IMS Semakin Sering Ditemukan, Apa yang Sebenarnya Terjadi

IMS Semakin Sering Ditemukan, Apa yang Sebenarnya Terjadi

Di banyak puskesmas, klinik kesehatan seksual ataupun klinik kesehatan reproduksi, tenaga kesehatan sering merasa bahwa kasus infeksi menular seksual datang lebih sering dibanding beberapa tahun lalu. Setiap minggu ada saja orang yang datang dengan keluhan nyeri saat berkemih, cairan yang muncul tiba tiba, atau luka kecil yang tidak kunjung sembuh. Di beberapa daerah, laporan tentang gonore resisten semakin sering muncul. Di layanan komunitas, jumlah skrining meningkat dan angka positif pun ikut naik. Fenomena ini membuat banyak orang bertanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Apakah perilaku seksual berubah drastis. Apakah PrEP ikut memengaruhi. Atau apakah layanan kesehatan justru menjadi lebih baik dalam mendeteksi kasus yang sebelumnya tidak terlihat.

Ketika melihat tren IMS, langkah pertama yang penting adalah memahami bahwa peningkatan angka tidak selalu berarti peningkatan penularan. Banyak tenaga kesehatan akhirnya menyadari bahwa peningkatan temuan sering kali muncul karena pemeriksaan yang dilakukan lebih sering, lebih sistematis, dan lebih sensitif dibanding masa lalu. Dulu skrining IMS dilakukan hanya ketika seseorang mengeluh. Kini banyak layanan PrEP, layanan HIV, dan komunitas melakukan pemeriksaan rutin setiap beberapa bulan. Ketika skrining ditingkatkan, kasus yang dulu tersembunyi menjadi terlihat. Pada titik ini, angka memang naik, tetapi gambaran epidemiologi menjadi lebih jujur.

Sebagian besar IMS, terutama sifilis, klamidia dan gonore, sering tidak menimbulkan gejala. Banyak orang hidup tanpa menyadari bahwa mereka membawa infeksi dan menularkannya kepada pasangan. Ketika skrining meningkat, gejala yang tidak pernah muncul pun akhirnya ditemukan melalui tes laboratorium. Hal ini membuat petugas lapangan menyimpulkan bahwa peningkatan kasus bukan selalu tanda memburuknya perilaku seksual, tetapi tanda bahwa sistem kesehatan bekerja lebih baik dalam mendeteksi. Meskipun demikian, peningkatan diagnosis tetap membutuhkan perhatian serius karena setiap infeksi yang tidak diobati dapat berkontribusi pada penularan rantai berikutnya.

Hubungan antara IMS dan PrEP sering menjadi perdebatan yang tidak selalu akurat. Sebagian orang berpendapat bahwa PrEP membuat orang lebih berani mengambil risiko karena merasa aman dari HIV. Namun cerita di ruangan klinik sering kali berbeda. Banyak klien PrEP justru datang lebih sering untuk pemeriksaan, mempertahankan hubungan yang lebih terbuka dengan tenaga kesehatan, dan lebih cepat mengobati IMS ketika muncul. Dalam banyak kasus, PrEP membuka pintu percakapan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ketika seseorang menjalani follow up rutin, dokter dapat mengidentifikasi IMS lebih awal. Dengan kata lain, peningkatan diagnosis IMS pada pengguna PrEP sering kali mencerminkan peningkatan deteksi, bukan peningkatan perilaku berisiko.

Namun tentu saja perilaku seksual tetap berperan. Penggunaan kondom yang tidak konsisten adalah faktor penting dalam penyebaran IMS. Kondom memang efektif, tetapi tidak selalu digunakan. Ada relasi intim yang membuat seseorang merasa canggung menggunakan kondom. Ada pula pasangan yang meyakini bahwa penggunaan kondom tidak lagi diperlukan karena mereka merasa saling percaya. Pada titik ini, IMS bergerak dengan mudah karena transmisi terjadi melalui kontak mukosa yang tidak terlihat. Seseorang mungkin tidak berniat menularkan apa pun, tetapi karena gejalanya tidak ada, infeksi berpindah tanpa disadari.

Di beberapa komunitas, perubahan cara berkenalan dan berinteraksi juga memengaruhi dinamika IMS. Kemudahan menggunakan aplikasi pertemanan membuat pertemuan dengan pasangan baru semakin cepat dan lebih anonim. Ini bukan sesuatu yang perlu dihakimi, tetapi bagian dari pola sosial modern yang harus dipahami secara realistis. Ketika pertemuan menjadi lebih spontan, pembicaraan tentang kesehatan seksual sering terlambat dilakukan. Dokter tidak bisa mengubah cara orang bertemu, tetapi mereka bisa membantu orang membuat keputusan yang lebih aman melalui edukasi dan pendekatan yang tidak menghakimi.

Resistensi gonore adalah salah satu isu paling serius dalam tren IMS saat ini. Di beberapa negara, strain gonore yang resisten terhadap antibiotik lini pertama sudah dilaporkan. Indonesia pun tidak sepenuhnya bebas dari risiko ini. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat, pengobatan tidak lengkap, dan orang yang mengobati sendiri tanpa pemeriksaan laboratorium dapat mempercepat munculnya resistensi. Ketika seorang dokter menghadapi kasus yang tidak membaik setelah terapi standar, ia tidak hanya menghadapi pasien yang sakit, tetapi menghadapi ancaman kesehatan masyarakat yang lebih luas. Resistensi membuat pengobatan menjadi lebih sulit dan membutuhkan pemantauan yang lebih seksama.

Dalam kemampuan tenaga kesehatan melihat gambaran besar, pemeriksaan rectal, vaginal, dan orofaring menjadi hal yang sangat penting. Banyak IMS tidak muncul di satu lokasi saja. Gonore dan klamidia dapat berada di orofaring tanpa menimbulkan gejala sama sekali. Ketika seseorang hanya diperiksa melalui urin, infeksi yang berada di tenggorokan bisa terlewat. Hal ini membawa konsekuensi pada peluang penularan. Skrining multi situs sering kali dianggap rumit, padahal justru itulah yang membuat deteksi menjadi lebih lengkap. Beberapa klinik sudah mulai rutin menggunakan pendekatan ini, dan hasilnya terlihat jelas dalam peningkatan temuan kasus.

Dari sudut pandang klinis, mengelola IMS sebenarnya lebih kompleks daripada sekadar memberi antibiotik. Dokter sering harus menilai aspek lain seperti riwayat pasangan, kemungkinan reinfeksi, dan kebutuhan untuk skrining ulang setelah pengobatan. Ada kalanya seseorang datang kembali dengan infeksi yang sama setelah beberapa minggu. Ini bukan karena pengobatan tidak efektif, tetapi karena pasangan yang tidak diobati. Pendekatan yang efektif biasanya melibatkan edukasi tentang partner notification. Namun ini bukan percakapan yang sederhana. Banyak orang merasa takut atau malu memberi tahu pasangan bahwa mereka membawa IMS. Dokter harus membantu mereka melalui percakapan yang sensitif tanpa menyalahkan siapa pun.

PrEP juga membawa dinamika baru dalam percakapan tentang IMS. Pengguna PrEP biasanya sudah terbiasa dengan pemeriksaan rutin dan lebih nyaman mendiskusikan perilaku seksual dengan tenaga kesehatan. Mereka datang setiap tiga bulan untuk tes HIV dan pemeriksaan laboratorium lain. Di saat itulah skrining IMS dilakukan. Tanpa PrEP, orang mungkin tidak pernah datang untuk pemeriksaan rutin. Jadi hubungan antara PrEP dan kenaikan diagnosis IMS tidak pernah sesederhana seperti yang dibayangkan masyarakat umum. Dalam banyak kasus, PrEP memperkuat deteksi dan membuat infeksi yang sebelumnya tidak terlihat menjadi terlihat.

Ketika membicarakan IMS, penting untuk mengingat bahwa infeksi ini tidak hanya menyerang tubuh, tetapi juga membawa stigma sosial yang kuat. Banyak orang takut bercerita karena tidak ingin dianggap tidak bermoral. Ada pula yang menyimpan diam karena takut dihakimi. Stigma membuat seseorang menunda pemeriksaan. Penundaan ini memperpanjang masa infeksi dan membuka lebih banyak kesempatan untuk menularkan. Di ruang klinik, dokter sering melihat wajah seseorang yang tampak lega ketika mendengar kalimat sederhana bahwa IMS dapat diobati dan bukan sesuatu yang membuat seseorang kehilangan harga diri. Ketika stigma dikurangi, orang lebih berani mencari perawatan lebih cepat.

Meskipun IMS meningkat, ada banyak hal positif yang terjadi. Layanan kesehatan semakin terlatih dalam menggunakan pendekatan berbasis bukti. Tenaga kesehatan semakin terbiasa dengan pemeriksaan multi situs, resistensi antibiotik, dan pentingnya konseling berulang. Komunitas juga semakin aktif dalam menyediakan pemeriksaan, terutama bagi kelompok yang tidak selalu merasa aman datang ke fasilitas kesehatan. Dukungan digital melalui chat edukasi dan telekonsultasi juga mempermudah orang untuk bertanya tanpa rasa malu. Semua hal ini membentuk ekosistem baru yang dapat membantu mengendalikan IMS dengan cara yang lebih manusiawi.

Ketika melihat masa depan, banyak klinisi percaya bahwa peningkatan diagnosis IMS adalah langkah penting menuju epidemi yang lebih terkendali. Deteksi dini membuat pengobatan cepat. Pengobatan cepat mengurangi penularan. Komunikasi yang lebih terbuka membuat pasangan ikut diperiksa. Semua langkah ini berjalan saling terkait. PrEP juga memainkan peran penting karena mendorong rutinitas pemeriksaan yang lebih konsisten. Selama edukasi dilakukan dengan benar, PrEP tidak harus dianggap sebagai faktor risiko terhadap IMS, tetapi sebagai pintu masuk untuk pencegahan yang lebih komprehensif.

Dalam semua dinamika ini, ada satu benang merah yang selalu muncul. Kesehatan seksual adalah bagian dari kehidupan manusia yang harus dibicarakan dengan empati. Banyak orang tumbuh dalam lingkungan yang tidak pernah memberi ruang untuk berbicara tentang tubuh dan seksualitas secara sehat. Ketika IMS meningkat, respons kita tidak boleh langsung menilai perilaku, tetapi memahami bahwa setiap orang punya perjalanan hidup yang tidak selalu mudah. Tugas tenaga kesehatan bukan menakuti, tetapi memberi penjelasan yang jernih dan membangun rasa aman yang memungkinkan seseorang membuat keputusan yang lebih baik.

IMS yang tidak diobati dapat meningkatkan risiko penularan HIV. Sebaliknya, layanan HIV yang baik dapat membantu mendeteksi IMS lebih awal. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Ketika kita memahami bahwa peningkatan diagnosis IMS bukan hanya angka, tetapi bagian dari kerja kolektif meningkatkan kesehatan seksual masyarakat, kita bisa melihat fenomena ini dengan cara yang lebih tenang. Yang dibutuhkan bukan kecemasan, tetapi komitmen untuk menghadirkan layanan yang lebih ramah, lebih terbuka, dan lebih terhubung dengan kehidupan nyata orang yang datang mencari pertolongan.


Discover more from DrBagus.com

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply