Pak Slamet adalah pensiunan guru yang tinggal di pinggiran Yogyakarta. Setiap pagi ia punya rutinitas: berjalan kaki keliling desa, membaca koran di beranda, dan minum segelas kecil minuman fermentasi dari botol plastik. Ia tidak tahu pasti apa manfaat pastinya, tapi ia percaya itu baik untuk perut. “Biar lancar,” katanya. Dulu, ia sering merasa begah setelah makan, perut kembung, atau susah buang air besar. Tapi sejak rutin minum minuman itu, ia merasa perutnya lebih nyaman. Ketika cucunya bertanya kenapa ia suka minuman itu, ia hanya menjawab sambil tertawa, “Katanya ada bakteri baik.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi sebenarnya menyimpan dunia yang cukup kompleks dan menarik dalam ilmu pencernaan. Bakteri baik memang bukan istilah ilmiah, tapi cukup menggambarkan apa yang dimaksud dengan probiotik. Di dalam tubuh manusia, terutama di usus, hidup triliunan mikroorganisme yang saling berinteraksi. Mereka bukan hanya ikut mencerna makanan, tapi juga memengaruhi sistem kekebalan tubuh, produksi vitamin, bahkan suasana hati. Komunitas mikroorganisme ini disebut mikrobiota usus, dan menjaganya tetap seimbang menjadi bagian penting dari kesehatan secara keseluruhan.
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia medis dan masyarakat umum mulai akrab dengan istilah probiotik dan prebiotik. Keduanya sering muncul di kemasan produk makanan, minuman, dan suplemen. Tapi tidak semua orang benar-benar memahami apa bedanya, bagaimana cara kerjanya, dan apakah keduanya benar-benar penting untuk kesehatan pencernaan atau sekadar tren pemasaran.
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang, jika dikonsumsi dalam jumlah cukup, dapat memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh, terutama pada saluran pencernaan. Mereka biasanya berasal dari kelompok bakteri asam laktat seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium, atau dari ragi seperti Saccharomyces boulardii. Kita bisa menemukan probiotik dalam produk seperti yogurt, kefir, tempe, kimchi, dan suplemen tertentu. Ketika masuk ke dalam tubuh, probiotik membantu menjaga keseimbangan mikrobiota usus, melawan bakteri jahat, dan memulihkan kondisi usus setelah terganggu oleh infeksi atau penggunaan antibiotik.
Sementara itu, prebiotik adalah jenis serat makanan yang tidak dapat dicerna tubuh, namun menjadi makanan bagi bakteri baik di usus. Mereka tidak mengandung bakteri hidup, tetapi membantu pertumbuhan dan aktivitas bakteri probiotik. Contoh prebiotik yang umum ditemukan adalah inulin, fruktooligosakarida (FOS), dan galaktooligosakarida (GOS). Kita bisa menemukannya dalam makanan seperti pisang, bawang putih, bawang bombai, asparagus, kacang-kacangan, dan gandum utuh. Bayangkan probiotik sebagai tukang kebun, dan prebiotik sebagai pupuk yang memberi mereka energi untuk bekerja.
Kombinasi keduanya sering disebut sinbiotik, yaitu ketika produk makanan atau suplemen mengandung probiotik dan prebiotik sekaligus, dengan harapan kerja sama keduanya bisa memberikan efek kesehatan yang lebih optimal. Namun efektivitasnya tetap tergantung pada jenis strain probiotik yang digunakan, jumlahnya, serta kondisi usus masing-masing individu.
Dalam praktik sehari-hari, banyak orang yang mengonsumsi minuman probiotik karena merasa membantu pencernaan. Sebagian melakukannya karena merasa perutnya sering tidak nyaman, sebagian karena sedang dalam masa pemulihan setelah minum antibiotik, dan sebagian lagi hanya karena percaya itu “menyehatkan.” Namun pertanyaannya, apakah semua orang butuh probiotik? Apakah benar bahwa dengan minum yogurt atau minuman fermentasi setiap hari, tubuh akan menjadi lebih sehat?
Jawaban sederhananya adalah: tergantung. Pada orang sehat dengan pola makan seimbang, konsumsi probiotik secara rutin bisa memberikan manfaat tambahan, tapi tidak selalu diperlukan. Namun pada kondisi tertentu, probiotik bisa sangat membantu. Misalnya, pada orang yang baru selesai menjalani pengobatan antibiotik, di mana keseimbangan mikrobiota usus biasanya terganggu. Atau pada penderita diare akibat infeksi, sindrom iritasi usus (IBS), serta intoleransi laktosa ringan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jenis probiotik tertentu dapat mempercepat pemulihan, mengurangi gejala, dan memperbaiki fungsi usus.
Namun tidak semua probiotik bekerja sama. Efeknya tergantung pada jenis dan strainnya. Lactobacillus rhamnosus GG, misalnya, efektif untuk mencegah diare akibat antibiotik. Bifidobacterium infantis bermanfaat pada pasien IBS. Saccharomyces boulardii dapat membantu mengatasi diare pada anak-anak. Artinya, tidak semua probiotik cocok untuk semua orang. Kita tidak bisa menyamaratakan bahwa semua yogurt atau minuman fermentasi akan memberikan hasil yang sama pada setiap individu.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah probiotik yang masuk ke tubuh. Banyak produk di pasaran mencantumkan probiotik sebagai bahan, tapi jumlahnya terlalu kecil untuk memberikan efek. Idealnya, jumlah probiotik aktif yang dibutuhkan adalah minimal 1 miliar CFU (colony-forming unit) per porsi. Namun dalam praktiknya, belum semua produk mencantumkan informasi ini secara jelas.
Sementara itu, prebiotik bisa didapatkan lebih mudah dari pola makan sehari-hari. Orang Indonesia yang makan sayur dan buah dalam jumlah cukup, serta mengonsumsi makanan berserat seperti singkong, jagung, atau tempe, sebenarnya sudah mendapatkan cukup prebiotik alami. Masalahnya, konsumsi serat masyarakat Indonesia masih rendah. Data Riskesdas menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum memenuhi asupan serat harian yang dianjurkan, yaitu sekitar 25–30 gram per hari. Padahal, serat inilah yang menjadi bahan bakar utama bagi bakteri baik di usus.
Banyak dari kita mungkin tidak sadar bahwa kondisi pencernaan kita memengaruhi lebih banyak hal daripada sekadar buang air besar. Usus adalah organ yang sangat kompleks. Ia tidak hanya menyerap nutrisi, tapi juga berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh. Sekitar 70 persen sel imun berada di jaringan usus. Selain itu, usus juga berkomunikasi dengan otak melalui sistem yang disebut gut-brain axis. Karena itu, gangguan di usus bisa berdampak pada suasana hati, konsentrasi, bahkan pola tidur.
Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa komposisi mikrobiota usus bisa berperan dalam risiko penyakit metabolik, seperti obesitas dan diabetes tipe 2. Bakteri tertentu menghasilkan zat sisa metabolisme yang memengaruhi sensitivitas insulin, peradangan, dan metabolisme lemak. Di sisi lain, ketidakseimbangan bakteri usus, atau disebut disbiosis, bisa memperburuk kondisi kronis, mempercepat penuaan, dan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Pak Slamet, meski tidak tahu istilah-istilah medis ini, mungkin sudah merasakan manfaat dari kebiasaannya. Minuman fermentasi yang ia konsumsi mengandung probiotik aktif. Pola makannya juga relatif alami, dengan banyak sayur dan makanan tradisional. Ia jarang jajan makanan cepat saji atau minuman manis dalam kemasan. Tanpa disadari, ia sedang merawat mikrobiota ususnya dengan cara yang sederhana dan konsisten.
Kesehatan pencernaan adalah hal yang sering diabaikan, sampai masalah muncul. Padahal, menjaga keseimbangan flora usus bisa dimulai dari hal-hal yang mudah. Memilih makanan utuh dibanding makanan olahan. Mengurangi gula dan lemak jenuh. Menambah asupan serat. Mengonsumsi makanan fermentasi alami dalam jumlah wajar. Dan jika perlu, mempertimbangkan suplemen probiotik yang sesuai kondisi tubuh, dengan konsultasi pada tenaga kesehatan.
Mengenal prebiotik dan probiotik bukan sekadar mengikuti tren, tapi memahami bahwa tubuh kita memiliki ekosistem mikro yang perlu dijaga. Karena apa yang kita makan tidak hanya memberi energi bagi tubuh, tapi juga memberi kehidupan bagi triliunan makhluk kecil yang berperan menjaga kesehatan kita setiap hari. Dalam dunia yang terus berubah, kebaikan bakteri mungkin justru menjadi pertahanan terbaik kita dari dalam.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.