisa tekanan darahnya naik.” Ungkapan ini tidak lahir dari ruang hampa. Banyak orang yang merasa pusing, wajah memerah, atau jantung berdebar ketika sedang marah atau stres berat. Lalu muncullah pertanyaan: apakah tekanan darah yang naik saat marah itu sudah bisa disebut hipertensi? Atau itu hanya respons sementara tubuh terhadap emosi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penting bagi kita memahami terlebih dahulu bagaimana tubuh bekerja saat sedang marah. Ketika seseorang marah atau mengalami stres emosional, sistem saraf simpatik aktif dan memicu pelepasan hormon seperti adrenalin dan kortisol. Hormon-hormon ini membuat detak jantung meningkat, pembuluh darah menyempit, dan akhirnya tekanan darah naik. Ini adalah respons alami tubuh, dikenal sebagai fight or flight response, yang membantu manusia bertahan dalam kondisi terancam.
Namun, tekanan darah yang naik karena marah atau stres biasanya bersifat sementara. Begitu emosi mereda, tubuh akan kembali ke keadaan normal. Ini berbeda dengan hipertensi kronis, yaitu kondisi medis di mana tekanan darah seseorang secara konsisten tinggi, bahkan saat sedang tidak marah atau tertekan. Menurut kriteria WHO dan Kementerian Kesehatan Indonesia, seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan darah sistolik (angka atas) berada di atas 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik (angka bawah) di atas 90 mmHg dalam pengukuran berulang.
Ambil contoh Pak Rudi, 50 tahun, seorang pegawai negeri yang dikenal tenang. Suatu hari, setelah rapat yang penuh ketegangan, ia merasa pusing dan wajahnya memerah. Ia memeriksakan diri dan tekanan darahnya tercatat 150/95 mmHg. Namun, saat ia mengukur ulang dua hari kemudian dalam kondisi rileks, tekanan darahnya kembali normal di angka 125/80 mmHg. Kasus seperti ini disebut white coat hypertension atau transient hypertension, yaitu tekanan darah yang naik sesaat karena faktor stres emosional atau situasional.
Namun berbeda dengan Bu Yani, 54 tahun, guru sekolah dasar yang mengeluh sering pusing dan cepat lelah. Ia tidak merasa sedang stres, tetapi saat dilakukan pengukuran tekanan darah sebanyak tiga kali dalam seminggu, hasilnya selalu berada di atas 145/90 mmHg. Pemeriksaan laboratorium juga menunjukkan kadar kolesterol dan gula darahnya tinggi. Dalam kasus ini, Bu Yani memang mengalami hipertensi kronis yang perlu ditangani dengan perubahan gaya hidup dan obat.
Perbedaan mendasar antara fluktuasi tekanan darah akibat emosi dan hipertensi kronis adalah pada konsistensinya. Fluktuasi tekanan darah adalah bagian dari fungsi normal tubuh. Kita semua mengalaminya, misalnya saat olahraga, gugup sebelum presentasi, atau bahkan setelah minum kopi. Sementara hipertensi kronis bersifat menetap dan diam-diam bisa merusak pembuluh darah, jantung, ginjal, dan otak jika tidak ditangani.
Yang menjadi tantangan adalah, hipertensi sering tidak menimbulkan gejala. Inilah sebabnya penyakit ini sering dijuluki sebagai “silent killer.” Banyak orang baru sadar menderita hipertensi setelah mengalami komplikasi seperti serangan jantung atau stroke. Oleh karena itu, pemeriksaan tekanan darah secara berkala menjadi sangat penting, terutama bagi mereka yang berusia di atas 40 tahun atau memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi.
Penelitian dari Journal of the American College of Cardiology (2019) menunjukkan bahwa respons emosional yang berlebihan, seperti marah berkepanjangan atau stres kronis, memang bisa berkontribusi pada berkembangnya hipertensi jika terjadi terus-menerus. Stres yang berulang membuat sistem saraf simpatik terus aktif, menyebabkan pembuluh darah mengalami tekanan yang lebih tinggi dari normal dalam jangka panjang. Ini mempercepat kerusakan dinding pembuluh darah dan menurunkan kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan darah.
Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan antara emosi dan tekanan darah memang tidak bisa diabaikan. Bagi banyak orang, ledakan marah bisa menjadi pemicu langsung lonjakan tekanan darah. Namun lebih penting lagi adalah bagaimana emosi yang tidak dikelola dengan baik bisa berubah menjadi stres kronis, yang akhirnya memperbesar risiko hipertensi.
Maka, langkah bijak adalah mengenali tanda-tanda tubuh dan belajar mengelola emosi. Strategi sederhana seperti menarik napas dalam, berjalan kaki sebentar, atau berbicara dengan seseorang yang dipercaya bisa membantu meredakan ketegangan. Latihan seperti yoga, meditasi, dan olahraga ringan juga terbukti secara ilmiah membantu menurunkan respons stres tubuh.
Pak Eko, 47 tahun, dulunya termasuk orang yang cepat marah. Setiap kemacetan di jalan atau perdebatan kecil bisa membuatnya emosi. Setelah dua kali didiagnosis dengan tekanan darah tinggi saat medical check-up kantor, ia memutuskan untuk mengubah kebiasaan. Ia mulai rutin bersepeda di pagi hari, mengurangi konsumsi garam dan daging olahan, serta mengikuti kelas meditasi online. Dalam enam bulan, tekanan darahnya stabil di angka 130/85 mmHg tanpa obat.
Saran realistis lainnya adalah memperhatikan asupan garam dan pola tidur. Garam berlebih bisa menyebabkan retensi cairan dan memperberat kerja jantung. Kurang tidur juga meningkatkan hormon stres seperti kortisol yang berdampak pada tekanan darah. Jadi, menjaga tidur yang cukup dan berkualitas bukan hanya soal istirahat, tapi juga bagian dari pencegahan penyakit.
Tak kalah penting adalah edukasi kepada masyarakat bahwa marah bukanlah dosa, tetapi emosi yang perlu dikendalikan. Di banyak keluarga, marah sering dianggap sebagai kelemahan atau bahkan aib. Akibatnya, emosi ditekan dan tidak tersalurkan. Padahal, emosi yang ditekan juga dapat meningkatkan tekanan darah karena tubuh berada dalam keadaan waspada terus-menerus.
Perlu ada ruang aman untuk mengelola emosi secara sehat. Ini bisa dimulai dari hal sederhana: memberi waktu untuk diri sendiri, menulis jurnal harian, mendengarkan musik, atau mengatur ulang prioritas pekerjaan. Dalam banyak kasus, tekanan darah tinggi adalah hasil dari akumulasi tekanan hidup yang tidak pernah benar-benar diproses.
Jadi, ketika tekanan darah Anda naik saat marah, itu bukan berarti Anda sudah menderita hipertensi. Namun jika kondisi ini sering terjadi, disertai gaya hidup yang tidak sehat, dan tidak pernah dicek secara rutin, maka risikonya menjadi nyata. Emosi adalah bagian dari manusia. Tapi ketika emosi tidak diolah dengan bijak, tubuhlah yang menanggung akibatnya.
Penting untuk tidak mengabaikan sinyal tubuh, tetapi juga tidak langsung panik. Ukur tekanan darah di waktu yang berbeda, terutama dalam kondisi tenang. Konsultasikan hasilnya dengan tenaga kesehatan. Dan yang paling utama, kendalikan emosi dengan cara yang sehat, bukan dengan menahannya, melainkan dengan memahami, menerima, dan melepaskannya secara bijak.
Karena dalam tubuh yang damai, tekanan darah pun akan jauh lebih bersahabat.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.