Banyak orang langsung tegang ketika mendengar kata nyeri dada. Rasanya seperti alarm bahaya yang tiba tiba menyala di tubuh. Ada yang langsung berpikir tentang serangan jantung, ada yang mengaitkannya dengan asam lambung, sebagian lain memilih mengabaikan dengan alasan “paling cuma masuk angin”. Di tengah berbagai tafsir itu, ada satu faktor yang sering luput dibicarakan, yaitu tidur. Bukan hanya soal merasa segar atau mengantuk di pagi hari, tetapi tidur sebagai bagian penting dari kesehatan jantung dan pola munculnya nyeri dada.
Selama bertahun tahun, tidur sering ditempatkan sebagai “pelengkap” gaya hidup sehat. Orang lebih sering bicara soal diet, olahraga, atau vitamin. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, lembaga seperti American Heart Association sudah memasukkan tidur ke dalam pilar utama kesehatan jantung. Artinya, kualitas dan durasi tidur dianggap sama seriusnya dengan tekanan darah, kolesterol, dan gula darah. Ini bukan sekadar tren, tetapi hasil dari akumulasi banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa tubuh tidak bisa berfungsi optimal tanpa pola tidur yang teratur.
Salah satu penelitian yang menarik berasal dari Amerika Serikat dan menggunakan data lebih dari delapan belas ribu orang dewasa berusia di atas empat puluh tahun. Para peneliti ingin tahu apakah lama tidur seseorang berhubungan dengan angina, yaitu nyeri dada yang berasal dari jantung, sekaligus melihat apakah ada kaitan dengan lokasi rasa nyeri yang dirasakan. Hasilnya cukup mengejutkan banyak orang, karena durasi tidur ternyata tidak hanya berkaitan dengan ada tidaknya keluhan, tetapi juga dengan seberapa berat angina itu dirasakan dan seberapa khas atau tidak khas letak nyerinya.
Dari penelitian tersebut, terlihat pola yang cukup jelas. Orang yang tidur lebih dari delapan jam per malam cenderung memiliki angina yang lebih berat. Artinya, nyeri dadanya lebih mudah muncul, lebih membatasi aktivitas, dan lebih mengganggu kualitas hidup. Sementara itu, orang yang tidur kurang dari tujuh jam justru lebih sering mengalami nyeri dada yang letaknya tidak biasa, misalnya di sisi kanan dada, di daerah ulu hati, atau menjalar ke leher. Nyeri seperti ini tidak selalu langsung dikenali sebagai masalah jantung, sehingga berpotensi membuat diagnosis terlambat ditegakkan.
Jika kita berhenti sejenak dan merenungkan temuan tersebut, ada pesan penting yang bisa ditangkap. Tidur bukan sekadar waktu ketika kita “off” dari aktivitas. Tidur adalah masa ketika tubuh melakukan pekerjaan perbaikan besar besaran. Tekanan darah menurun, detak jantung melambat, hormon stres turun, dan jaringan tubuh diberi kesempatan untuk pulih. Ketika proses ini terganggu secara kronis, misalnya karena seseorang sering begadang atau justru tidur berlebihan, keseimbangan sistem tubuh mulai bergeser. Jantung, sebagai organ yang bekerja terus menerus sejak kita lahir, sangat sensitif terhadap gangguan kecil seperti ini.
Pada orang yang tidur terlalu lama, misalnya lebih dari delapan jam setiap malam, tidur panjang ini sering kali bukan tanda tubuh yang sangat sehat, tetapi justru sinyal bahwa ada kondisi lain yang membebani tubuh. Bisa saja ada peradangan kronis, gangguan metabolik, atau kelelahan yang berkepanjangan. Ketika tubuh berada dalam keadaan seperti ini, pembuluh darah jantung menjadi lebih rentan. Aliran darah yang seharusnya lancar bisa terganggu, dan gejalanya muncul sebagai angina yang lebih berat. Selain itu, orang yang tidur sangat lama biasanya juga lebih sedikit bergerak sepanjang hari. Aktivitas fisik yang menurun, bila berlangsung terus menerus, akan meningkatkan risiko obesitas, tekanan darah tinggi, dan gangguan gula darah, yang semuanya merupakan faktor risiko penyakit jantung.
Sebaliknya, kurang tidur membawa masalah yang tidak kalah serius. Seseorang yang secara rutin tidur kurang dari tujuh jam per malam mengalami peningkatan hormon stres seperti kortisol. Sistem saraf simpatis yang membuat tubuh berada dalam mode “siaga” terus aktif. Detak jantung cenderung lebih cepat, tekanan darah cenderung lebih tinggi, dan tubuh berada dalam keadaan tegang walaupun secara kasat mata tampak baik baik saja. Dalam kondisi seperti ini, ketika nyeri dada muncul, sensasinya bisa berbeda. Nyeri mungkin terasa di sisi kanan, seperti tertusuk di leher, atau hanya berupa rasa tidak nyaman di ulu hati. Tidak jarang keluhan ini dianggap sepele atau dikaitkan dengan asam lambung, masuk angin, atau kelelahan biasa, padahal bisa saja ada keterlibatan jantung di baliknya.
Kurang tidur juga mengubah cara otak memproses rasa sakit. Rangsangan nyeri yang kecil dapat dirasakan lebih intens dan membingungkan. Seorang pasien bisa datang dengan keluhan sulit dijelaskan, “rasanya bukan sakit, tapi tidak enak di dada”, atau “kadang seperti penuh, kadang seperti pegal”. Di sinilah tantangan bagi dokter dan pasien. Jika pola tidur tidak ditanyakan, sinyal halus dari tubuh ini mudah terlewat.
Penelitian yang menyoroti kaitan tidur dan angina ini menggunakan pendekatan statistik yang cukup ketat. Data diambil dari survei kesehatan nasional Amerika (NHANES), lalu dianalisis dengan menyesuaikan berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, status merokok, tekanan darah, diabetes, indeks massa tubuh, hingga riwayat serangan jantung dan stroke. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun faktor faktor tersebut sudah diperhitungkan, durasi tidur yang terlalu panjang tetap berkaitan dengan angina yang lebih berat, dan tidur yang terlalu pendek tetap berkaitan dengan nyeri dada yang tidak khas letaknya. Penelitian ini tidak membuktikan sebab akibat secara mutlak, tetapi memberikan gambaran korelasi yang konsisten dan cukup kuat untuk dijadikan bahan refleksi.
Referensi utama penelitian ini adalah artikel dari Maslahuddin Roomi dan kolega berjudul “Association Between Sleep Duration and Angina Characteristics in US Adults” yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet Regional Health Americas tahun 2025. Studi ini memperkuat pandangan bahwa tidur perlu dipandang sebagai bagian integral dari kesehatan jantung, bukan sekadar pelengkap gaya hidup.
Pertanyaannya kemudian, apa artinya semua ini bagi kehidupan sehari hari kita. Pertama, durasi tidur bisa menjadi sinyal penting dari tubuh. Jika Anda menyadari bahwa selama beberapa bulan terakhir justru sering tidur lebih dari delapan atau sembilan jam tetapi tetap merasa lelah, jangan buru buru merasa beruntung karena “tidur nyenyak”. Situasi ini bisa saja mencerminkan adanya beban kesehatan lain yang belum terdeteksi. Demikian pula, jika Anda terbiasa tidur hanya lima atau enam jam dan menganggapnya normal karena pekerjaan, lembur, atau kebiasaan nonton sampai larut, tubuh mungkin sedang menanggung utang tidur yang pada suatu saat akan menagih dengan cara yang tidak menyenangkan.
Kedua, nyeri dada perlu dihargai sebagai bentuk komunikasi tubuh, terutama bila muncul berulang. Nyeri yang terasa di tengah dada dan menjalar ke lengan kiri memang klasik untuk masalah jantung, tetapi nyeri di leher, rahang, punggung, atau ulu hati tidak boleh otomatis dianggap aman, apalagi bila datang dan pergi dengan pola tertentu, misalnya muncul saat aktivitas dan mereda ketika beristirahat. Bila keluhan seperti ini hadir bersamaan dengan pola tidur yang berantakan, sebaiknya jangan ditunda untuk berkonsultasi.
Ketiga, dan ini sering kali yang paling sulit di era serba sibuk, tidur sebenarnya adalah salah satu “obat gratis” yang paling kuat untuk kesehatan jantung. Upaya menjaga tidur yang konsisten, sekitar tujuh sampai delapan jam setiap malam, memberikan ruang bagi tubuh untuk menurunkan tekanan darah secara alami, mengatur hormon, dan meredakan peradangan. Anda tidak memerlukan peralatan canggih untuk memulai. Hal hal sederhana seperti mengurangi penggunaan gawai satu jam sebelum tidur, tidak minum kopi atau teh berkafein di sore hari, membuat kamar tidur lebih gelap dan tenang, serta menjaga jam tidur dan bangun yang relatif sama setiap hari, adalah langkah kecil yang berdampak besar.
Tentu saja, tidak semua orang bisa langsung mengubah pola tidur dalam semalam. Orang yang bekerja shift, orang tua dengan anak kecil, atau mereka yang memiliki gangguan cemas mungkin menghadapi kesulitan tambahan. Namun justru karena tantangannya besar, kesadaran menjadi kunci. Jika Anda menyadari bahwa tidur Anda tidak sehat, itu sudah menjadi langkah pertama yang penting. Dari sana, Anda bisa mencari solusi bertahap, apakah dengan mengatur ulang jadwal, berkonsultasi tentang gangguan tidur, atau sekadar mulai dengan target sederhana, misalnya tidur lima belas menit lebih awal setiap beberapa hari.
Di sisi lain, tenaga kesehatan juga perlu lebih peka untuk menanyakan pola tidur ketika menilai keluhan nyeri dada. Pertanyaan sederhana tentang berapa jam seseorang tidur dan seberapa sering ia terbangun di malam hari bisa memberikan konteks penting bagi interpretasi gejala. Dalam situasi di mana sumber daya terbatas, anamnesis yang lebih tajam ini sering kali menjadi alat yang sangat berharga.
Pada akhirnya, hubungan antara tidur dan nyeri dada mengingatkan kita bahwa tubuh manusia tidak bekerja secara terpisah pisah. Jantung, otak, hormon, dan pola hidup sehari hari saling terhubung dalam jaringan yang rumit. Kebiasaan kecil yang kita anggap sepele, seperti memutuskan untuk terus menggulir layar ponsel hingga lewat tengah malam, secara perlahan menggeser keseimbangan ini. Suatu hari, ketidakseimbangan itu bisa muncul sebagai nyeri dada yang mengejutkan, kelelahan berkepanjangan, atau diagnosa penyakit jantung yang datang terlalu cepat.
Melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas, menjaga tidur yang baik bukan hanya bentuk cinta kepada diri sendiri, tetapi juga kepada orang orang yang kita sayangi. Jantung yang sehat membuat kita bisa tetap hadir, bekerja, dan menemani keluarga lebih lama. Ketika kita memilih untuk tidur cukup, sebenarnya kita sedang memilih untuk memberi kesempatan pada tubuh melakukan perawatan yang tidak bisa digantikan oleh obat mana pun. Di tengah kehidupan yang semakin cepat dan penuh tekanan, keputusan untuk mematikan lampu lebih awal dan beristirahat dengan tenang bisa menjadi bentuk kecil dari perlawanan terhadap gaya hidup yang menguras kesehatan tanpa kita sadari.
Jika suatu hari Anda merasakan nyeri dada, entah itu di sisi kiri, di tengah, di leher, atau di ulu hati, coba ajukan dua pertanyaan sederhana kepada diri sendiri. Pertama, apakah keluhan ini sudah berulang. Kedua, bagaimana pola tidur saya selama ini. Bila jawaban dari kedua pertanyaan itu membuat Anda ragu, jangan menunggu sampai situasi memburuk. Periksakan diri, ajak tubuh berdialog bersama tenaga kesehatan, dan jadikan tidur yang cukup sebagai bagian dari komitmen jangka panjang untuk menjaga kualitas hidup. Di titik inilah tidur berhenti menjadi sekadar rutinitas malam hari, dan berubah menjadi salah satu pilihan sadar untuk merawat jantung dan masa depan Anda.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.


trimakasih dokter … materi yang sangat bermanfaat. untuk menjaga kesehatan
Terimakasih banyak pak sudah berkenan membaca artikel ini