Ada satu pertanyaan yang terus muncul di ruang praktik, di kelas, atau di ruang diskusi publik. Kadang disampaikan dengan ragu ragu, kadang dengan nada curiga, dan kadang juga dengan keyakinan yang tampaknya sudah dibentuk oleh potongan informasi yang berseliweran di media sosial. Pertanyaannya sederhana, mengapa kondom dikatakan aman padahal katanya berpori. Bukankah semua benda di muka bumi ini pada dasarnya berpori. Jika ada pori, bukankah virus bisa lewat. Lalu bagaimana mungkin kondom dapat mencegah HIV. Pertanyaan seperti ini muncul bukan karena orang tidak cerdas, tetapi karena istilah ilmiah sering beredar tanpa konteks yang benar sehingga menimbulkan bayangan yang keliru. Banyak orang membayangkan pori itu seperti lubang pada kain atau saringan dapur, padahal struktur bahan kondom sama sekali tidak bekerja seperti itu.
Tulisan ini saya susun untuk membantu menjelaskan konsep tersebut dengan bahasa yang lebih dekat dengan keseharian. Sains yang benar tidak harus terdengar rumit. Yang kita perlukan hanyalah logika yang rapi, penjelasan yang jernih, dan sedikit kesabaran untuk memisahkan informasi yang benar dari informasi yang hanya terdengar meyakinkan karena sering diulang ulang.
Jika kita kembali pada prinsip dasar, benar bahwa hampir semua benda memiliki pori dalam pengertian ilmiah. Kayu, batu, plastik, bahkan logam sekalipun memiliki struktur mikro yang tidak seratus persen padat. Tetapi pori dalam konteks material bukan berarti lubang yang bisa dilewati begitu saja. Pori bisa bersifat tertutup, tidak tembus dari satu sisi ke sisi lain, atau berada pada skala yang begitu kecil sehingga tidak mungkin dilewati oleh partikel biologis seperti virus. Pada lateks, bahan utama sebagian besar kondom medis, struktur mikronya bukan sekumpulan lubang yang tersusun seperti jaring, tetapi jaringan rapat dari rantai polimer yang saling bertaut. Jika diperbesar dengan mikroskop elektron, struktur ini mungkin terlihat seperti memiliki ruang kecil. Namun ruang tersebut tidak terhubung membentuk kanal. Inilah bagian yang sering disalahartikan sebagai pori yang bisa dilalui virus.

Untuk memahami ini, kita bisa membayangkan batu alam. Secara teknis batu pun berpori, tetapi itu tidak berarti air bisa menembusnya begitu saja. Ada ruang kecil di antara mineral, tetapi tidak membentuk jalur keluar masuk. Lateks bekerja dengan cara yang mirip. Ruang mikroskopik itu tidak membawa fungsi sebagai pintu bagi molekul besar, melainkan hanyalah bagian dari struktur internal material. Ketika kondom diproduksi, lateks diproses dalam kondisi yang membuat jaringan polimernya menyatu rapat sehingga permukaan yang tampak lentur itu sebenarnya sangat padat di tingkat nanometer.
Pada tahap ini, penting untuk menyinggung ukuran virus HIV. Banyak orang mungkin pernah mendengar bahwa virus itu sangat kecil. Namun jarang ada yang membayangkan skala yang sesungguhnya. HIV berukuran sekitar 100 sampai 120 nanometer. Sementara itu, struktur rapat pada lateks berada pada skala yang bahkan lebih kecil dan tidak membentuk jalur terbuka. Jadi meskipun seseorang berkata bahwa kondom berpori, pertanyaannya harus diperjelas. Pori seperti apa. Jika pori yang dimaksud tidak memiliki jalur tembus dan berukuran jauh di bawah ukuran virus, maka tidak ada mekanisme bagi HIV untuk menyeberang.

Sains juga tidak berdiri hanya pada teori. Industri kondom mengikuti standar internasional yang sangat ketat. Setiap kondom diuji dengan air dan udara. Kondom diisi air dalam jumlah tertentu untuk melihat apakah ada kebocoran, lalu dipompa udara sampai mengembang besar. Jika ada celah yang cukup besar bahkan untuk air sekalipun, kondom itu tidak akan lolos uji. Logikanya sederhana. Jika air tidak dapat keluar, maka partikel berukuran lebih besar pun tidak akan bisa. Kondom yang Anda dapatkan di klinik atau apotek telah melewati serangkaian uji yang memastikan bahwa materialnya kedap dan tidak memiliki lubang yang dapat dilalui virus.

Namun mengapa masih ada kasus penularan pada orang yang mengaku memakai kondom. Jawabannya tidak terletak pada materialnya. Penularan yang terjadi biasanya berkaitan dengan cara penggunaan. Kondom bisa sobek jika dipakai terlalu kasar, jika digunakan dengan pelumas yang tidak sesuai, atau jika ukurannya tidak pas. Ada juga yang memakainya terlambat, misalnya setelah penetrasi sudah dilakukan. Ada yang melepasnya terlalu cepat. Semua ini tidak ada hubungannya dengan pori, tetapi lebih pada praktik penggunaan. Ini mengingatkan kita bahwa teknologi medis yang baik tetap membutuhkan perilaku yang benar dari manusia yang menggunakannya.
Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, kita bisa melihat penelitian epidemiologis. Berbagai studi kohort yang mengikuti pasangan serodiscordant selama bertahun tahun menunjukkan bahwa penggunaan kondom secara konsisten dapat menurunkan risiko penularan hingga lebih dari 95 persen. Seandainya virus benar benar bisa menembus lateks, angka perlindungan itu tidak mungkin terjadi. Epidemiologi memberi jawaban yang sangat jelas. Efektivitas kondom bukanlah mitos tetapi fakta yang dibuktikan berulang kali dalam penelitian di banyak negara.
Meski demikian, kita sering menemui orang yang masih ragu. Tidak jarang orang berkata bahwa mereka pernah membaca artikel yang menyebut pori kondom lebih besar dari virus. Kebanyakan klaim ini berasal dari pembacaan yang tidak lengkap terhadap studi lama yang menggunakan mikroskop elektron. Dalam beberapa gambar, struktur lateks memang terlihat seperti memiliki ruang. Namun peneliti sendiri menjelaskan bahwa ruang itu bukan kanal terbuka. Artinya, meskipun tampak seperti lubang, strukturnya tidak memberikan jalur bagi virus untuk berpindah. Sayangnya, gambar yang menyesatkan ini terlanjur dipakai dalam berbagai kampanye informasi yang tidak berdasar.
Dalam percakapan sehari hari, penjelasan seperti ini mungkin terasa terlalu teknis. Karena itu kita perlu menyederhanakannya tanpa kehilangan akurasi. Ketika seseorang bertanya apakah kondom berpori, kita bisa mengatakan bahwa memang semua bahan berpori dalam definisi ilmiah, tetapi tidak semua pori berfungsi sebagai jalan. Pori pada lateks terlalu kecil dan tidak membuka ke dua sisi, sehingga HIV tidak dapat melewatinya. Jika kondom gagal, itu bukan karena virus menembus bahan, tetapi karena penggunaan yang tidak tepat atau kerusakan fisik.

Dengan memahami hal ini, kita dapat mengambil posisi yang lebih tenang terhadap informasi yang beredar. Edukasi kesehatan tidak hanya soal menghafal fakta. Edukasi juga tentang membantu orang memulihkan kemampuan berpikir kritis mereka. Kita hidup pada masa ketika informasi mudah sekali diakses, tetapi kebenaran justru semakin sulit dipisahkan dari hal yang tampak meyakinkan. Menjelaskan sains dengan cara yang jujur dan sabar adalah salah satu kontribusi kecil yang bisa kita berikan kepada masyarakat.
Di ruang praktik atau layanan komunitas, penjelasan seperti ini sering membuat orang merasa lebih aman. Banyak klien datang dengan rasa takut bahwa mereka telah mengambil risiko karena mendengar kabar bahwa kondom tidak sepenuhnya melindungi. Saat mereka memahami bahwa isu pori tidak relevan dengan mekanisme penularan HIV, mereka bisa mengambil keputusan dengan lebih percaya diri. Ini bukan hanya soal perlindungan fisik. Ini juga tentang memberikan ketenangan batin bagi seseorang yang sedang belajar mengelola hidup mereka dengan lebih sehat.
Jika ada satu pelajaran sosial yang bisa dipetik dari diskusi ini, mungkin adalah bahwa sains membutuhkan empati dalam penyampaiannya. Orang tidak selalu salah karena tidak tahu. Banyak yang hanya belum mendapatkan kesempatan untuk memahami. Dengan memberikan penjelasan yang jernih dan tidak menghakimi, kita membantu membangun masyarakat yang lebih sehat, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara pengetahuan. Setiap percakapan yang baik tentang kondom dan HIV adalah bagian dari upaya kolektif untuk mengurangi stigma, meningkatkan literasi kesehatan, dan memastikan bahwa keputusan yang diambil seseorang didasarkan pada informasi yang benar.
Edukasi yang baik selalu berakar pada rasa hormat terhadap orang yang sedang belajar. Tugas kita adalah menjaga agar ilmu yang kita sampaikan tetap akurat dan tetap manusiawi. Di tengah banyaknya mitos yang beredar, sikap inilah yang akan menjaga masyarakat tetap berada di jalur yang sehat.
Discover more from DrBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.

