Di sebuah ruang tunggu puskesmas, saya pernah melihat seorang bapak paruh baya duduk dengan batuk yang tak kunjung reda. Tubuhnya kurus, matanya cekung, dan suaranya parau. Ia menunduk, seperti lelah menghadapi hari. Obat TB ada di tangannya, tetapi ia mengaku sering berhenti minum karena bosan. “Setiap hari harus menelan segenggam obat. Rasanya capek, Dok,” katanya pelan. Saat itu saya terdiam. Bukankah ini gambaran banyak orang di sekitar kita? Penyakitnya bukan hanya di paru-paru, melainkan juga di hati, di pikiran, di semangat yang terkikis perlahan.
Infeksi menular memang punya cara unik menyusup dalam kehidupan. Mereka tidak selalu datang dengan sirene. Kadang mereka berjalan diam-diam, bekerja dari dalam tubuh, dan baru terlihat ketika sudah telanjur parah. Indonesia, negeri dengan keragaman luar biasa, masih bergulat dengan masalah yang sama sejak puluhan tahun: tuberkulosis, HIV, hepatitis, dan demam berdarah. Nama-nama itu bukan sekadar istilah medis. Mereka adalah cerita nyata yang menyentuh rumah tangga, meja makan, dan isi percakapan keluarga.
HIV, misalnya. Kita sering membayangkan wajah muram ketika mendengar namanya. Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Saya bertemu seorang ibu rumah tangga yang semula merasa dunianya runtuh setelah mengetahui statusnya. Ia sempat berpikir, hidupnya sudah selesai. Tetapi hidup kadang memberi kejutan. Setelah beberapa bulan menjalani terapi antiretroviral, tubuhnya membaik, semangatnya kembali. Kini ia aktif di kelompok dukungan sebaya, berbagi cerita kepada orang lain yang baru menerima diagnosis. “Saya masih bisa membesarkan anak, bahkan memberi semangat untuk yang lain,” katanya sambil tersenyum tipis. Dari kisahnya kita belajar: stigma sering kali lebih berat daripada penyakit itu sendiri.
Lalu ada hepatitis, yang bergerak diam-diam. Tidak seperti TB yang batuknya bisa terdengar, atau HIV yang sering diliputi stigma sosial, hepatitis datang sunyi. Ia merusak hati pelan-pelan. Seseorang bisa bertahun-tahun tampak sehat, bekerja, beraktivitas, bahkan olahraga rutin, hingga suatu hari tubuhnya melemah. Saya pernah mendengar kisah seorang pegawai kantoran yang mendadak jatuh sakit parah, didiagnosis sirosis hati akibat hepatitis B kronis. Ia tidak pernah melakukan tes, tidak tahu betapa pentingnya vaksinasi, hingga semua terlambat. Penyakit ini mengingatkan kita: tidak semua luka terlihat di permukaan.
Demam berdarah lain lagi ceritanya. Lebih kasat mata, lebih “dramatis”. Setiap musim pancaroba, angka kasus naik. Berita tentang DBD menghiasi layar televisi, dan di rumah sakit, ruang perawatan penuh dengan pasien, sebagian besar anak-anak. Saya teringat wajah seorang bocah kecil dengan selang infus di tangan. Ibunya duduk di samping ranjang, wajah cemas, mata sembab. Seekor nyamuk Aedes aegypti yang tampak sepele bisa meruntuhkan keceriaan satu keluarga. Saat itulah kita sadar, membersihkan bak mandi, menutup tempat air, atau mengubur kaleng bekas bukanlah pekerjaan sepele. Kadang nyawa anak-anak kita dipertaruhkan pada hal-hal kecil yang sering kita abaikan.
Kalau kita tarik benang merah, semua penyakit menular ini berbicara hal yang sama: kesehatan bukan hanya soal obat. TB tidak bisa disembuhkan tanpa disiplin. HIV tidak bisa ditekan tanpa dukungan sosial. Hepatitis tidak bisa dicegah tanpa vaksinasi dan kesadaran dini. Demam berdarah tidak bisa hilang tanpa gotong royong menjaga lingkungan. Kesehatan adalah urusan bersama, bukan semata-mata tanggung jawab dokter atau rumah sakit.
Tetapi mengapa masih banyak orang yang terlambat berobat? Mengapa masih banyak yang enggan tes HIV? Mengapa vaksin hepatitis sering dianggap tidak penting? Jawabannya kompleks. Kadang karena biaya. Kadang karena rasa takut. Kadang karena stigma yang menempel di masyarakat. Saya pernah mendengar seorang pasien berkata, “Kalau saya tes HIV, nanti orang-orang kira saya nakal.” Padahal, penyakit tidak pernah memilih berdasarkan moral.
Dan di sinilah pentingnya mengingat satu hal: bakteri, virus, maupun parasit penyebab penyakit menular tidak pernah mengenal KTP. Mereka tidak peduli apakah seseorang tinggal di gang sempit Jakarta atau rumah megah di kawasan elit. Mereka tidak melihat apakah seseorang seorang pejabat, buruh, atau mahasiswa. Mereka tidak menimbang apakah seseorang punya rekening besar atau tidak. Siapapun, dimanapun, dan dengan latar belakang apapun bisa terinfeksi. Tidak ada status sosial yang membuat seseorang kebal. Pernyataan ini penting, sebab sering kali ada anggapan diam-diam bahwa penyakit tertentu “hanya menyerang kelompok tertentu”. Padahal kenyataannya, semua orang rentan.
Penyakit menular adalah cermin dari kehidupan sosial kita. Seorang pasien TB berhenti minum obat karena harus tetap bekerja, padahal tubuhnya lemah akibat efek samping. Seorang ibu menunda pengobatan HIV karena takut tetangga tahu. Seorang pegawai tidak mendapat vaksin hepatitis karena fasilitas terbatas. Sebuah keluarga terkena DBD karena lingkungan sekitar tidak bersama-sama menjaga kebersihan. Semua ini menunjukkan, penyakit menular bukan hanya urusan individu. Mereka bagian dari cara masyarakat hidup bersama, dengan segala celahnya.
Namun, meskipun tantangannya besar, selalu ada alasan untuk optimis. TB bisa sembuh bila obat diminum tuntas. HIV bisa ditekan sampai tidak terdeteksi, sehingga seseorang tetap sehat dan produktif. Hepatitis bisa dicegah dengan vaksin dan pemeriksaan dini. Demam berdarah bisa ditekan dengan gotong royong menjaga lingkungan. Bukankah itu artinya harapan selalu ada?
Saya jadi teringat obrolan singkat dengan seorang remaja yang baru saja memutuskan untuk tes HIV secara sukarela. Ia berkata, “Awalnya takut, tapi setelah tahu hasilnya negatif, saya lega sekali. Dan kalaupun hasilnya positif, saya tahu ada pengobatan.” Keberanian sederhana itu bisa menyelamatkan hidup. Sama seperti seorang bapak yang terus minum obat TB meski lelah, atau seorang warga yang tidak bosan mengingatkan tetangga menguras bak mandi. Hal-hal kecil yang konsisten, itulah perlawanan sejati.
Kita sering berpikir kesehatan adalah hal besar, sesuatu yang abstrak. Padahal ia hadir di keputusan-keputusan sederhana. Seorang ibu yang membawa anaknya imunisasi tepat waktu. Seorang karyawan yang memutuskan berhenti membeli antibiotik sembarangan di warung. Seorang pemuda yang memilih membersihkan got meski panas terik. Semua itu bukan hanya rutinitas. Itu adalah cara kita menjaga tubuh agar tidak kalah dalam pertempuran yang berlangsung setiap hari.
Tentu, ada kalanya rasa sepi menyelinap. Seorang pasien TB bisa merasa ditinggalkan. Seorang ibu dengan HIV bisa merasa dihakimi. Seorang penderita hepatitis bisa merasa tak punya masa depan. Tetapi ketika mereka menemukan dukungan entah dari keluarga, teman, atau komunitas maka perasaan itu perlahan berubah. Penyakit menular bukan akhir segalanya. Ia bisa menjadi awal untuk melihat hidup dari perspektif baru: lebih hati-hati, lebih menghargai waktu, lebih menghargai orang-orang di sekitar.
Hidup dengan bayangan penyakit menular memang tidak mudah. Tetapi di dalamnya ada pelajaran tentang solidaritas. Bahwa tubuh tidak bisa melawan sendirian. Bahwa masyarakat tidak bisa sehat jika hanya sebagian kecil yang peduli. Bahwa setiap tindakan kecil, dari menghabiskan obat sampai membersihkan lingkungan, adalah bagian dari perjuangan bersama.
Dan akhirnya, kita harus ingat: tubuh manusia selalu melawan dari dalam. Setiap hari, sistem imun bekerja tanpa kita sadari. Ketika ia kalah, gejala muncul. Tetapi kemenangan tubuh bukan hanya urusan sel dan antibodi. Ia juga ditentukan oleh bagaimana kita, sebagai manusia, saling menjaga. Karena pada akhirnya, penyakit menular bukan hanya soal medis. Ia adalah kisah kemanusiaan.
Discover more from drBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.

