Pernyataan Wakil Ketua DPR yang menyebut bahwa Program Makan Bergizi Gratis tidak membutuhkan ahli gizi membuat ruang publik terasa gaduh selama beberapa hari. Banyak orang tersentak, sebagian marah, sebagian bingung, dan sebagian lagi mencoba menafsirkan apa maksud sesungguhnya dari pernyataan tersebut. Dalam konteks program sebesar MBG, yang sudah berjalan dan terus berkembang, komentar seperti ini cepat sekali memancing reaksi karena ia menyentuh satu hal yang sangat fundamental, yaitu kualitas kesehatan anak Indonesia.
Jika Anda mengikuti perdebatan publik sejak MBG dimulai, Anda akan tahu bahwa program ini bukan sekadar bagi boks makanan kepada jutaan penerima manfaat. MBG adalah intervensi gizi berskala nasional yang menyentuh banyak sektor. Ada sekolah, pemerintah daerah, dapur pusat, penyedia bahan pangan, petani, pihak keamanan pangan, dan tentu saja ahli gizi yang menjadi fondasi teknis dari seluruh proses. Ketika ada komentar bahwa ahli gizi tidak diperlukan atau bahwa definisinya harus diubah karena jumlahnya sedikit, hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa standar ilmiah bisa bergeser hanya demi menyesuaikan realitas politik dan logistik.
Untuk memahami mengapa ini menjadi isu besar, kita perlu kembali sebentar pada apa yang dituntut oleh sebuah program makan di sekolah yang baik. Banyak negara sudah menjalankannya selama puluhan tahun, dan hampir semuanya sampai pada kesimpulan serupa: program makan hanya akan berdampak jika kualitas nutrisinya terjamin. Jepang, Korea Selatan, Kanada, Belanda, Australia, semuanya menempatkan tenaga gizi profesional sebagai komponen wajib. Tidak ada negara dengan performa gizi yang baik yang menempatkan ahli gizi sebagai tambahan opsional.
Di Jepang misalnya, keberadaan dietitian sekolah sudah menjadi standar sejak lama. Mereka bukan hanya membuat menu, tetapi mengawasi dapur, memberi edukasi gizi kepada murid, menilai kondisi gizi, sampai memastikan bahan makanan memenuhi standar keamanan. Sistem seperti ini tidak muncul begitu saja, tetapi dibangun karena ada kesadaran sederhana namun kuat bahwa intervensi gizi tidak boleh diserahkan kepada improvisasi. Ia harus dikerjakan oleh orang yang memang belajar tentang gizi.
Ketika kita kembali ke Indonesia, persoalannya menjadi lebih kompleks. Di atas kertas, kita memiliki ribuan lulusan gizi baru setiap tahun. Masalah sebenarnya bukan bahwa ahli gizi sedikit, tetapi bahwa mereka tidak terdistribusi secara merata. Banyak lulusan menumpuk di kota besar, sementara daerah kecil kekurangan tenaga. Selain itu, formasi ASN terbatas, honor tenaga non ASN sering rendah, dan pemda belum selalu melihat tenaga gizi sebagai kebutuhan utama. Jadi ketika ada pejabat publik mengatakan bahwa definisi harus diubah karena jumlah ahli gizi tidak mencukupi, kritik yang muncul sangat wajar. Sebab pernyataan seperti itu seolah mengabaikan persoalan sebenarnya, yaitu manajemen SDM yang kurang optimal.
Jika definisi profesi diubah demi menyesuaikan kondisi lapangan, kita harus jujur bahwa risikonya besar. Misalnya standar kompetensi menjadi kabur, siapa saja bisa mengklaim dirinya โtenaga giziโ, dan kualitas menu tidak lagi berbasis ilmu. Dalam program seperti MBG, perubahan kecil dalam komposisi menu atau cara pengolahan makanan bisa memberi dampak besar, terutama pada anak balita, ibu hamil, atau murid dengan status gizi rendah. Kita sudah melihat beberapa kasus keracunan massal dalam MBG di sejumlah daerah. Masalah keamanan pangan inilah yang membuat keberadaan ahli gizi semakin penting, bukan semakin opsional.
Bayangkan sebuah dapur pusat tanpa pengawasan ahli gizi. Menu bisa lebih mudah tergelincir pada pilihan makanan ultra proses atau makanan cepat saji yang praktis, murah, dan mudah diproduksi massal. Memang mengenyangkan, tetapi tidak membantu memperbaiki status gizi. Dalam jangka panjang, pola makan seperti itu justru meningkatkan risiko penyakit tidak menular. MBG akhirnya gagal menjalankan misinya untuk memperkuat kualitas hidup anak Indonesia. Masyarakat mungkin tidak akan langsung melihat akibatnya sekarang, tetapi efek jangka panjangnya sangat signifikan.
Masalah berikutnya adalah tata kelola. Banyak negara belajar bahwa salah satu fungsi penting ahli gizi adalah menjadi โpenjaga standarโ yang mengimbangi kepentingan politik, logistik, dan pengadaan. Tanpa otoritas teknis yang jelas, keputusan tentang menu dan bahan pangan bisa mudah dipengaruhi oleh pertimbangan biaya atau jaringan penyedia tertentu. Dengan kata lain, ahli gizi bukan hanya penyusun menu, tetapi juga stabilisator etis dalam ekosistem program.
Lalu bagaimana dengan argumen bahwa ahli gizi tidak banyak, sehingga perlu dipikirkan definisi baru yang lebih longgar? Ini pertanyaan yang sering muncul, dan jawabannya sederhana: kelangkaan tenaga tidak pernah menjadi alasan untuk mengubah definisi profesi. Di bidang kesehatan, kita sudah punya banyak contoh. Ketika dokter kurang, definisinya tidak digeser. Ketika perawat kurang, definisi perawat tidak pernah direvisi menjadi lebih longgar. Yang diperbaiki adalah distribusi, pelatihan, dan kebijakan rekrutmen. Mengubah definisi profesi bukan solusi, tetapi jalan singkat yang berbahaya karena langsung menyasar pada kualitas pelayanan.
Ada alternatif yang jauh lebih sehat. Pemerintah bisa menciptakan jenjang baru seperti tenaga pendukung gizi atau food safety assistant yang bekerja di bawah supervisi ahli gizi. Ini sering dilakukan di negara lain. Anda akan menemukan posisi seperti kitchen supervisor atau community nutrition worker, yaitu orang yang sudah mendapat pelatihan teknis terbatas namun tetap berada dalam struktur pengawasan ahli gizi. Dengan cara ini, standar tetap terjaga, sementara kapasitas daerah meningkat secara realistis. Tenaga seperti ini dapat dilatih untuk memenuhi kebutuhan dapur pusat, tetapi keputusan mengenai menu, porsi, dan keamanan pangan tetap berada pada ahli gizi.
Kita juga perlu memahami konteks kebijakan yang lebih besar. Pemerintah sedang memperkuat Badan Gizi Nasional. Bahkan ada proses rekrutmen ahli gizi untuk mendukung MBG di banyak daerah. Jika narasi bahwa ahli gizi tidak diperlukan berkembang, proses penguatan ini bisa kehilangan legitimasi. Kualitas pelaksanaan di daerah bisa semakin tidak seragam. Pada akhirnya masyarakat yang dirugikan.
Ketika isu ini diperbincangkan, suara publik cukup jelas. Orangtua, aktivis gizi, tenaga kesehatan, dan akademisi merasa bahwa pernyataan yang meremehkan peran ahli gizi sangat tidak tepat. Namun Pak Cucun sudah mengklarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf. Ini langkah yang baik karena menunjukkan bahwa ruang dialog tetap ada. Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa visi kebijakan tidak hanya diucapkan tetapi juga dilaksanakan.
Program MBG akan berjalan bertahun-tahun. Keberhasilannya tidak diukur dari seberapa banyak kotak makan yang dibagikan, tetapi dari apakah anak yang menerima makanan benar-benar tumbuh lebih sehat. Itulah sebabnya semua negara yang serius tentang program makan sekolah menempatkan ahli gizi sebagai faktor utama, bukan aksesoris. Mereka memahami bahwa ilmu gizi adalah bidang yang kompleks. Ada perhitungan kalori, kebutuhan mikronutrien, fortifikasi, risiko kontaminasi makanan, hingga interaksi antara makanan dan kondisi kesehatan individu. Tidak ada jalan pintas untuk menguasai hal itu.
Di Indonesia, kita sering terburu-buru menganggap bahwa hal seperti ini bisa digantikan oleh intuisi atau pengalaman dapur sehari-hari. Padahal konteksnya sangat berbeda. Memasak untuk keluarga di rumah itu satu hal. Mengelola ratusan ribu boks makanan per hari adalah dunia yang lain. Ini bukan hanya soal rasa, tetapi soal standar keamanan yang tidak boleh ada celah. Ketika ada insiden, yang dipertanyakan masyarakat bukan hanya penyedia makanan, tetapi pemerintah. Itulah mengapa ahli gizi menjadi garda depan dalam memastikan bahwa program seperti MBG aman dan berkelanjutan.
Polemik ini mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tetapi dampaknya terhadap persepsi publik cukup besar. Banyak orang mulai bertanya, apakah arah kebijakan gizi kita benar. Apakah suara ahli di bidang gizi didengar dengan serius. Apakah standar ilmiah menjadi dasar pengambilan keputusan, atau kita sedang tergoda mengambil jalan pintas. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat wajar muncul ketika ada komentar yang memicu keraguan.
Namun kita juga bisa melihat peristiwa ini sebagai kesempatan. Mungkin ini saat yang tepat untuk menegaskan ulang bahwa gizi bukan urusan sampingan. Gizi adalah fondasi generasi. Kita bisa memiliki sekolah terbaik, kurikulum tercanggih, dan fasilitas pendidikan yang modern, tetapi tanpa gizi yang baik, anak tidak bisa berkembang optimal. Negara-negara yang berhasil meningkatkan kualitas pendidikan awalnya tidak fokus pada teknologi, tetapi fokus pada gizi.
Anda dan saya tentu berharap bahwa semua polemik ini menjadi titik balik yang membuat kita lebih hati-hati dalam merumuskan kebijakan gizi. Program sebesar MBG memerlukan pondasi teknis yang kokoh. Ahli gizi adalah bagian dari pondasi itu. Mereka tidak bisa digantikan oleh diksi baru atau definisi yang direvisi. Mereka hadir karena kebutuhan ilmiah, bukan karena kebiasaan birokrasi. Menyingkirkan atau mengaburkan perannya justru akan menimbulkan biaya lebih besar di masa depan.
Di tengah semua dinamika ini, mari kita tetap jernih. Kita tidak perlu menyalahkan siapa pun tanpa proporsionalitas, tetapi kita juga tidak boleh membiarkan standar profesi diturunkan. Jika ada kekurangan tenaga, solusinya adalah memperkuat manajemen SDM, memperbaiki distribusi, dan membangun jenjang tenaga pendukung. Jika ada keterbatasan anggaran, kita bisa mencari solusi yang kreatif dan efisien. Tetapi kualitas tidak boleh dikompromikan. Banyak negara sudah membuktikan bahwa komitmen terhadap kualitas gizi justru menghemat biaya jangka panjang.
Ketika anak Indonesia menerima kotak makan MBG setiap pagi, mereka mungkin tidak tahu apa yang sedang diperjuangkan di ruang rapat DPR atau kantor kementerian. Mereka hanya tahu bahwa makanan itu enak atau tidak, sehat atau tidak, membuat mereka kuat atau tidak. Tugas kitalah sebagai orang dewasa memastikan bahwa yang mereka terima bukan sekadar sebuah kotak makan, tetapi sebuah investasi masa depan. Dan investasi itu membutuhkan orang yang ahli dalam bidangnya. Itulah sebabnya ahli gizi tidak hanya diperlukan, tetapi juga harus menjadi pilar yang tidak tergantikan dalam Program Makan Bergizi Gratis.
Discover more from DrBagus.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.

