Di meja makan sebuah keluarga di Magelang, hidangan malam tampak meriah: ayam goreng, sambal, sop, kerupuk, dan tentu saja nasi putih menggunung. Di pojok meja, ada juga es teh manis yang sudah jadi kebiasaan turun-temurun. Semua tampak nikmat. Ayah menyendok nasi, ibu menambah gorengan, anak-anak berebut lauk. Namun di balik keceriaan itu, ada sesuatu yang diam-diam tumbuh: kadar kolesterol yang makin tinggi, tekanan darah yang perlahan naik, dan gula darah yang tak terkendali. Tidak ada yang terasa saat itu. Semua baik-baik saja. Sampai suatu hari, seorang anggota keluarga terjatuh karena serangan jantung, atau harus minum obat seumur hidup karena diabetes.
Kolesterol, darah tinggi, dan diabetes ibarat tiga sahabat lama yang setia menemani, tetapi diam-diam memendekkan umur. Mereka tidak datang dengan teriakan keras. Mereka menyusup perlahan, lewat kebiasaan makan sehari-hari, lewat gaya hidup yang malas bergerak, lewat kesenangan kecil yang sering kita anggap wajar.
Saya pernah mendengar kisah seorang bapak pegawai kantor yang setiap pagi sarapannya adalah nasi uduk lengkap dengan telur balado dan segelas kopi manis. Siangnya makan di warung dengan menu favorit: rendang dan sambal goreng hati. Malamnya, ia biasanya menutup hari dengan gorengan. “Rasanya kalau tidak begitu, tidak puas,” katanya. Bertahun-tahun ia merasa sehat. Sampai suatu kali, tubuhnya lemas, pusing, dan setelah diperiksa, tekanan darahnya 170/100. Ia kaget. “Saya kan masih kuat bekerja,” protesnya. Tetapi darah tinggi sering tidak peduli pada usia atau semangat. Ia bekerja dalam diam, membuat pembuluh darah rapuh, menambah risiko stroke dan serangan jantung.
Kolesterol pun punya cerita serupa. Kita sering menganggapnya istilah medis jauh di awang-awang, padahal kolesterol adalah bagian dari makanan kita sehari-hari. Daging berlemak, santan, gorengan, keju, semuanya lezat tetapi jika berlebihan menumpuk di pembuluh darah. Awalnya tidak ada keluhan. Tidak ada rasa sakit. Sampai suatu ketika ada nyeri dada yang datang tiba-tiba, atau hasil cek laboratorium menunjukkan angka yang mengejutkan. Kolesterol tinggi jarang memberi peringatan, tetapi dampaknya bisa fatal.
Diabetes juga begitu. Banyak orang baru menyadari saat sudah telanjur. Ada seorang ibu yang terbiasa minum teh manis dua kali sehari. Baginya, gula adalah teman setia. “Kalau pahit, tidak enak,” katanya. Lama-lama tubuhnya lelah, sering haus, sering buang air kecil. Saat diperiksa, gula darahnya jauh di atas normal. Ia pun harus memulai perjalanan panjang dengan obat, diet ketat, dan kontrol rutin. Diabetes bukan hanya soal gula darah. Ia bisa merusak ginjal, mata, saraf, bahkan membuat luka kecil sulit sembuh.
Yang membuat ketiga penyakit ini berbahaya adalah karena mereka sering berjalan bersama. Kolesterol tinggi membuat pembuluh darah sempit, darah tinggi memberi tekanan lebih, dan diabetes mempercepat kerusakan pembuluh. Kombinasi ini bagaikan bom waktu. Dan sering, kita tidak sadar sedang duduk di atasnya.
Budaya makan kita memang turut berperan. Dari kecil kita terbiasa dengan nasi sebagai pusat. “Belum makan kalau belum makan nasi,” kata orang tua. Kita suka makanan gurih dan manis, apalagi gorengan. Di setiap acara, dari arisan hingga hajatan, gorengan selalu hadir. Teh manis adalah tanda keramahan. Santan dan daging adalah simbol kemewahan. Semua ini bagian dari identitas kita. Tetapi di era modern, ketika pekerjaan lebih banyak duduk di depan komputer daripada bekerja di sawah, pola makan itu menjadi masalah. Kalori masuk banyak, kalori keluar sedikit.
Kebiasaan malas bergerak juga memperparah. Banyak dari kita jarang jalan kaki, lebih suka naik motor meski jaraknya dekat. Olahraga dianggap urusan orang kaya yang punya waktu ke gym. Padahal berjalan kaki 30 menit sehari sudah bisa membantu menjaga tekanan darah, menurunkan kolesterol, dan mengendalikan gula. Tetapi entah mengapa, langkah sederhana ini sering kita abaikan.
Ada sebuah kisah menarik dari seorang kakek di desa. Dulu, ia terbiasa berjalan 5 kilometer setiap hari ke sawah. Makanannya sederhana: nasi, sayur, ikan asin. Badannya bugar meski sudah berusia 70-an. Sementara cucunya yang baru 30-an sudah minum obat darah tinggi. Bedanya jelas: gaya hidup. Zaman berubah, aktivitas berkurang, tetapi pola makan tidak ikut menyesuaikan.
Kolesterol, darah tinggi, dan diabetes memang bukan penyakit menular. Mereka tidak menyebar lewat udara atau sentuhan. Tetapi mereka menular lewat kebiasaan. Anak-anak melihat orang tuanya terbiasa makan manis dan berlemak, lalu menirunya. Mereka melihat olahraga tidak dianggap penting, lalu ikut-ikutan. Inilah “penyakit gaya hidup” yang diwariskan bukan lewat gen semata, tetapi lewat pola sehari-hari.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Mengurangi satu sendok gula dalam teh. Menukar satu potong gorengan dengan buah. Mengurangi porsi nasi, menambah sayur di piring. Berjalan kaki ke warung daripada selalu naik motor. Hal-hal sederhana ini, jika dilakukan konsisten, bisa mengubah arah hidup.
Saya teringat cerita seorang teman yang dulu berat badannya berlebih, kolesterol tinggi, dan gula darah mulai naik. Ia takut karena ayahnya meninggal akibat stroke. Maka ia mulai mengubah pola makan sedikit demi sedikit. Teh manis ia kurangi hingga akhirnya bisa minum tanpa gula. Nasi putih ia ganti dengan nasi merah atau jagung. Ia berjalan kaki 20 menit setiap pagi. Butuh waktu, tetapi hasilnya nyata. Berat badan turun, kolesterol membaik, tekanan darah normal, dan gula darah stabil. “Ternyata tubuh bisa berkompromi, asal kita serius menjaganya,” katanya.
Makan enak bukan berarti makan berlebihan atau selalu gurih dan manis. Makan enak bisa berarti makan secukupnya, makan dengan gizi seimbang, makan dengan rasa syukur. Hidup sehat bukan berarti tidak boleh menyentuh gorengan atau gula sama sekali, tetapi tahu batas dan menjaga keseimbangan.
Kolesterol, darah tinggi, dan diabetes memang sahabat lama yang setia mengikuti manusia modern. Tetapi kita tidak harus membiarkan mereka memendekkan umur. Dengan kesadaran, dengan perubahan kecil yang konsisten, dengan keberanian untuk berkata “cukup” pada piring nasi yang berlebihan atau segelas gula yang terlalu manis, kita bisa hidup lebih panjang, lebih sehat, dan lebih bahagia.
Jadi, pertanyaan untuk kita semua: apakah kita mau menunggu hingga tubuh memberi peringatan keras, atau mulai mendengar bisikan kecilnya hari ini? Pilihan itu ada di meja makan, di langkah kaki, dan di kebiasaan harian kita sendiri.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.