Gula: Racun Putih atau Sekadar Kambing Hitam?

Gula: Racun Putih atau Sekadar Kambing Hitam?

Beberapa tahun terakhir, gula menjadi musuh baru dalam dunia kesehatan. Banyak artikel, video, hingga seminar kesehatan yang menyebutnya sebagai “racun putih” yang diam-diam membunuh. Di sisi lain, sebagian ahli gizi dan praktisi kesehatan melihat gula sebagai bagian dari makanan yang tak bisa dihindari, dan menyebut bahwa yang berbahaya adalah pola makan berlebihan, bukan gulanya sendiri. Maka, muncullah pertanyaan: benarkah gula adalah racun putih, atau ia hanya sekadar kambing hitam dari pola hidup modern yang berantakan?

Gula, atau secara ilmiah disebut sukrosa, adalah gabungan dari glukosa dan fruktosa. Dalam bentuk alaminya, gula terdapat dalam buah-buahan, sayur, dan susu. Namun yang jadi sorotan adalah gula tambahan, yakni gula yang ditambahkan ke makanan dan minuman selama proses produksi, atau saat disajikan di meja makan. Gula jenis ini yang paling banyak dikaitkan dengan masalah kesehatan.

Sejak kecil, kebanyakan dari kita sudah terbiasa dengan rasa manis. Teh manis di pagi hari, roti dengan selai, biskuit sebagai camilan, dan minuman kemasan di siang bolong. Semua terasa normal karena rasa manis memberi rasa nyaman. Namun tubuh manusia sejatinya tidak dirancang untuk menerima lonjakan kadar gula secara terus-menerus sepanjang hari. Ketika gula darah naik terlalu cepat, pankreas bekerja keras menghasilkan insulin untuk menurunkannya. Jika ini terjadi terus-menerus selama bertahun-tahun, maka risiko resistensi insulin meningkat, dan di sinilah pintu masuk menuju diabetes tipe 2.

Hubungan antara konsumsi gula tambahan dan diabetes telah diteliti secara luas. Penelitian dari Harvard T.H. Chan School of Public Health menyebut bahwa konsumsi satu porsi minuman manis setiap hari dapat meningkatkan risiko diabetes tipe 2 hingga 26%. Ini bukan angka kecil. Apalagi jika diiringi dengan kebiasaan duduk terlalu lama, kurang olahraga, dan asupan kalori berlebih.

Tapi bukan hanya diabetes yang menjadi perhatian. Gula juga berperan dalam meningkatkan proses peradangan atau inflamasi kronis di dalam tubuh. Gula tambahan yang berlebihan dapat memicu pelepasan sitokin pro-inflamasi yang berkaitan dengan berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, dan bahkan gangguan neurodegeneratif. Dalam studi yang diterbitkan di The American Journal of Clinical Nutrition, ditemukan bahwa orang yang mengonsumsi makanan tinggi gula menunjukkan peningkatan penanda inflamasi dalam darah mereka.

Selain itu, obesitas merupakan masalah besar lain yang sering dikaitkan dengan konsumsi gula berlebih. Gula, terutama dalam bentuk cair seperti soda atau minuman energi, tidak memberikan rasa kenyang yang sama seperti makanan padat. Akibatnya, seseorang bisa mengonsumsi kalori lebih banyak tanpa sadar. Studi dari BMJ (2013) menunjukkan bahwa pengurangan konsumsi gula berkaitan langsung dengan penurunan berat badan, terutama jika gula dikurangi dari minuman manis.

Namun perlu dicatat, tidak semua gula harus dijauhi. Buah, misalnya, mengandung gula alami tapi juga kaya akan serat, vitamin, dan antioksidan. Serat dalam buah membantu memperlambat penyerapan gula sehingga lonjakan kadar gula darah lebih terkendali. Masalah muncul ketika gula dipisahkan dari konteks alaminya dan digunakan dalam jumlah besar untuk memberi rasa manis buatan pada makanan.

Kisah Bu Sulastri, 56 tahun, bisa menjadi contoh nyata. Ia tidak gemuk, tetap aktif bekerja, dan tidak memiliki riwayat keluarga dengan diabetes. Namun saat melakukan pemeriksaan rutin, kadar gula darahnya berada di ambang batas prediabetes. Ternyata, setiap hari ia mengonsumsi tiga gelas teh manis, dua buah donat, dan minuman kemasan setelah makan siang. Ia merasa tidak berlebihan karena tidak makan nasi berlebih dan sering berjalan kaki. Namun akumulasi gula tambahan itu cukup untuk mengganggu keseimbangan metabolisme tubuhnya.

Di sisi lain, Pak Harjo, 65 tahun, memilih pendekatan berbeda. Ia tetap menikmati rasa manis tapi dalam batas wajar. Pagi hari ia minum kopi pahit, makan buah segar sebagai camilan, dan hanya sesekali makan kue tradisional. Ia menyadari bahwa menghindari gula sama sekali sulit, tapi menguranginya secara konsisten lebih realistis. Hasilnya, sejak lima tahun terakhir, gula darah dan berat badannya tetap stabil.

Persoalan gula sebenarnya lebih kompleks dari sekadar label “baik” atau “buruk.” Dalam konteks gizi masyarakat, pemahaman ini penting. Kampanye menghindari gula secara ekstrem bisa menimbulkan kepanikan dan kebingungan, terutama di masyarakat yang belum sepenuhnya memahami label makanan dan kandungan nutrisi. Jauh lebih efektif jika edukasi difokuskan pada pengurangan bertahap, pengenalan rasa alami, dan pembiasaan membaca label makanan.

Kebiasaan seperti memasak sendiri, memilih minuman tanpa pemanis, serta mengganti camilan manis dengan buah segar, bisa menjadi langkah awal yang sederhana namun berdampak besar. Dalam jangka panjang, pendekatan ini lebih membumi dibandingkan dengan diet ekstrem yang sulit dipertahankan.

Kesehatan bukan soal melarang sepenuhnya, tetapi mengatur dan menyadari apa yang masuk ke tubuh. Gula bukan musuh, tetapi juga bukan sahabat jika dikonsumsi tanpa kendali. Ia bisa menjadi racun jika terus diasup berlebihan, tapi ia juga bisa menjadi bagian dari hidup yang menyenangkan jika dijaga dalam kadar yang wajar.

Di tengah gempuran makanan olahan dan gaya hidup serba cepat, mungkin sudah saatnya kita berhenti dan bertanya: apakah rasa manis itu benar-benar berasal dari gula, atau justru dari kebiasaan yang selama ini kita anggap normal? Dalam menjawab pertanyaan itu, barangkali kita bisa mulai menemukan cara hidup yang lebih sehat dan lebih sadar.


Discover more from drBagus.com

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply