Dalam beberapa tahun terakhir, topik tentang Human Papillomavirus atau HPV kembali ramai dibicarakan. Di berbagai forum edukasi publik, ada narasumber, yang pernah menyampaikan di sebuah event bahwa penularan HPV tidak hanya melalui hubungan seksual tetapi juga bisa melalui tempat umum atau fasilitas publik. Potongan video dari salah satu acara di Jakarta tersebut bahkan menunjukkan pernyataan bahwa penularan HPV bisa terjadi di tempat tempat umum. Wajar jika masyarakat menjadi bingung dan bertanya apakah pernyataan ini benar atau justru menimbulkan salah paham.
Membahas HPV memang tidak bisa dipisahkan dari pemahaman tentang bagaimana virus ini bekerja. Bukti ilmiah yang konsisten sejak puluhan tahun menunjukkan bahwa HPV terutama menular melalui kontak kulit ke kulit yang sangat dekat, terutama dalam konteks hubungan seksual, baik penetratif maupun non penetratif. Virus ini membutuhkan lingkungan epitel manusia untuk bertahan hidup dan sangat tidak stabil di permukaan kering. Karena itu, pedoman internasional seperti WHO, CDC, dan asosiasi ginekologi dunia secara jelas menyatakan bahwa toilet seat, wastafel, kursi umum, dan fasilitas publik lainnya BUKAN jalur penularan HPV.
Namun, mengapa sesekali muncul pernyataan bahwa HPV bisa berasal dari tempat umum. Hal ini biasanya berangkat dari beberapa penelitian laboratorium di luar negeri, termasuk studi dari Tiongkok, yang menemukan DNA HPV pada permukaan fasilitas publik seperti toilet umum, ruang ganti, atau area kolam renang. Angkanya kadang mencapai dua puluh persen atau lebih. Pada pandangan pertama, temuan ini terlihat mengkhawatirkan. Namun ada fakta penting yang sering terlewat ketika temuan tersebut dikutip dalam forum media.
Saya menemukan publikasi ilmiah yang dijadikan referensi oleh narasumber di acara tersebut. Anda dapat mengakses tulisan yang menjadi referensi itu di link ini. Penelitian tersebut memiliki sejumlah kelemahan mendasar yang membuat kesimpulannya tentang kemungkinan penularan HPV melalui toilet tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Studi tersebut hanya mendeteksi DNA HPV, bukan virion yang hidup dan infeksius, sehingga keberadaan materi genetik di permukaan tidak dapat dijadikan bukti transmisi. Penggunaan Ct value sebagai indikator konsentrasi virus juga tidak tepat karena tidak ada standar baku untuk interpretasi viral load pada sampel lingkungan. Kontrol terhadap kontaminasi silang tidak dijelaskan dengan baik. Desain penelitian yang bersifat cross sectional tidak mampu menghubungkan kontaminasi permukaan dengan kejadian infeksi pada manusia. Model โinfection risk valueโ yang digunakan penulis bersifat arbitrer dan tidak memiliki validasi epidemiologis sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai risiko nyata. Penelitian juga gagal membedakan dengan jelas antara stabilitas DNA HPV dan infektivitas virus, serta tidak mempertimbangkan penjelasan alternatif yang lebih masuk akal seperti shedding normal dari pengguna toilet atau kontaminasi lewat tangan. Selain itu, temuan ini tidak ditempatkan dalam konteks epidemiologi populasi yang telah menunjukkan bahwa infeksi HPV pada individu tanpa riwayat kontak seksual sangat jarang terjadi bahkan cenderung nihil. Pemilihan lokasi yang bias dan tidak representatif semakin membatasi generalisasi temuan, dan bahasa artikel yang terkesan menguatkan hipotesis penularan non seksual berpotensi menyesatkan pembaca masyarakat umum. Secara keseluruhan, data yang disajikan tidak cukup kuat untuk mendukung klaim bahwa toilet publik dapat menjadi sumber penularan HPV, sehingga artikel tersebut perlu dibaca dengan sangat hati-hati.
Penelitian penelitian lain juga sama hanya mendeteksi DNA HPV melalui PCR, bukan virus utuh dan bukan virus hidup yang bisa menginfeksi manusia. Deteksi DNA tidak sama dengan bukti penularan. Potongan genetik virus bisa menempel di permukaan tanpa kemampuan untuk menyebabkan infeksi. Para virolog menjelaskan bahwa HPV cepat rusak ketika berada di luar tubuh dan tidak tahan di lingkungan kering. Tanpa struktur virus yang utuh, DNA tersebut tidak dapat menimbulkan penyakit meskipun terdeteksi di laboratorium.
Inilah sebabnya mengapa penelitian seperti itu tidak pernah dijadikan dasar perubahan pedoman kesehatan masyarakat. Studi seperti ini sering bersifat eksploratif, tidak melalui uji infektivitas, tidak menunjukkan terjadinya kasus penularan nyata, dan tidak dijelaskan apakah permukaan yang diuji benar benar dapat menularkan virus. Dalam ilmu kesehatan, sebuah temuan tidak hanya dinilai dari keberadaan data, tetapi juga dari kualitas penelitiannya. Banyak penelitian tidak melewati proses penelaahan sejawat atau peer review, sehingga kesimpulannya tidak dapat langsung digunakan dalam edukasi publik. Tidak berarti bahwa sebuah penelitian yang dimuat di sebuah jurnal adalah penuh kebenaran atau bisa dipastikan validitas penelitiannya.
Fenomena ini mirip dengan banyak penelitian berkualitas rendah yang sering dijadikan dasar promosi produk kesehatan atau MLM. Ada penelitian yang seolah olah menunjukkan manfaat obat atau suplemen tertentu, padahal metode penelitiannya lemah, tidak direplikasi oleh tim lain, dan tidak ditinjau secara ilmiah. Hal seperti ini dapat menyesatkan masyarakat jika tidak dibaca dengan teliti. Karena itu, para pakar biasanya sangat berhati hati sebelum menyatakan apakah sesuatu benar benar dapat menular atau tidak.
Dalam konteks HPV, bukti dunia nyata atau epidemiologis sangat jelas. Tidak pernah ada laporan penularan HPV dari toilet seat ataupun tempat-tempat umum. Tidak ada klaster penularan yang dikaitkan dengan fasilitas publik. Pedoman internasional tetap menyebut bahwa HPV adalah infeksi yang hampir seluruhnya ditularkan melalui kontak seksual dan kontak kulit intim. Kalaupun ada penularan non seksual, seperti pada bayi yang terpapar saat lahir atau autoinokulasi, mekanismenya sangat berbeda dan tidak terkait permukaan benda mati.
Jadi bagaimana memahami pernyataan narasumber yang mengatakan bahwa HPV bisa menular dari tempat umum. Ada kemungkinan bahwa pernyataan tersebut dimaksudkan untuk menekankan bahwa DNA HPV pernah ditemukan di fasilitas umum, bukan bahwa fasilitas itu menularkannya. Dalam edukasi publik, narasumber kadang menyederhanakan pesan dengan tujuan mendorong kebersihan. Namun tanpa penjelasan tentang perbedaan antara DNA dan virus infeksius, masyarakat bisa salah menangkap makna yang sebenarnya.
Sangat penting untuk memahami bahwa mendeteksi DNA di lingkungan tidak sama dengan risiko tertular. Tanpa virus hidup, tidak ada penularan. Karena itu, pernyataan tentang tempat umum sebagai sumber infeksi perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kecemasan yang tidak perlu. Fokus utama pencegahan HPV tetap vaksinasi, edukasi perilaku seksual yang aman dan sehat, dan pemeriksaan berkala untuk deteksi dini lesi pra kanker.
Di tengah banyaknya informasi yang beredar, masyarakat perlu dibantu untuk membedakan mana penelitian yang kuat dan mana yang hanya tampak meyakinkan padahal tidak memenuhi standar ilmiah. Dengan pemahaman yang tepat, kita bisa menghindari ketakutan yang tidak proporsional sekaligus tetap menjaga kewaspadaan terhadap risiko yang benar benar relevan.
Discover more from DrBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.
