Di meja makan orang Indonesia, sering kita temui pemandangan yang sama: sepiring nasi putih menggunung, ditemani gorengan renyah, sambal pedas, dan segelas teh manis. Kadang ada lauk sederhana, kadang hanya tahu tempe atau mie instan. Semua terasa nikmat, apalagi dimakan ramai-ramai. Tetapi pernahkah kita bertanya, apakah “nikmat” itu selalu sejalan dengan “sehat”? Bukankah kita sering lebih sibuk mengejar rasa kenyang dan gurih, daripada memikirkan apa yang sesungguhnya masuk ke tubuh kita?
Indonesia adalah negeri yang kaya dengan cita rasa. Dari rendang di Minang, gudeg di Yogyakarta, hingga papeda di Maluku, semuanya menggoda lidah. Tetapi di balik kekayaan kuliner itu, tersembunyi persoalan yang serius: pola makan yang tidak seimbang. Kita terlalu akrab dengan nasi putih, terlalu murah hati dengan gula, terlalu gemar pada gorengan. Sementara sayur, buah, dan sumber protein hewani sering terpinggirkan. Akibatnya, banyak dari kita kenyang, tetapi tubuh kita tidak benar-benar tercukupi.
Saya pernah berbincang dengan seorang ibu rumah tangga di Jakarta. Ia berkata dengan jujur, “Kalau suami dan anak saya belum makan nasi, itu namanya belum makan.” Kalimat itu terdengar akrab di telinga banyak orang Indonesia. Nasi bukan sekadar makanan, tetapi simbol kenyang. Padahal, nasi putih yang kita konsumsi setiap hari cepat menaikkan gula darah, dan bila porsinya terlalu dominan, bisa memicu masalah kesehatan jangka panjang. Tidak heran diabetes semakin meningkat di negeri ini.
Gorengan adalah cerita lain. Hampir di setiap sudut jalan, ada penjual gorengan dengan aroma khas yang menggoda. Tempe mendoan, tahu isi, pisang goreng dan bakwan. Semuanya murah, enak, dan mudah diakses. Kita sering menganggapnya camilan, padahal dalam sehari bisa lima sampai enam potong gorengan masuk ke perut. Minyak yang digunakan sering dipakai berulang kali, kandungan lemak trans tinggi, dan semua itu perlahan menumpuk menjadi beban untuk jantung dan pembuluh darah.
Lalu ada gula. Hampir semua minuman di negeri ini manis. Dari teh, kopi, es sirup, sampai minuman kemasan. Bahkan tanpa kita sadari, banyak makanan olahan mengandung gula tambahan. Budaya kita juga lekat dengan perayaan manis. Ulang tahun dengan kue, buka puasa dengan kolak, arisan dengan kue-kue kecil. Semua manis, semua menyenangkan, tetapi tubuh kita terus-menerus dibanjiri gula.
Di sisi lain, ada fenomena yang disebut hidden hunger atau lapar tersembunyi. Orang bisa tampak kenyang, bahkan kelebihan berat badan, tetapi tubuhnya kekurangan zat gizi penting seperti vitamin A, zat besi, atau protein. Bayangkan seorang remaja yang setiap hari sarapan dengan teh manis dan gorengan, makan siang dengan nasi dan mie instan, lalu makan malam dengan porsi nasi besar dan lauk seadanya. Perutnya kenyang, tetapi gizinya minim. Inilah yang membuat anemia masih tinggi pada remaja putri, stunting masih menjadi masalah pada anak, dan obesitas meningkat di usia dewasa.
Budaya makan kita tidak muncul begitu saja. Sejarah panjang membentuknya. Nasi menjadi pusat karena dianggap simbol kesejahteraan. “Belum makan kalau belum makan nasi” adalah kalimat warisan turun-temurun. Gorengan menjadi populer karena murah dan bisa dinikmati semua kalangan. Gula menjadi bagian dari perayaan dan keramahan. Tidak ada yang salah dengan budaya, tetapi persoalan muncul ketika pola ini tidak lagi seimbang dengan kebutuhan tubuh modern yang lebih banyak duduk, lebih sedikit bergerak, dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular.
Saya teringat percakapan dengan seorang kakek di desa Jawa Tengah. Ia bercerita bahwa dulu, orang lebih sering bekerja di sawah, berjalan jauh, dan makan nasi dalam porsi besar tidak menjadi masalah karena tenaga terpakai. Sekarang, cucu-cucunya bekerja di depan komputer seharian, tetapi tetap makan dengan porsi nasi yang sama. “Beda zamannya,” katanya sambil tersenyum. Dan benar, zaman berubah, tetapi pola makan kita sering tidak ikut menyesuaikan.
Konsep gizi seimbang sebenarnya sederhana. Tubuh butuh karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral dalam porsi yang pas. Bukan berarti kita harus meninggalkan nasi, gorengan, atau gula sepenuhnya, tetapi porsinya harus wajar dan seimbang dengan kebutuhan. Sayur dan buah seharusnya mengisi setengah piring. Protein itu baik nabati maupun hewani idealnya seperempat piring. Karbohidrat seperempat piring lagi. Minum air putih cukup, batasi gula, garam, dan lemak. Kedengarannya mudah, tetapi dalam praktiknya, banyak tantangan.
Di kota besar, makanan cepat saji menggoda dengan kepraktisan. Di desa, akses sayur dan buah kadang lebih terbatas daripada nasi atau mie instan. Di keluarga dengan penghasilan rendah, gorengan seribu rupiah lebih terjangkau dibanding buah yang harganya naik turun. Semua ini memperlihatkan bahwa gizi seimbang bukan hanya soal pilihan pribadi, tetapi juga dipengaruhi kondisi ekonomi dan sosial.
Namun, bukan berarti kita tidak bisa berubah. Banyak hal bisa dimulai dari langkah kecil. Seorang ibu bisa menambahkan satu sayur hijau setiap kali memasak. Seorang ayah bisa mengurangi kebiasaan minum teh manis, menggantinya dengan air putih. Seorang remaja bisa membatasi jajan gorengan, memilih buah potong sebagai gantinya. Langkah kecil yang konsisten bisa membawa perubahan besar.
Saya juga melihat contoh inspiratif dari seorang teman yang dulu sangat gemar minum kopi susu manis setiap hari. Setelah diperiksa dokter dan gula darahnya tinggi, ia mulai mengurangi gula sedikit demi sedikit. Awalnya sulit, katanya, karena lidah terbiasa manis. Tetapi setelah beberapa bulan, ia mulai bisa menikmati kopi pahit. “Ternyata lebih enak, lebih terasa kopinya,” katanya. Kebiasaan bisa berubah, asalkan kita mau mencoba.
Pada akhirnya, makan enak tidak berarti harus makan berlebihan atau selalu manis dan gurih. Makan enak bisa berarti makan dengan rasa syukur, dengan porsi yang cukup, dengan gizi yang seimbang. Makan enak bisa berarti makan bersama keluarga, sambil tahu bahwa apa yang masuk ke tubuh akan membuat hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih bermakna.
Kesehatan tidak selalu tentang hal besar. Kadang ia hadir dalam keputusan kecil sehari-hari: menambahkan sayur ke piring nasi, memilih air putih daripada minuman manis, mengurangi gorengan satu potong, atau berani mencoba buah lokal yang mungkin jarang kita beli. Setiap pilihan itu adalah investasi kecil untuk hidup yang lebih lama dan lebih berkualitas.
Jadi, pertanyaannya sederhana: apakah kita ingin sekadar kenyang hari ini, atau sehat hingga puluhan tahun ke depan? Jawaban ada di meja makan kita sendiri.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.