Siang itu, Ibu Nani mengeluh sakit kepala yang datang tiba-tiba. Ia tak sempat pergi ke dokter, dan seperti biasa, ia membuka laci kecil di dapur yang berisi beberapa bungkus obat yang sering dibelinya di warung. Ada parasetamol, ada obat flu, dan sejenis tablet kecil warna merah yang ia tak ingat lagi namanya. Ia meminum dua butir parasetamol, dan dalam setengah jam sakitnya mereda. Ia pun merasa lega, lalu kembali beraktivitas.
Keesokan harinya, anaknya yang duduk di bangku SMP mengeluh pilek. Ibu Nani, tanpa ragu, mengambil satu strip obat flu yang sama dan memberikan setengah dosisnya. Pagi-pagi, anak itu justru mengantuk berat di kelas dan pingsan saat upacara. Setelah dibawa ke puskesmas, barulah diketahui bahwa anak tersebut mengalami reaksi sedatif dari kandungan antihistamin dalam obat yang dikonsumsi. Bukan salah siapa-siapa, tapi ini cerita yang terlalu sering berulang.
Obat bebas memang menjadi sahabat bagi banyak keluarga di Indonesia. Ia mudah ditemukan, murah, dan tersedia hampir di semua toko kelontong dan minimarket. Kita menyebutnya sebagai over-the-counter medicine, atau obat yang bisa dibeli tanpa resep dokter. Biasanya, jenis obat ini digunakan untuk keluhan ringan seperti demam, sakit kepala, flu, nyeri otot, atau diare ringan. Dan memang, sebagian besar dari kita pernah mengandalkan obat ini di situasi mendesak.
Namun sering kali, kita lupa bahwa meski bebas dibeli, bukan berarti bebas risiko. Setiap obat tetap mengandung zat aktif yang bekerja di dalam tubuh, memengaruhi sistem tertentu, dan berpotensi menimbulkan efek samping jika digunakan tidak sesuai petunjuk. Dalam banyak kasus, efeknya tidak terlihat langsung, tapi bisa menumpuk, apalagi jika dikonsumsi secara rutin atau dikombinasikan dengan obat lain yang memiliki kandungan serupa.
Di apotek atau warung, kita sering menjumpai dua jenis utama obat yang dapat dibeli tanpa resep: obat bebas dan obat bebas terbatas. Obat bebas ditandai dengan logo bulat hijau, biasanya relatif aman jika digunakan sesuai anjuran. Sedangkan obat bebas terbatas ditandai dengan logo bulat biru, yang meskipun masih bisa dibeli tanpa resep, sebenarnya memerlukan kehati-hatian lebih dalam penggunaannya.
Masalahnya, banyak masyarakat belum memahami perbedaan itu. Label dan tulisan kecil di kemasan sering diabaikan. Kita terbiasa membeli berdasarkan pengalaman, rekomendasi orang lain, atau bahkan iklan di televisi. Padahal kondisi tubuh setiap orang berbeda, dan yang cocok untuk satu orang belum tentu aman untuk yang lain. Misalnya, seseorang dengan riwayat gangguan hati sebaiknya tidak sembarangan minum obat yang mengandung parasetamol dalam dosis tinggi. Atau pasien hipertensi sebaiknya menghindari obat flu yang mengandung dekongestan karena bisa menaikkan tekanan darah.
Sebagian besar kasus keracunan obat di instalasi gawat darurat rumah sakit berasal dari kesalahan penggunaan obat yang sebenarnya bisa dicegah. Di antara yang paling sering adalah konsumsi ganda, di mana seseorang minum dua jenis obat dengan merek berbeda yang ternyata memiliki kandungan zat aktif yang sama. Misalnya, minum obat flu dan obat demam bersamaan, padahal keduanya sama-sama mengandung parasetamol. Dosisnya pun menjadi dobel, dan jika dilakukan berulang, bisa merusak fungsi hati.
Contoh lain adalah penggunaan antibiotik yang dijual bebas. Meskipun secara aturan seharusnya tidak diperjualbelikan tanpa resep, kenyataannya masih banyak toko yang menjual antibiotik tertentu secara bebas. Ini berbahaya karena bisa menyebabkan resistensi bakteri. Ketika antibiotik digunakan tidak tuntas, tidak sesuai indikasi, atau diberikan pada infeksi yang sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik, maka bakteri bisa bermutasi dan menjadi lebih kuat. Akibatnya, saat infeksi yang lebih serius muncul, obat yang biasa digunakan tidak lagi mempan.
Tak hanya itu, sebagian masyarakat juga percaya bahwa semakin banyak dosis, maka obat akan bekerja lebih cepat. Padahal yang benar adalah, setiap obat memiliki dosis aman. Melebihi dosis tidak mempercepat penyembuhan, justru memperbesar risiko efek samping. Bahkan obat sederhana seperti ibuprofen, jika dikonsumsi berlebihan, dapat menyebabkan gangguan lambung, perdarahan, dan kerusakan ginjal.
Kisah Pak Budi di Jogja bisa menjadi pelajaran. Ia terbiasa minum obat pegal linu setiap malam karena merasa nyeri sendi. Obat tersebut mengandung kombinasi analgesik dan kafein. Awalnya, ia merasa lebih segar dan tidurnya nyenyak. Namun setelah beberapa bulan, ia mengalami nyeri ulu hati dan muntah darah. Setelah diperiksa, ternyata ia mengalami tukak lambung akibat konsumsi jangka panjang obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) tanpa pelindung lambung.
Banyak dari kita tidak tahu bahwa obat bebas pun bisa berinteraksi dengan makanan, minuman, atau bahkan suplemen herbal. Beberapa obat flu, misalnya, bisa menyebabkan kantuk berat jika dikonsumsi bersama alkohol. Suplemen herbal tertentu bisa mengganggu penyerapan obat atau malah memperkuat efeknya sehingga menjadi tidak stabil. Semua ini menunjukkan bahwa bahkan untuk obat yang dijual bebas, tetap dibutuhkan pengetahuan dasar dalam penggunaannya.
Untuk aman menggunakan obat bebas, ada beberapa prinsip sederhana yang bisa diingat. Pertama, selalu baca label dan petunjuk pemakaian. Jangan hanya mengandalkan warna bungkus atau nama dagangnya. Periksa zat aktifnya, dosis, frekuensi minum, serta peringatan yang tercantum. Kedua, gunakan hanya untuk keluhan ringan dan dalam jangka pendek. Jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, sebaiknya segera konsultasi ke tenaga medis. Ketiga, jangan pernah mencampur beberapa obat sekaligus tanpa mengetahui kandungannya. Jika ragu, tanyakan ke apoteker atau petugas kesehatan. Keempat, simpan obat dalam wadah asli dan jangan gunakan obat yang sudah kedaluwarsa, meski bentuknya masih terlihat utuh.
Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan menyimpan sisa obat untuk dipakai nanti. Tidak salah, tapi sebaiknya dicatat penggunaannya, dicantumkan tanggal pembelian, dan disimpan di tempat yang aman serta jauh dari jangkauan anak-anak. Obat yang berubah warna, berbau aneh, atau melembek sebaiknya dibuang, tidak peduli berapa mahal harganya. Menyimpan obat di tempat panas seperti dashboard mobil juga bisa merusak kandungan zat aktif di dalamnya.
Kini, dengan makin mudahnya akses informasi, kita bisa belajar lebih banyak sebelum meminum obat apa pun. Banyak aplikasi farmasi, laman resmi BPOM, serta program edukasi dari pemerintah yang bisa menjadi rujukan. Apoteker di apotek pun kini didorong untuk lebih aktif menjelaskan fungsi, dosis, dan efek samping obat, bukan sekadar menyerahkan obat kepada pembeli.
Obat adalah alat bantu, bukan jalan pintas. Ia bisa menjadi penyelamat, tapi juga bisa menjadi bumerang jika digunakan sembarangan. Tidak semua sakit harus langsung diobati dengan obat, dan tidak semua obat cocok untuk semua orang. Tubuh kita punya mekanisme penyembuhan alami. Obat digunakan ketika dibutuhkan, dalam dosis yang sesuai, untuk jangka waktu yang jelas.
Kembali ke kisah Ibu Nani, kini ia lebih berhati-hati. Ia selalu bertanya dulu ke apoteker saat membeli obat. Ia membaca label, mencatat dosis, dan tidak lagi memberikan obat dewasa kepada anak-anaknya. Ia juga mulai memahami bahwa terkadang, ke dokter lebih penting daripada mencoba berbagai jenis obat sendiri. Semua itu ia pelajari setelah satu kejadian yang nyaris membahayakan anaknya.
Dari cerita ini, kita bisa belajar bahwa kesadaran adalah kunci. Meski apotek dan warung mudah diakses, tanggung jawab penggunaan tetap di tangan kita. Menggunakan obat bebas dengan aman bukan hanya tentang membaca label, tapi juga memahami tubuh kita sendiri. Karena kesehatan bukan tentang cepat sembuh, tapi tentang pulih dengan cara yang benar.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.